I. PENDAHULUAN
A. Pengertian
Kajian Stilistika
Stilistika
dalam konteks bahasa dan sastra mengarah pada pengertian studi tentang style
(gaya bahasa), kajian terhadap wujud performasi kebahasaan (Nugrgiyantoro,
1998:2179). Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1998:280) stilistika kesastraan
merupakan sebuah metode analisis karya sastra yang mengkaji berbagai bentuk dan
tanda-tanda kebahasaan yang digunakan seperti yang terlihat pada struktur lahirnya.
Metode analisis ini menjadi penting, karena dapat memberikan informasi tentang
karakteristik khusus sebuah karya sastra.
Melalui pendekatan stilistika dapat
dijelaskan interaksi yang rumit antara bentuk dan makna yang sering luput dari
perhatian dan pengamatan para kritikus sastra (Panuti Sudjiman, 1993:vii). Sebab,
kajian stilistika dalam satra melihat bagaimana unsur-unsur bahasa digunakan
untuk melahirkan peasan-pesan dalam karya sastra. Atau dengan kata lain, kajian
stilistika berhubungan dengan pengkajian pola-pola bahasa dan bagaimana bahasa
digunakan dalam teks sastra secara khas. Analisis bahasa yang dipolakan secara
khas tersebut kita tuntut untuk dapat menunjukkan kekompleksitasan dan
kedalaman bahasa teks sastra tersebut dan juga menjawab bagaimana bahasa
tersebut memiliki kekuatan yang menakjubkan, kekuatan kreatifitas karyaa sastra
(Cummings dan Simmons, 1986:vii).
B. Ruang
Lingkup Kajian Stilistika
Pada mulanya, stilistika lebih terbatas
pada persoalan bahasa dalam karya sastra. Namun dalam perkembangannya,
pengertian gaya juga dilihat dalam hubungannya di luar karya sastra. Maka
dibedakan antar gaya sastra dan gaya non sastra.
Penulis akan membuat batasan pada kajian
yang akan di kaji yang hanya mengkaji unsur gaya bahasa yang meliputi unsur
leksikal, gramatikal dan retorika.
unsur leksikal, atau diksi dapat diartikan sebagai pilihan kata – kata
yang dilakukan oleh pengarang dalam karyanya guna menciptakan makna tertentu.
Diksi yang baik adalah yang sesuai dengan tuntutan cerita, keadaan atau diksi
peristiwa, dan pembacanya (Yusuf, 1995: 68 ). Dengan demikian diksi dalam
konteks sastra merupakan pilihan kata pengarang untuk mengungkapkan gagasanya
guna mencapai efek trtentu dalam sastranya..
Makna gramatikal adalah makna struktural
yang muncul sebagai akibat hubungan antara unsur-unsur gramatikal dalam satuan
gramatikal yang lebih besar. Umpamanya hubungan morfem dan morfem dalam kata,
kata dan kata lain dalam frasa atau klausa, frasa dan frasa dalam klausa. Unsur
gramatikal atau unsur kalimat yakni cara pengarang menyusun kalimat – kalimat
dalam sastranya. Gaya kalimat ialah penggunaan suatu kalimat untuk memperoleh
efek tertentu.
Berkenaan dengan unsur retorika. Retorika berasal dari bahasa Inggris rethoric yang artinya ‘ilmu
bicara’. Dalam perkembangannya, retorika disebut sebagai seni berbicara di hadapan
umum atau ucapan untuk menciptakan kesan yang diinginkan. Retorika adalah suatu
gaya/seni berbicara baik yang dicapai berdasarkan bakat alami dan keterampilan
teknis. Salah satu unsur retorika yang akan dikaji pada kajian ini adalah
mengenai pemajasan. Menurut Burhan
Nurgiyantoro (2002: 296) pemajasan (Figure of thought) merupakan teknik
pengungkapkan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak menunjuk pada makna
kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang
terkandung. Dengan demikian, pemajasan merupakan gaya bahasa yang memanfaatkan
bahasa kiasan. Bahasa kiasan adalah bahasa yang dipakai untuk mengungkapkan
sesuatu dengan tidak menunjuk secara langsung, terhadap objek yang, dituju.
Penggunaan bahasa kiasan dimaksudkan untuk menunjukkan
efek tertentu sehingga apa yang dikemukakan lebih menarik.
II. PEMBAHASAN
Bahasa
Puisi “Mendulang Malam-malam”
MENDULANG
MALAM-MALAM
Mendulang malam-malam
Mengganggsang lobang-lobang
Terdengar tembang malam
Menyentuh daun-daun
Karamunting. Hutan-hutan
Betapa pedihnya
Mendulang malam-malam
Bercebur di lumpur-lumpur
Ditikam embun-embun
Disita waktu-waktu. Dan
Harapan-harapan
Betapa pedihnya
Mereka entah tak mengerti
Mahkota pasti tak bakal lahir
Di sini. Karena mahkota milik
Ratu-ratu. Atau orang-orang
Bukan pribumi. Yang menyita
Tanah-tanah mereka
Betapa pedihnya
Mereka tetap berdiri di sini
Menusuk malam jauh angan-angan
Bagai jarum-jarum, kelam
Sudah berpuluh-puluh tahun. Dan
akan berpuluh-puluh tahun lagi
Oh,
Betapa
(Eza Thabry Husano, 1974:37)
Puisi “Mendulang
Malam-malam” terdiri dari empat bait. Bait pertama dan bait kedua terdiri dari
enam larik sedangkan bait ketiga dan bait keempat terdiri dari tujuh larik.
Jumlah larik keseluruhan yaitu sebanyak dua puluh enam larik. Puisi tersebut
ditulis dengan bahasa yang hemat. Tidak ada kata yang mubazir. Meskipun ada
pengulangan larik secara menyeluruh maupun pengulangan yang hanya sebagian
frasanya mengalami perubahan atau perluasan, seperti pada larik kedua puluh
tiga dan kedua puluh empat yang mengalami pengulangan sebagian frasanya “Sudah berpuluh-puluh tahun/Dan akan
berpuluh-puluh tahun lagi” lalu pada larik pertama dan ketujuh yang
lariknya secara utuh berulang “Mendulang
malam-malam” dan frasa “Betapa
pedihnya” yang diulang secara utuh pada setiap bait di akhir larik. . Pengulangan larik seperti itu tidak
dikatakan mubazir. Justru pengulangan larik seperti itu selain sebagai
penekanan juga memperlihatkan keparalelan ungkapan
Begitu pula dengan pemakaian frasa “Mendulang malam-malam” sebagai focus
pembicaraan, pada bait yang berbeda tidak perlu diulang kembali pada
larik-larik berikutnya, cukup menggantinya dengan kata “mereka”, sebagai kata pengganti para pendulang tersebut yang muncul sebanyak dua kali pada bait
ketiga larik ketiga belas dan bait keempat larik ke dua puluh. Lebih-lebih pada
setiap bait mengenai para pendulang tersebut diberi pernyataan yang berbeda.
Pada bait ketiga larik ketigabelas dinyatakan mengenai “Mereka entah tak mengerti” dan bait ketiga larik keduapuluh “Mereka tetap berdiri di sini”. Dengan
adanya pengulangan semacam itu, baik secara frasa “Mendulang malam-malam” maupun pengulangan kata “mereka” pada puisi tersebut bukan
sesuatu yang mubazir.
Penggunaan kata penghubung dalam sebuah
larik yang cukup sering digunakan dalam puisi ini juga tidak bisa dikatakan
sesuatu yang mubazir, seperti kata penghubung dan pada bait kedua larik kesepuluh “Disita waktu-waktu. Dan” lalu pada bait keempat larik ke duapuluh
tiga “Sudah berpuluh-puluh tahun. Dan”
serta kata penghubung atau yang
terdapat pada bait ketiga larik ke enambelas “Ratu-ratu. Atau orang-orang” kata penghubung seperti itu tidak
dapat dikatakan mubazir.
Puisi
tersebut juga ditulis dengan bahasa yang cermat. Misalnya pada pilihan kata
atau frasa pada bait pertama seperti
Menggangsang lobang-lobang,(dan)Terdengar
tembang malam, semua mengacu pada gambaran yang sama yaitu mengenai mata
pencaharian orang Banjar yaitu mendulang intan Menggangsang lobang-lobang yang dilakukan pada watu malam hari Terdengar tembang malam. Antara kata
atau frasa yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Pilihan kata
tersebut memberikan gambaran bahwa para pendulang tersebut membuat (menggangsang) lubang-lubang (lobang-lobang) untuk menggali tanah yang mungkin mengandung intan
untuk di dulang. Semua itu juga memberi gambaran bagaimana pekerjaan yang harus
dilakukan oleh seorang pendulang di pendulangan intan dan untuk menghilangkan
kesunyian mereka mungkin akan bersenandung untuk sekedar menghibur diri
seperti, Terdengar tembang malam
Begitu
pula pada bait kedua, juga tampak kecermatan penyair dalam pemilihan kata atau
frasa seperti bercebur di lumpur, ditikam
embun-embun, disita waktu-waktu dan harapan-harapan. Atara kata atau frasa
yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Semua juga mengacu pada
gambaran yang sama, yaitu mengenai
kegigihan para pendulang yang setelah mengangkut tanah dari dalam lubang-lubang
mereka membawa tanah itu untuk dilinggang di dalam air yang berleumpur dengan
menceburkan sebagian tubuh mereka bercebur
di lumpur meskipun tubuh mereka harus merasakan udara dingin baik dari air
ataupun dari embun (ditikam embun-embun)
walaupun dalam linggangan tersebut mereka hanya melinggang tanah itu tanpa mendapatkan
sebutir intan pun hingga membuang-buang waktu mereka (disita waktu-waktu) dan apabila hal itu telah terjadi, maka
hilanglah harapan mereka untuk mendapatan rezeki (dan harapan-harapan)
Pada bait ketiga, juga tampak kecermatan
penyair dalam pemilihan kata atau frasa seperti mereka entah tak mengerti, mahkota pasti tak bakal lahir di sini,
karena mahkota milik ratu-ratu, atau orang-orang bukan pribumi, yang menyita
tanah-tanah mereka. Antara kata atau frasa yang satu dengan yang lainnya
juga saling berkaitan. Semua juga mengacu pada gambaran yang sama, yaitu
mengenai keluguan dan kepolosan para pendulang terhadap intan yang mereka
dulang dan mereka perjuangkan setiap hari (mereka
entah tak mengerti) memiliki nilai jual yang sangat tinggi dan hanya digunakan
oleh orang-orang yang istimewa (mahkota
pasti tak bakal lahir di sini) dengan rancangan dan buatan sedimikian rupa (karena mahkota milik ratu-ratu) hingga
diburu oleh orang-orang yang tidak dari kalangan biasa seperti mereka (orang-orang bukan pribumi) bahkan, yang
tak mereka sadari bahwa tanah mereka semakin terkikis oleh keserakahan manusia
(yang menyita tanah-tanah mereka)
Pada
bait keempat, juga tampak kecermatan penyair dalam pemilihan kata atau frasa
seperti mereka tetap berdiri di sini,
menusuk malam jauh angan-angan, bagai jarum-jarum, kelam sudah berpuluh-puluh
tahun, dan akan berpuluh-puluh tahun lagi. Antara kata atau frasa yang satu
dengan yang lainnya juga saling berkaitan. Semua mengacu pada kerja keras pada
pendulang dalam bekerja terutama dalam mendulang intan (mereka tetap berdiri di sini) walaupun pada malam tengah malam
mereka tetap mendulang untuk mendapatkan rezeki. Karena kerja keras para
pendulang tersebut, penyair menyebutkan bahwa mereka tetap berdiri di sini, menusuk malam jauh angan-angan, bagai
jarum-jarum, kelam sudah berpuluh-puluh tahun, dan akan berpuluh-puluh tahun
lagi.
Pada
dasarnya puisi tersebut juga ditulis dengan bahasa yang tepat. Seperti
penggunaan kata depan di letaknya
harus terpisah dengan kata yang menunjukkan tempat. Misalnya, di lumpur-lumpur dan di sini. Oleh karena itu, pemakaian kata
depan di yang menunjukkan kata tempat
pada bait kedua larik kedelapan “Bercebur
di lumpur-lumpur” , bait ketiga larik kelima belas “Di sini. Karena mahkota milik” dan pada bait keempat larik
keduapuluh “Mereka tetap berdiri di sini”,
memang tepat dipakai kata depan di, karena
diikuti oleh kata yang menyatakan tempat, “Bercebur
di (dalam) lumpur-lumpur” dan “sini”.
Meskipun
demikian, penulisan kata depan di yang
berfungsi sebagai prefiks atau awalan juga tepat penggunannya. Misalnya prefiks
di pada “ditikam” dan “disita”, memang
tepat ditulis menyatu, karena di sebagai
imbuhan awalan penulisannya harus menyatu dengan kata yang mengikutinya.
Gaya
Puisi “Mendulang Malam-malam”
Berkaitan dengan unsur fonologis, pada
puisi “Mendulang malam-malam” dominan dengan bunyi vokal a dan u. Dominannya bunyi
vokal a dan u yang memang terasa berat tampaknya sangatlah cocok dengan apa
yang ingin dikemukakan oleh penyair pada puisi tersebut, terutama mengenai mata
pencaharian orang banjar yaitu mendulang. Penyair ingin menyampaikan bahwa
pekerjaan sebagai mendulang tidaklah mudah bahkan sangat berat tetapi mereka
tidak bisa mencapai kesuksesan dan kebahagian dalam hidup hanya dengan
mengharapakn nafkah melalui mendulang intan.
Sesuai dengan suasana serta pesan yang
ingin disampaikan, unsur leksikal pada puisi tersebut sangat dominan dengan bunyi
vokal a dan u. Beberapa kata yang mengandung bunyi vokal a, dapat disebutkan misalnya, malam-malam,
mengganggsang, betapa, waktu-waktu, dan, harapan, tak, mahkota, bakal, karena,
tanah, angan, bagai, dan akan. Bahkan beberapa kata tersebut,
banyak yang cukup diulang pada beberapa bait.
Berkenaan dengan unsur gramatikal, puisi
tersebut ditulis larik demi larik. Antara larik satu dengan larik berikutnya
disusun berurutan secara linier. Juga meskipun pada beberapa larik terdapat
enjabemen, antara larik satu dengan larik yang lain tersebut tetap
memperlihatan satu kesatuan yang linier. Pada sebuah puisi, enjabemen memang
dibenarkan. Begitu pula pada puisi tersebut. enjabemen terdapat pada bait kedua
seperti “Disita waktu-waktu. Dan/harapan-harapan”.
Sebenarnya merupakan satu kesatuan, satu larik, tetapi terjadi enjabemen.
Begitu pula pada bait ketiga “Bukan
pribumi. Yang menyita/tanah-tanah mereka”. Sebenarnya merupakan satu
kesatuan, satu larik, tetapi terjadi enjabemen. Juga pada bait keempat “Sudah berpuluh-puluh tahun. Dan/akan
berpuluh-puluh tahun lagi,”. Sebenarnya merupakan satu kesatuan, satu
larik, tetapi terjadi enjabemen.
Mengenai pemajasan, puisi tersebut
terutama terdapat majas personikasi, Majas personifikasi adalah jenis majas
yang melekatkan sifat-sifat insani manusia kepada barang yang tidak bernyawa
dan idea yang abstrak. (Tarigan, 1985b:123). Majas personifikasi yang terdapat
pada puisi “Mendulang malam-malam” terdapat
pada setiap bait dalam puisi, misalnya pada bait pertama “Terdengar tembang malam/Menyentuh daun-daun” memiliki sifat
insani, bahwa suara (terdengar tembang) seakan-akan
dapat menyentuh daun-daun. Pada bait kedua “Ditikam embun-embun/Disita waktu-waktu. Dan” memiliki sifat insani
seakan-akan embun-embun itu dapat
menikam (ditikam) seseorang. Pada
bait ketiga “Mahkota pasti tak bakal
lahir/Di sini. Karena mahkota milik.” Memiliki sifat insani yaitu
seakan-akan mahkota itu dilahirkan
seperti layaknya makhuk insani. Pada bait keempat “Menusuk malam-malam jauh angan-angan” memiliki sifat insani
seakan-akan malam-malam itu dapat menusuk.
Sehubungan dengan penyiasatan struktur,
puisi tersebut ditulis dengan gaya repetisi, baik repetisi yang berkaitan
dengan unsur fonologis, leksikal maupun frasa. Repetisi yang berkaitan dengan unsur
fonologis terutama dominannya pengulangan bunyi vokal a pada kata-kata yang ada pada puisi tersebut. Juga adanya
asonansia dan aliterasi. Asonansi terutama terdapat ulangan bunyi vokal a secara berurutan yaitu pada bait
pertama larik ketiga, betapa pedihnya, pada
bait ketiga larik kelima belas karena
mahkota dan pada bait keempat larik kedua puluh terdapat ulangan bunyi
vokal i secara berurutan berdiri di sini. Aliterasi misalnya pada
bait pertama larik pertama terdapat
persamaan bunyi m pada frasa Mendulang malam-malam, dan pada bait
keempat larik kedua puluh satu menusuk
malam lalu terdapat persamaan bunyi t
pada larik ketiga, terdengar
tembang.. Bahkan diantara frasa tersebut ada yang diulang pada bait
selanjutnya. Repetisi yang mengandung unsur leksikal, berkaitan dengan pengulangan
berkali-kali kata yang sama yaitu, malam (diulang
sebanyak enam kali) , dan (diulang
sebanyak dua kali), tak (diulang
sebanyak dua kali), di sini (diulang
sebanyak dua kali), dan mereka (diulang sebanyak tiga kali). Repetisi yang berkaitan dengan frasa, terutama
pada bait pertama dan kedua yaitu mendulang
malam-malam, masih berkenaan dengan pengulangan berkali-kali kelompok kata
yang sama baik pada bait pertama, kedua, ketiga dan keempat, terutama
pengulangan berkali-kali kelompok kata atau frasa yang sama, yaitu betapa pedihnya, pengulangan
berkali-kali kelompok kata atau frasa yang sama juga terdapat pada bait keempat
larik kedua puluh tiga dan dua puluh empat, yaitu berpuluh-puluh tahun.
Adanya struktur yang sering berulang
pada puisi tersebut, nampaknya sebagai penekanan terhadap pesan yang ingin
disampaikan. Untuk lebih menekankan pesan puisi tersebut disajikan baik dengan
citraan penglihatan, gerakan maupun pendengaran. Berkaitan dengan citraan
penglihatan misalnya “mendulang
malam-malam/Bercebur di lumpur-lumpur/mereka tetap berdiri di sini”. berkaitan
dengan citraan gerakan misalnya, “Mengganggsang
lobang-lobang” dan berkaitan dengan citraan pendengaran misalnya, “Terdengar tembang malam”.
Dilihat dari segi kohesinya, secara
keseluruhan puisi tersebut ditulis dengan kata, frasa maupun larik yang saling
berkaitan. Keterkaitan itu dapat dilihat misalnya dengan adanya pengulangan
frasa mendulang malam-malam, yang
semula dikemukakan pada bait pertama larik pertama, dikemukakan lagi pada bait
kedua larik ketujuh. Begitu pula dengan kata mereka, sebagai kata ganti frasa ulang mendulang malam-malam. Walaupun dalam frasa tersebut tidak ada
menyebutkan tokoh, tetapi dari larik diatas merupakan kata kerja yang harus
dilakukan oleh seseorang yaitu para pendulang yang pada larik selanjutnya
diganti dengan kata mereka. Yang
semula terdapat pada bait ketiga larik ketiga belas, dikemukakan lagi pada bait
keempat larik kedua puluh. Masih berkenaan dengan pengulangan frasa. Misalnya
frasa, betapa pedihnya, yang semula
dikemukakan pada bait pertama larik pertama, lalu dikemukakan lagi pada bait
kedua larik kedua belas, kemudian dikemukakan lagi pada bait ketiga larik
kesembilan belas dan bait keempat larik kedua puluh enam. Bahkan unsur
fonologis juga memiliki keterkaitan, terutama dominannya pengulangan kata yang
mengandung bunyi vokal a. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa puisi tersebut ditulis dengan gaya repetisi,
baik repetisi yang berkaitan dengan unsur fonologis, leksikal maupun frasa.
Pembahasan
Puisi “Mendulang Malam-malam”
Puisi
“Mendulang malam-malam” dimulai dengan suatu pertanyaan, seperti pada larik
pertama bait pertama, “Mendulang
malam-malam” kata mendulang pada
larik tersebut merupaka verba atau kata kerja yang sangat penting dan ditekankan.
Hal ini berkenaan dengan kata verba atau kata kerja yang pasti dilakukan oleh
subjek, tetapi dalam larik tersebut tidak disebutkan subjek yaitu para
pendulang. Penekanan juga tampak pada pengulangan larik yang sama pada bait
kedua larik ketujuh. Bahkan kata mendulang
itu juga sering diganti dengan kata mereka,
yang menunjukkan tokoh jamak. Karena biasanya orang yang bekerja sebagai
pendulang bekerja secara berkelompok. Kata mereka
juga sering diulang pada bait ketiga maupun bait keempat.
Kalau
mendulang itu sering diulang dan
dinyatakan penting, timbul pertanyaan bagaimana perkerjaan mendulang itu? Pada bait pertama dikatakan bahwa mereka mendulang itu, yaitu mengganggsang lobang-lobang. Frasa
tersebut memberikan jawaban bahwa mendulang
itu menggali tanah yang mengandung intan, hingga di tanah tersebut
berbentuk seperti lobang-lobang akibat
selalu digali dan diambil tanahnya. Lalu selanjutnya terdapat larik “terdengar tembang malam/menyentuh
daun-daun/karamunting. Hutan-hutan” artinya saat mendulang di malam hari
tersebut, untuk menghilangkan kebosanan dan untuk menciptakan suasana yang
lebih menyenangkan mereka berdendang-dendang kecil dengan sedikit bernyanyi,
karena di tempat pendulangan sunyi maka tidak ada yang mendengar kecuali mereka
dan (seakan-akan) daun yang berada di sekitar tempat pendulangan terutama pohon
yang berbuah karamunting yang biasanya terdapat di dalam hutan. Dengan keadaan
seperti itu penyair menyatakan “betapa
pedihnya” pekerjaan yang harus dilakukan oleh para pendulang.
Jika
pada bait pertama dimulai dengan suatu pernyataan mendulang malam-malam, maka pada bait kedua juga dimulai dengan
pernyataan yang sama. Larik tersebut kembali menekankan betapa pentingnya mendulang yang disebut pada puisi
tersebut, sehingga kembali diulang oleh penyair. Meskipun demikian, pertanyaan
pada larik selanjutnya di bait kedua ini berbeda dengan larik kedua pada bait
pertama. Pada bait tersebut menerangkan bahwa para pendulang harus menggali dan
mengangkut tanah, hingga membuat lobang-lobang
dari tanah tersebut. Larik ini menjelaskan terutama hal yang harus
dilakukan setelah menggali tanah yaitu “bercebur
di lumpur” untuk melinggang tanah yang mengandung intan tersebut di dalam
danau yang dasarnya berlumpur. Penyair juga kembali menjelaskan keadaan yang
harus dilalui oleh para pendulang dalam melakukan pekerjaanya, yaitu “ditikam embun-embun” lalu harus terus
berusaha apabila tanah yang dilinggang tak terdapat intan di antaranya, mereka
harus merelekan usahnya tersebut “disita
waktu-waktu. Dan/ harapan-harapan”, serta merelakan harapan yang awalnya
muncul saat mulai melinggang tanah tersebut. Dengan keadaan seperti itu,
kembali penyair menyatakan “betapa
pedihnya” pekerjaan yang harus dilakukan oleh para pendulang.
Berbeda
dengan bait pertama dan kedua yang di awali pernyataan “Mendulang malam-malam”. Pada bait keempat sudah digunakan kata
ganti mereka untuk menggantikan para
pendulang. Pada bait ketiga dimulai dengan pertanyaan “Mereka entah tak mengerti” larik tersebut kembali menekankan pentinga
para pendulang walaupun awalnya cukup menggunakan kata verba mendulang kemudian dig anti dengan kata
ganti mereka. Meskipun demikian,
pertanyaan yang terdapat pada larik ini berbeda dengan pernyataan yang terdapat
pada bait pertama dan kedua yang secara runtut menjelaskan langkah-langkah yang
harus dikerjakan para pendulang. Pada bait ketiga ini penyair justru bertanya “mereka entah tak mengerti?” Pada larik
berikutnya pertanyaan tersebut dijawab oleh penyair bahwa “mahkota pasti tak bakal lahir/Di sini. Karena mahkota milik/Ratu-ratu.
Atau orang-orang/Bukan pribumi. Yang menyita/tanah-tanah mereka”. .” Dari
larik di atas nampak penyair ingin menyampaikan bahwa walaupun benda berharga
seperti intan atau berlian tersebut berasal dari tempat pendulangan tersebut,
tetapi yang benar-benar menikmatinya adalah orang-orang istimewa yang semakin
hari semakin mengikis tanah-tanah mereka. Sementara mereka tetaplah hanya
sebagai seorang pendulang. Dengan
keadaan seperti itu, kembali penyair memberikan penekakan dengan menyatakan “betapa pedihnya” pekerjaan yang harus
dilakukan oleh para pendulang.
Pada
bait keempat nampaknya penyair memberikan pertentangan dengan pertanyaan yang
diajukan pada bait ketiga dengan “mereka
tetap berdiri di sini”. Larik tersebut kembali menekankan betapa pentingnya
para pendulang yang disebut dengan kata ganti mereka pada puisi tersebut, sehingga kembali diulang oleh penyair.
Pada bait keempat ini, nampaknya penyair ingin lebih menyampaikan betapa teguh
pendirian para pendulang dalam melakukan pekerjaannya yang tidaklah mudah. “Menusuk malam jauh angan-angan/bagai
jarum-jarum, kelam”. Penyair juga ingin menyampaikan bahwa para pendulang
telah menggeluti pekerjaanya dalam waktu yang tidak singkat, tetapi tidak
pernah bisa merubah hidup mereka. “Sudah
berpuluh-puluh tahun. Dan/akan berpuluh-puluh tahun lagi.” tetapi dengan
keadaan seperti itu mereka tidak juga mengganti mata pencaharian mereka sebagai
pendulang intan. Ini membuat penyair kembali mengulang penekanan kondisi yang
harus dihadapi oleh para pendulang tersebut dengan menyatakan betapa pedihnya pekerjaan yang harus
dilakukan oleh para pendulang.
Dari
paparan di atas dapat dikatakan bahwa bait pertama memberikan gambaran langkah
awal yang harus dilakukan ketika para pendulang mulai mendulang intan seperti“Menggangsang
lobang-lobang” lalu untuk menghilangkan kesunyian para pendulang mulai
bernyanyi “terdengar tembang
malam/menyentuh daun-daun/karamunting. Hutan-hutan”. Diakhir larik bait,
penyair menyatakan bahwa “betapa
pedihnya” pekerjaan yang harus dilakukan oleh para pendulang.
Di
bait kedua diawali dengan pernyataan yang sama pada awal bait pertama. Tetapi
larik selanjutnya menjelaskan langakh selanjutnya setelah “Menggangsang lobang-lobang” adalah “Bercebur di lumpur-lumpur” yaitu mulai melinggang tanah yang
mengandung intan di danau yang dasarnya lumpur. melakukan pekerjaanya, yaitu “ditikam embun-embun” lalu harus terus
berusaha apabila tanah yang dilinggang tak terdapat intan di antaranya, mereka
harus merelekan usahnya tersebut “disita
waktu-waktu. Dan/ harapan-harapan”serta hilangnya harapan untuk mendapatkan
rezeki. Diakhir larik bait, penyair kembali menekankan bahwa “betapa pedihnya” pekerjaan yang harus
dilakukan oleh para pendulang.
Bait
ketiga menggambarkan betapa lugu dan polosnya para pendulang tersebut, bahwa “Mereka
entah tak mengerti” selama ini mereka berjuang antara tanah dan lumpur
untuk mencari benda yang sangat berharga dan memiliki nilai ekonomis tinggi
hingga yang memiliki benda berharga tersebut hanyalah orang-orang istimewa
seperti “Mahkota pasti tak bakal lahir/Di
sini. Karena mahkita milik/Ratu-ratu. Atau orang-orang/Bukan pribumi. Yang
menyita/tanah-tanah mereka. Di akhir larik, penyair kembali menekankan “Betapa
pedihnya” keadaan dan kondisi para pendulang intan.
Bait
keempat menggambarkan betapa teguh pendirian para pendulang dalam melakukan
pekerjaannya yang tidaklah mudah. “Menusuk
malam jauh angan-angan/bagai jarum-jarum, kelam”. Penyair juga ingin
menyampaikan bahwa para pendulang telah menggeluti pekerjaanya dalam waktu yang
tidak singkat, tetapi tidak pernah bisa merubah hidup mereka. “Sudah berpuluh-puluh tahun. Dan/akan
berpuluh-puluh tahun lagi.” tetapi dengan keadaan seperti itu mereka tidak
juga mengganti mata pencaharian mereka sebagai pendulang intan. Di akhir larik, penyair kembali menekankan “Betapa pedihnya” keadaan dan kondisi
para pendulang intan.
Dengan
demikian jelaslah bahwa para pendulang mendulang intan walaupun pada malam
hari, yang dimulai dengan menggangsang lubang-lubang tanah lalu melinggang
tanah tersebut di dalam lumpur. Dalam kesunyian malam mereka menyanyikan
tembang malam yang menyentuh daun-daun karamunting di hutan-hutan, kemudian
para pendulang tersebut bercebur ke dalam lumpur untuk melinggang intan,
walaupun ditikam embun dan disita waktu serta harapan. Penyait juga menyatakan
bahwa mereka mungkin tak mengerti bahwa mahkota pasti tak bakal lahir di sini,
karena mahkota milik para ratu atau orang bukan pribumi yang menyita
tanah-tanah mereka. Walaupun begitu mereka tetap berdiri di sini, menusuk malam
jauh angan-angan bagai jarum-jarum kelam. Selama berpuluh-puluh tahun dan akan
berpuluh-puluh tahun lagi. penyair berkali-kali menekankan betapa
pedihnya keadaan dan kondisi yang
harus dialami oleh para pendulang tersebut.
Daftar
Rujukan
Sulistyowati,
Endang dan Tarman Effendi. T. 2014. Kajian
Puisi Struktural, Semiotik, Stilistika, Bandingan dan Sosiologi. Cetakan
Ketiga. Banjarmasin: Tahura Media.
Tarsyad,
Tarman Effendi. 2014. Tentang Puisi
Penyair Kalimantan. Cetakan Pertama. Banjarmasin: Scripta Cendekia.
Tarsyad,
tarman effendi. 2011. Kajian stilistika
puisi Sapardi Djoko Damono. Banjarmasin: Tahura Media.
Tim
Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2001. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum
Pembentukan Istilah. Bandung: YRAMA WIDYA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar