Sabtu, 08 Oktober 2016

Kajian Stilistika : Mendulang Malam-malam (Eza Thabry Husano)



I.     PENDAHULUAN
A.    Pengertian Kajian Stilistika
Stilistika dalam konteks bahasa dan sastra mengarah pada pengertian studi tentang style (gaya bahasa), kajian terhadap wujud performasi kebahasaan (Nugrgiyantoro, 1998:2179). Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1998:280) stilistika kesastraan merupakan sebuah metode analisis karya sastra yang mengkaji berbagai bentuk dan tanda-tanda kebahasaan yang digunakan seperti yang terlihat pada struktur lahirnya. Metode analisis ini menjadi penting, karena dapat memberikan informasi tentang karakteristik khusus sebuah karya sastra.
Melalui pendekatan stilistika dapat dijelaskan interaksi yang rumit antara bentuk dan makna yang sering luput dari perhatian dan pengamatan para kritikus sastra (Panuti Sudjiman, 1993:vii). Sebab, kajian stilistika dalam satra melihat bagaimana unsur-unsur bahasa digunakan untuk melahirkan peasan-pesan dalam karya sastra. Atau dengan kata lain, kajian stilistika berhubungan dengan pengkajian pola-pola bahasa dan bagaimana bahasa digunakan dalam teks sastra secara khas. Analisis bahasa yang dipolakan secara khas tersebut kita tuntut untuk dapat menunjukkan kekompleksitasan dan kedalaman bahasa teks sastra tersebut dan juga menjawab bagaimana bahasa tersebut memiliki kekuatan yang menakjubkan, kekuatan kreatifitas karyaa sastra (Cummings dan Simmons, 1986:vii).
B.     Ruang Lingkup Kajian Stilistika
Pada mulanya, stilistika lebih terbatas pada persoalan bahasa dalam karya sastra. Namun dalam perkembangannya, pengertian gaya juga dilihat dalam hubungannya di luar karya sastra. Maka dibedakan antar gaya sastra dan gaya non sastra.
Penulis akan membuat batasan pada kajian yang akan di kaji yang hanya mengkaji unsur gaya bahasa yang meliputi unsur leksikal, gramatikal dan retorika.   unsur leksikal, atau diksi dapat diartikan sebagai pilihan kata – kata yang dilakukan oleh pengarang dalam karyanya guna menciptakan makna tertentu. Diksi yang baik adalah yang sesuai dengan tuntutan cerita, keadaan atau diksi peristiwa, dan pembacanya (Yusuf, 1995: 68 ). Dengan demikian diksi dalam konteks sastra merupakan pilihan kata pengarang untuk mengungkapkan gagasanya guna mencapai efek trtentu dalam sastranya..
Makna gramatikal adalah makna struktural yang muncul sebagai akibat hubungan antara unsur-unsur gramatikal dalam satuan gramatikal yang lebih besar. Umpamanya hubungan morfem dan morfem dalam kata, kata dan kata lain dalam frasa atau klausa, frasa dan frasa dalam klausa. Unsur gramatikal atau unsur kalimat yakni cara pengarang menyusun kalimat – kalimat dalam sastranya. Gaya kalimat ialah penggunaan suatu kalimat untuk memperoleh efek tertentu.
Berkenaan dengan unsur retorika. Retorika berasal dari bahasa Inggris rethoric yang artinya ‘ilmu bicara’. Dalam perkembangannya, retorika disebut sebagai seni berbicara di hadapan umum atau ucapan untuk menciptakan kesan yang diinginkan. Retorika adalah suatu gaya/seni berbicara baik yang dicapai berdasarkan bakat alami dan keterampilan teknis. Salah satu unsur retorika yang akan dikaji pada kajian ini adalah mengenai pemajasan.  Menurut Burhan Nurgiyantoro (2002: 296) pemajasan (Figure of thought) merupakan teknik pengungkapkan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak menunjuk pada makna kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang terkandung. Dengan demikian, pemajasan merupakan gaya bahasa yang memanfaatkan bahasa kiasan. Bahasa kiasan adalah bahasa yang dipakai untuk mengungkapkan sesuatu dengan tidak menunjuk secara langsung, terhadap objek yang, dituju. Penggunaan bahasa kiasan dimaksudkan untuk menunjukkan efek tertentu sehingga apa yang dikemukakan lebih menarik.




II.  PEMBAHASAN
Bahasa Puisi “Mendulang Malam-malam”
MENDULANG MALAM-MALAM
Mendulang malam-malam
Mengganggsang lobang-lobang
Terdengar tembang malam
Menyentuh daun-daun
Karamunting. Hutan-hutan
Betapa pedihnya

Mendulang malam-malam
Bercebur di lumpur-lumpur
Ditikam embun-embun
Disita waktu-waktu. Dan
Harapan-harapan
Betapa pedihnya

Mereka entah tak mengerti
Mahkota pasti tak bakal lahir
Di sini. Karena mahkota milik
Ratu-ratu. Atau orang-orang
Bukan pribumi. Yang menyita
Tanah-tanah mereka
Betapa pedihnya

Mereka tetap berdiri di sini
Menusuk malam jauh angan-angan
Bagai jarum-jarum, kelam
Sudah berpuluh-puluh tahun. Dan
akan berpuluh-puluh tahun lagi
Oh,
Betapa

(Eza Thabry Husano, 1974:37)

Puisi  “Mendulang Malam-malam” terdiri dari empat bait. Bait pertama dan bait kedua terdiri dari enam larik sedangkan bait ketiga dan bait keempat terdiri dari tujuh larik. Jumlah larik keseluruhan yaitu sebanyak dua puluh enam larik. Puisi tersebut ditulis dengan bahasa yang hemat. Tidak ada kata yang mubazir. Meskipun ada pengulangan larik secara menyeluruh maupun pengulangan yang hanya sebagian frasanya mengalami perubahan atau perluasan, seperti pada larik kedua puluh tiga dan kedua puluh empat yang mengalami pengulangan sebagian frasanya “Sudah berpuluh-puluh tahun/Dan akan berpuluh-puluh tahun lagi” lalu pada larik pertama dan ketujuh yang lariknya secara utuh berulang “Mendulang malam-malam” dan frasa “Betapa pedihnya” yang diulang secara utuh pada setiap bait di akhir larik. . Pengulangan larik seperti itu tidak dikatakan mubazir. Justru pengulangan larik seperti itu selain sebagai penekanan juga memperlihatkan keparalelan ungkapan
Begitu pula dengan pemakaian frasa “Mendulang malam-malam” sebagai focus pembicaraan, pada bait yang berbeda tidak perlu diulang kembali pada larik-larik berikutnya, cukup menggantinya dengan kata “mereka”, sebagai kata pengganti para pendulang tersebut yang muncul sebanyak dua kali pada bait ketiga larik ketiga belas dan bait keempat larik ke dua puluh. Lebih-lebih pada setiap bait mengenai para pendulang tersebut diberi pernyataan yang berbeda. Pada bait ketiga larik ketigabelas dinyatakan mengenai “Mereka entah tak mengerti” dan bait ketiga larik keduapuluh “Mereka tetap berdiri di sini”. Dengan adanya pengulangan semacam itu, baik secara frasa “Mendulang malam-malam” maupun pengulangan kata “mereka” pada puisi tersebut bukan sesuatu yang mubazir.
Penggunaan kata penghubung dalam sebuah larik yang cukup sering digunakan dalam puisi ini juga tidak bisa dikatakan sesuatu yang mubazir, seperti kata penghubung dan pada bait kedua larik kesepuluh “Disita waktu-waktu. Dan” lalu pada bait keempat larik ke duapuluh tiga “Sudah berpuluh-puluh tahun. Dan” serta kata penghubung atau yang terdapat pada bait ketiga larik ke enambelas “Ratu-ratu. Atau orang-orang” kata penghubung seperti itu tidak dapat dikatakan mubazir.
Puisi tersebut juga ditulis dengan bahasa yang cermat. Misalnya pada pilihan kata atau frasa pada bait pertama seperti Menggangsang lobang-lobang,(dan)Terdengar tembang malam, semua mengacu pada gambaran yang sama yaitu mengenai mata pencaharian orang Banjar yaitu mendulang intan Menggangsang lobang-lobang yang dilakukan pada watu malam hari Terdengar tembang malam. Antara kata atau frasa yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Pilihan kata tersebut memberikan gambaran bahwa para pendulang tersebut membuat (menggangsang)  lubang-lubang (lobang-lobang) untuk menggali tanah yang mungkin mengandung intan untuk di dulang. Semua itu juga memberi gambaran bagaimana pekerjaan yang harus dilakukan oleh seorang pendulang di pendulangan intan dan untuk menghilangkan kesunyian mereka mungkin akan bersenandung untuk sekedar menghibur diri seperti,  Terdengar tembang malam
Begitu pula pada bait kedua, juga tampak kecermatan penyair dalam pemilihan kata atau frasa seperti bercebur di lumpur, ditikam embun-embun, disita waktu-waktu dan harapan-harapan. Atara kata atau frasa yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Semua juga mengacu pada gambaran yang sama,  yaitu mengenai kegigihan para pendulang yang setelah mengangkut tanah dari dalam lubang-lubang mereka membawa tanah itu untuk dilinggang di dalam air yang berleumpur dengan menceburkan sebagian tubuh mereka bercebur di lumpur meskipun tubuh mereka harus merasakan udara dingin baik dari air ataupun dari embun (ditikam embun-embun) walaupun dalam linggangan tersebut mereka hanya melinggang tanah itu tanpa mendapatkan sebutir intan pun hingga membuang-buang waktu mereka (disita waktu-waktu) dan apabila hal itu telah terjadi, maka hilanglah harapan mereka untuk mendapatan rezeki (dan harapan-harapan)
Pada bait ketiga, juga tampak kecermatan penyair dalam pemilihan kata atau frasa seperti mereka entah tak mengerti, mahkota pasti tak bakal lahir di sini, karena mahkota milik ratu-ratu, atau orang-orang bukan pribumi, yang menyita tanah-tanah mereka. Antara kata atau frasa yang satu dengan yang lainnya juga saling berkaitan. Semua juga mengacu pada gambaran yang sama, yaitu mengenai keluguan dan kepolosan para pendulang terhadap intan yang mereka dulang dan mereka perjuangkan setiap hari (mereka entah tak mengerti) memiliki nilai jual yang sangat tinggi dan hanya digunakan oleh orang-orang yang istimewa (mahkota pasti tak bakal lahir di sini)  dengan rancangan dan buatan sedimikian rupa (karena mahkota milik ratu-ratu) hingga diburu oleh orang-orang yang tidak dari kalangan biasa seperti mereka (orang-orang bukan pribumi) bahkan, yang tak mereka sadari bahwa tanah mereka semakin terkikis oleh keserakahan manusia (yang menyita tanah-tanah mereka)
Pada bait keempat, juga tampak kecermatan penyair dalam pemilihan kata atau frasa seperti mereka tetap berdiri di sini, menusuk malam jauh angan-angan, bagai jarum-jarum, kelam sudah berpuluh-puluh tahun, dan akan berpuluh-puluh tahun lagi. Antara kata atau frasa yang satu dengan yang lainnya juga saling berkaitan. Semua mengacu pada kerja keras pada pendulang dalam bekerja terutama dalam mendulang intan (mereka tetap berdiri di sini) walaupun pada malam tengah malam mereka tetap mendulang untuk mendapatkan rezeki. Karena kerja keras para pendulang tersebut, penyair menyebutkan bahwa mereka tetap berdiri di sini, menusuk malam jauh angan-angan, bagai jarum-jarum, kelam sudah berpuluh-puluh tahun, dan akan berpuluh-puluh tahun lagi.
Pada dasarnya puisi tersebut juga ditulis dengan bahasa yang tepat. Seperti penggunaan kata depan di letaknya harus terpisah dengan kata yang menunjukkan tempat. Misalnya, di lumpur-lumpur dan di sini. Oleh karena itu, pemakaian kata depan di yang menunjukkan kata tempat pada bait kedua larik kedelapan “Bercebur di lumpur-lumpur” , bait ketiga larik kelima belas “Di sini. Karena mahkota milik” dan pada bait keempat larik keduapuluh “Mereka tetap berdiri di sini”, memang tepat dipakai kata depan di, karena diikuti oleh kata yang menyatakan tempat, “Bercebur di (dalam) lumpur-lumpur” dan “sini”.
Meskipun demikian, penulisan kata depan di yang berfungsi sebagai prefiks atau awalan juga tepat penggunannya. Misalnya prefiks di pada “ditikam” dan “disita”, memang tepat ditulis menyatu, karena di sebagai imbuhan awalan penulisannya harus menyatu dengan kata yang mengikutinya.
Gaya Puisi “Mendulang Malam-malam”
Berkaitan dengan unsur fonologis, pada puisi “Mendulang malam-malam” dominan dengan bunyi vokal a dan u. Dominannya bunyi vokal a dan u yang memang terasa berat tampaknya sangatlah cocok dengan apa yang ingin dikemukakan oleh penyair pada puisi tersebut, terutama mengenai mata pencaharian orang banjar yaitu mendulang. Penyair ingin menyampaikan bahwa pekerjaan sebagai mendulang tidaklah mudah bahkan sangat berat tetapi mereka tidak bisa mencapai kesuksesan dan kebahagian dalam hidup hanya dengan mengharapakn nafkah melalui mendulang intan.
Sesuai dengan suasana serta pesan yang ingin disampaikan, unsur leksikal pada puisi tersebut sangat dominan dengan bunyi vokal a dan u. Beberapa kata yang mengandung bunyi vokal a, dapat disebutkan misalnya, malam-malam, mengganggsang, betapa, waktu-waktu, dan, harapan, tak, mahkota, bakal, karena, tanah, angan, bagai, dan  akan. Bahkan beberapa kata tersebut, banyak yang cukup diulang pada beberapa bait.  
Berkenaan dengan unsur gramatikal, puisi tersebut ditulis larik demi larik. Antara larik satu dengan larik berikutnya disusun berurutan secara linier. Juga meskipun pada beberapa larik terdapat enjabemen, antara larik satu dengan larik yang lain tersebut tetap memperlihatan satu kesatuan yang linier. Pada sebuah puisi, enjabemen memang dibenarkan. Begitu pula pada puisi tersebut. enjabemen terdapat pada bait kedua seperti “Disita waktu-waktu. Dan/harapan-harapan”. Sebenarnya merupakan satu kesatuan, satu larik, tetapi terjadi enjabemen. Begitu pula pada bait ketiga “Bukan pribumi. Yang menyita/tanah-tanah mereka”. Sebenarnya merupakan satu kesatuan, satu larik, tetapi terjadi enjabemen. Juga pada bait keempat “Sudah berpuluh-puluh tahun. Dan/akan berpuluh-puluh tahun lagi,”. Sebenarnya merupakan satu kesatuan, satu larik, tetapi terjadi enjabemen.
Mengenai pemajasan, puisi tersebut terutama terdapat majas personikasi, Majas personifikasi adalah jenis majas yang melekatkan sifat-sifat insani manusia kepada barang yang tidak bernyawa dan idea yang abstrak. (Tarigan, 1985b:123). Majas personifikasi yang terdapat pada puisi “Mendulang malam-malam”   terdapat pada setiap bait dalam puisi, misalnya pada bait pertama “Terdengar tembang malam/Menyentuh daun-daun” memiliki sifat insani, bahwa suara (terdengar tembang) seakan-akan dapat  menyentuh daun-daun. Pada bait kedua “Ditikam embun-embun/Disita waktu-waktu. Dan” memiliki sifat insani seakan-akan embun-embun itu dapat menikam (ditikam) seseorang. Pada bait ketiga “Mahkota pasti tak bakal lahir/Di sini. Karena mahkota milik.” Memiliki sifat insani yaitu seakan-akan mahkota itu dilahirkan seperti layaknya makhuk insani. Pada bait keempat “Menusuk malam-malam jauh angan-angan” memiliki sifat insani seakan-akan malam-malam itu dapat menusuk.
Sehubungan dengan penyiasatan struktur, puisi tersebut ditulis dengan gaya repetisi, baik repetisi yang berkaitan dengan unsur fonologis, leksikal maupun frasa. Repetisi yang berkaitan dengan unsur fonologis terutama dominannya pengulangan bunyi vokal a pada kata-kata yang ada pada puisi tersebut. Juga adanya asonansia dan aliterasi. Asonansi terutama terdapat ulangan bunyi vokal a secara berurutan yaitu pada bait pertama larik ketiga, betapa pedihnya, pada bait ketiga larik kelima belas karena mahkota dan pada bait keempat larik kedua puluh terdapat ulangan bunyi vokal i secara berurutan berdiri di sini. Aliterasi misalnya pada bait pertama larik  pertama terdapat persamaan bunyi m pada frasa Mendulang malam-malam, dan pada bait keempat larik kedua puluh satu menusuk malam lalu terdapat persamaan bunyi t pada larik ketiga, terdengar tembang.. Bahkan diantara frasa tersebut ada yang diulang pada bait selanjutnya. Repetisi yang mengandung unsur leksikal, berkaitan dengan pengulangan berkali-kali kata yang sama yaitu, malam (diulang sebanyak enam kali) , dan (diulang sebanyak dua kali), tak (diulang sebanyak dua kali), di sini (diulang sebanyak dua kali), dan  mereka (diulang sebanyak tiga kali). Repetisi yang berkaitan dengan frasa, terutama pada bait pertama dan kedua yaitu mendulang malam-malam, masih berkenaan dengan pengulangan berkali-kali kelompok kata yang sama baik pada bait pertama, kedua, ketiga dan keempat, terutama pengulangan berkali-kali kelompok kata atau frasa yang sama, yaitu betapa pedihnya, pengulangan berkali-kali kelompok kata atau frasa yang sama juga terdapat pada bait keempat larik kedua puluh tiga dan dua puluh empat, yaitu berpuluh-puluh tahun.
Adanya struktur yang sering berulang pada puisi tersebut, nampaknya sebagai penekanan terhadap pesan yang ingin disampaikan. Untuk lebih menekankan pesan puisi tersebut disajikan baik dengan citraan penglihatan, gerakan maupun pendengaran. Berkaitan dengan citraan penglihatan misalnya “mendulang malam-malam/Bercebur di lumpur-lumpur/mereka tetap berdiri di sini”. berkaitan dengan citraan gerakan misalnya, “Mengganggsang lobang-lobang” dan berkaitan dengan citraan pendengaran misalnya, “Terdengar tembang malam”.
Dilihat dari segi kohesinya, secara keseluruhan puisi tersebut ditulis dengan kata, frasa maupun larik yang saling berkaitan. Keterkaitan itu dapat dilihat misalnya dengan adanya pengulangan frasa mendulang malam-malam, yang semula dikemukakan pada bait pertama larik pertama, dikemukakan lagi pada bait kedua larik ketujuh. Begitu pula dengan kata mereka, sebagai kata ganti frasa ulang mendulang malam-malam. Walaupun dalam frasa tersebut tidak ada menyebutkan tokoh, tetapi dari larik diatas merupakan kata kerja yang harus dilakukan oleh seseorang yaitu para pendulang yang pada larik selanjutnya diganti dengan kata mereka. Yang semula terdapat pada bait ketiga larik ketiga belas, dikemukakan lagi pada bait keempat larik kedua puluh. Masih berkenaan dengan pengulangan frasa. Misalnya frasa, betapa pedihnya, yang semula dikemukakan pada bait pertama larik pertama, lalu dikemukakan lagi pada bait kedua larik kedua belas, kemudian dikemukakan lagi pada bait ketiga larik kesembilan belas dan bait keempat larik kedua puluh enam. Bahkan unsur fonologis juga memiliki keterkaitan, terutama dominannya pengulangan kata yang mengandung bunyi vokal a. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa puisi tersebut ditulis dengan gaya repetisi, baik repetisi yang berkaitan dengan unsur fonologis, leksikal maupun frasa.

Pembahasan Puisi “Mendulang Malam-malam”
Puisi “Mendulang malam-malam” dimulai dengan suatu pertanyaan, seperti pada larik pertama bait pertama, “Mendulang malam-malam” kata mendulang pada larik tersebut merupaka verba atau kata kerja yang sangat penting dan ditekankan. Hal ini berkenaan dengan kata verba atau kata kerja yang pasti dilakukan oleh subjek, tetapi dalam larik tersebut tidak disebutkan subjek yaitu para pendulang. Penekanan juga tampak pada pengulangan larik yang sama pada bait kedua larik ketujuh. Bahkan kata mendulang itu juga sering diganti dengan kata mereka, yang menunjukkan tokoh jamak. Karena biasanya orang yang bekerja sebagai pendulang bekerja secara berkelompok. Kata mereka juga sering diulang pada bait ketiga maupun bait keempat.
Kalau mendulang itu sering diulang dan dinyatakan penting, timbul pertanyaan bagaimana perkerjaan mendulang itu? Pada bait pertama dikatakan bahwa mereka mendulang itu, yaitu mengganggsang lobang-lobang. Frasa tersebut memberikan jawaban bahwa mendulang itu menggali tanah yang mengandung intan, hingga di tanah tersebut berbentuk seperti lobang-lobang akibat selalu digali dan diambil tanahnya. Lalu selanjutnya terdapat larik “terdengar tembang malam/menyentuh daun-daun/karamunting. Hutan-hutan” artinya saat mendulang di malam hari tersebut, untuk menghilangkan kebosanan dan untuk menciptakan suasana yang lebih menyenangkan mereka berdendang-dendang kecil dengan sedikit bernyanyi, karena di tempat pendulangan sunyi maka tidak ada yang mendengar kecuali mereka dan (seakan-akan) daun yang berada di sekitar tempat pendulangan terutama pohon yang berbuah karamunting yang biasanya terdapat di dalam hutan. Dengan keadaan seperti itu penyair menyatakan “betapa pedihnya” pekerjaan yang harus dilakukan oleh para pendulang.
Jika pada bait pertama dimulai dengan suatu pernyataan mendulang malam-malam, maka pada bait kedua juga dimulai dengan pernyataan yang sama. Larik tersebut kembali menekankan betapa pentingnya mendulang yang disebut pada puisi tersebut, sehingga kembali diulang oleh penyair. Meskipun demikian, pertanyaan pada larik selanjutnya di bait kedua ini berbeda dengan larik kedua pada bait pertama. Pada bait tersebut menerangkan bahwa para pendulang harus menggali dan mengangkut tanah, hingga membuat lobang-lobang dari tanah tersebut. Larik ini menjelaskan terutama hal yang harus dilakukan setelah menggali tanah yaitu “bercebur di lumpur” untuk melinggang tanah yang mengandung intan tersebut di dalam danau yang dasarnya berlumpur. Penyair juga kembali menjelaskan keadaan yang harus dilalui oleh para pendulang dalam melakukan pekerjaanya, yaitu “ditikam embun-embun” lalu harus terus berusaha apabila tanah yang dilinggang tak terdapat intan di antaranya, mereka harus merelekan usahnya tersebut “disita waktu-waktu. Dan/ harapan-harapan”, serta merelakan harapan yang awalnya muncul saat mulai melinggang tanah tersebut. Dengan keadaan seperti itu, kembali penyair menyatakan “betapa pedihnya” pekerjaan yang harus dilakukan oleh para pendulang.
Berbeda dengan bait pertama dan kedua yang di awali pernyataan “Mendulang malam-malam”. Pada bait keempat sudah digunakan kata ganti mereka untuk menggantikan para pendulang. Pada bait ketiga dimulai dengan pertanyaan “Mereka entah tak mengerti” larik tersebut kembali menekankan pentinga para pendulang walaupun awalnya cukup menggunakan kata verba mendulang kemudian dig anti dengan kata ganti mereka. Meskipun demikian, pertanyaan yang terdapat pada larik ini berbeda dengan pernyataan yang terdapat pada bait pertama dan kedua yang secara runtut menjelaskan langkah-langkah yang harus dikerjakan para pendulang. Pada bait ketiga ini penyair justru bertanya “mereka entah tak mengerti?” Pada larik berikutnya pertanyaan tersebut dijawab oleh penyair bahwa “mahkota pasti tak bakal lahir/Di sini. Karena mahkota milik/Ratu-ratu. Atau orang-orang/Bukan pribumi. Yang menyita/tanah-tanah mereka”. .” Dari larik di atas nampak penyair ingin menyampaikan bahwa walaupun benda berharga seperti intan atau berlian tersebut berasal dari tempat pendulangan tersebut, tetapi yang benar-benar menikmatinya adalah orang-orang istimewa yang semakin hari semakin mengikis tanah-tanah mereka. Sementara mereka tetaplah hanya sebagai seorang pendulang. Dengan keadaan seperti itu, kembali penyair memberikan penekakan dengan menyatakan “betapa pedihnya” pekerjaan yang harus dilakukan oleh para pendulang.
Pada bait keempat nampaknya penyair memberikan pertentangan dengan pertanyaan yang diajukan pada bait ketiga dengan “mereka tetap berdiri di sini”. Larik tersebut kembali menekankan betapa pentingnya para pendulang yang disebut dengan kata ganti mereka pada puisi tersebut, sehingga kembali diulang oleh penyair. Pada bait keempat ini, nampaknya penyair ingin lebih menyampaikan betapa teguh pendirian para pendulang dalam melakukan pekerjaannya yang tidaklah mudah. “Menusuk malam jauh angan-angan/bagai jarum-jarum, kelam”. Penyair juga ingin menyampaikan bahwa para pendulang telah menggeluti pekerjaanya dalam waktu yang tidak singkat, tetapi tidak pernah bisa merubah hidup mereka. “Sudah berpuluh-puluh tahun. Dan/akan berpuluh-puluh tahun lagi.” tetapi dengan keadaan seperti itu mereka tidak juga mengganti mata pencaharian mereka sebagai pendulang intan. Ini membuat penyair kembali mengulang penekanan kondisi yang harus dihadapi oleh para pendulang tersebut dengan menyatakan betapa pedihnya pekerjaan yang harus dilakukan oleh para pendulang.
Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa bait pertama memberikan gambaran langkah awal yang harus dilakukan ketika para pendulang mulai mendulang intan  seperti“Menggangsang lobang-lobang” lalu untuk menghilangkan kesunyian para pendulang mulai bernyanyi “terdengar tembang malam/menyentuh daun-daun/karamunting. Hutan-hutan”. Diakhir larik bait, penyair menyatakan bahwa “betapa pedihnya” pekerjaan yang harus dilakukan oleh para pendulang.
Di bait kedua diawali dengan pernyataan yang sama pada awal bait pertama. Tetapi larik selanjutnya menjelaskan langakh selanjutnya setelah “Menggangsang lobang-lobang” adalah “Bercebur di lumpur-lumpur” yaitu mulai melinggang tanah yang mengandung intan di danau yang dasarnya lumpur. melakukan pekerjaanya, yaitu “ditikam embun-embun” lalu harus terus berusaha apabila tanah yang dilinggang tak terdapat intan di antaranya, mereka harus merelekan usahnya tersebut “disita waktu-waktu. Dan/ harapan-harapan”serta hilangnya harapan untuk mendapatkan rezeki. Diakhir larik bait, penyair kembali menekankan bahwa “betapa pedihnya” pekerjaan yang harus dilakukan oleh para pendulang.
Bait ketiga menggambarkan betapa lugu dan polosnya para pendulang tersebut,  bahwa “Mereka entah tak mengerti” selama ini mereka berjuang antara tanah dan lumpur untuk mencari benda yang sangat berharga dan memiliki nilai ekonomis tinggi hingga yang memiliki benda berharga tersebut hanyalah orang-orang istimewa seperti “Mahkota pasti tak bakal lahir/Di sini. Karena mahkita milik/Ratu-ratu. Atau orang-orang/Bukan pribumi. Yang menyita/tanah-tanah mereka. Di akhir larik, penyair kembali menekankan “Betapa pedihnya” keadaan dan kondisi para pendulang intan.
Bait keempat menggambarkan betapa teguh pendirian para pendulang dalam melakukan pekerjaannya yang tidaklah mudah. “Menusuk malam jauh angan-angan/bagai jarum-jarum, kelam”. Penyair juga ingin menyampaikan bahwa para pendulang telah menggeluti pekerjaanya dalam waktu yang tidak singkat, tetapi tidak pernah bisa merubah hidup mereka. “Sudah berpuluh-puluh tahun. Dan/akan berpuluh-puluh tahun lagi.” tetapi dengan keadaan seperti itu mereka tidak juga mengganti mata pencaharian mereka sebagai pendulang intan. Di akhir larik, penyair kembali menekankan “Betapa pedihnya” keadaan dan kondisi para pendulang intan.
Dengan demikian jelaslah bahwa para pendulang mendulang intan walaupun pada malam hari, yang dimulai dengan menggangsang lubang-lubang tanah lalu melinggang tanah tersebut di dalam lumpur. Dalam kesunyian malam mereka menyanyikan tembang malam yang menyentuh daun-daun karamunting di hutan-hutan, kemudian para pendulang tersebut bercebur ke dalam lumpur untuk melinggang intan, walaupun ditikam embun dan disita waktu serta harapan. Penyait juga menyatakan bahwa mereka mungkin tak mengerti bahwa mahkota pasti tak bakal lahir di sini, karena mahkota milik para ratu atau orang bukan pribumi yang menyita tanah-tanah mereka. Walaupun begitu mereka tetap berdiri di sini, menusuk malam jauh angan-angan bagai jarum-jarum kelam. Selama berpuluh-puluh tahun dan akan berpuluh-puluh tahun lagi. penyair berkali-kali menekankan  betapa pedihnya keadaan dan kondisi  yang harus dialami oleh para pendulang tersebut.
Daftar Rujukan
Sulistyowati, Endang dan Tarman Effendi. T. 2014. Kajian Puisi Struktural, Semiotik, Stilistika, Bandingan dan Sosiologi. Cetakan Ketiga. Banjarmasin: Tahura Media.
Tarsyad, Tarman Effendi. 2014. Tentang Puisi Penyair Kalimantan. Cetakan Pertama. Banjarmasin: Scripta Cendekia.
Tarsyad, tarman effendi. 2011. Kajian stilistika puisi Sapardi Djoko Damono. Banjarmasin: Tahura Media.
Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2001. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Bandung: YRAMA WIDYA



Tidak ada komentar:

Posting Komentar