Sabtu, 08 Oktober 2016

Bahasa Laki-Laki dan Perempuan



I.       Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Kata ’gender’ sering diartikan sebagai kelompok laki-laki, perempuan, atau perbedaan jenis kelamin. Namun sebenarnya konsep gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa gender dapat diartikan sebagai konsep sosial yang membedakan peran antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena antara keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, tapi dibedakan atau dipilah-pilah menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi bagi sesama manusia dalam suatu kelompok masyarakat pemakainya. Bahasa yang baik merupakan bahasa yang dapat berkembang berdasarkan sistem, yang merupakan seperangkat aturan yang dipatuhi oleh pemakainya yang dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi bahasa hingga bahasa itu menjadi bervariasi diantaranya adalah perbedaan jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Masih terjadi pro dan kontra tentang permasalah tersebut, ada yang berpandangan bahwa perempuan dan laki-laki berbahasa secara berbeda sedangkan ada pula yang berpendapat sebaliknya dengan kalimat di atas. Pada makalah ini penulis akan mengemukakan keterkaitan antara jenis kelamin dengan bahasa.


II.    Pembahasan
2.1  Perbedaan Bahasa Laki-laki dan Perempuan
Sejak kecil, kita sudah mempelajari Bahasa melalui pemerolehan bahasa yang kita dapatkan dari lingkungan keluarga. Melalui lingkungan keluarga kita diajarkan dari mulai bunyi, kata bahkan kalimat sederhana yang belum sempurna kemudian kita bisa belajar sedikit demi sedikit. Bahasa yang dituliskan ataupun yang dihafalkan pasti memiliki makna. Melalui bahasa kita dapat menuangkan ide atau gagasan yang kita pikirkan. Bahasa merupakan dasar segala kegiatan yang kita lakukan, karena bahasa dapat dikatakan sebagai penunjang segala aktivitas kita dalam kehidupan bermasyarakat.  Bahasa juga di gunakan sebagai alat komunikasi, penyampaian informasi serta bertukar pikiaran. Pada saat kita menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, kita sudah memiliki tujuan tertentu yang ingin dicapai dalam sebuah komunikasi tersebut yang telah disesuaikan dan direncanakan terlebih dahulu, tak jarang komunikasi itu terjadi begitu saja secara spontan. Yang pasti saat kita melakukan komunikasi  kita ingin agar apa yang kita sampaikan dapat dipahami oleh orang lain.
Dalam pemakaian bahasa hubungan antara bahasa, kosakata dan jenis kelamin penuturnya dapat ditinjau secara sosiolinguistik karena menyangkut masalah sosial yaitu masyarakat dan linguistic yaitu bahasa. Gender adalah salah factok yang mempengaruhi bahasa di dalam suatu masyarakat dimanapun di seluruh dunia.  Gender adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan. Gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada.
Sumarsono menyatakan ada beberapa faktor yang berhubungan dengan perbedaan bahasa antara laki-laki dan perempuan, diantaranya adalah faktor suara yang artinya bunyi yang dihasilkan karena bergetarnya pita suara dalam laring (Kridalaksana, Harimurti. 2008:229)  dan intonasi yaitu pola perubahan nada yang dihasilkan pembicaraan pada waktu mengucapkan ujaran atau bagian-bagiannya. Di dalam masyarakat, ada dua jenis kelamin yang diakui yaitu laki-laki dan perempuan. Dalam kaitanya dengan penggunaan bahasa, menurut ilmu sosiolinguistik, dapat dilihat adanya perbedaan ragam tutur yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan. Untuk mempermudahkan pemahaman, selanjutnya laki-laki akan disingkat menjadi L dan perempuan akan disingat menjadi P. Aspek perbeda kebahasaan yang tidak selalu ada dalam bahasa yaitu jenis kelamin. (Widagsa, rudha. 2010)
Sosiolinguuistik menepatkan kedudukan bahasa dalam hubungan dengan pemakaian bahasa itu dalam masyarakat sehingga memandang bahasa sebagai system komunikasi. Perbedaan kata didasarkan atas jenis kelamin penutur atau penyapa.
Wanita dan pria memiliki karakteristik yang berbeda dan kemampuan berbeda. Perbedaan kemampuan verbal sering disebabkan oleh factor gerak anggota badan ekspresi wajah, suara dan intonasi. Perbedaaan bahasa bukan berarti dua bahasa yang sama sekali berbeda dan terpisah,tetapi bahasa mereka tetap satu, hanya saja dalam pemakaian bahasa lelaki dan perempuan mempunyai ciri-ciri yang berbeda. Wanita lebih mempertahankan bahasa sedangkan laki-laki bersifat inovatisi dan pembaharuan.
Kebanyakan dari kita dapat membedakan suara antara laki-laki dan perempuan walaupun harus dengan mata tertutup, hal ini karena secara umum bisa dikatakan volume suara pria relatif lebih besar daripada wanita. Bahkan dalam dunia seni suara sudah dikenal golongan yang membedakan antara suara laki-laki dan perempuan. Pada perempuan misalnya ada suara alto dan sopra, sedangkan  pada laki-laki ada suara tenor dan bas. Ini semua terjadi karena berhubungan dengan organ-organ tubuh penghasil suara yang sedikit banyak berbeda pada pria dan wanita, sayangnya dalam makalah ini penulis tidak membahas secara terperinci mengenai organ-organ tubuh penghasil suara tersebut.
Selain hal diatas kita juga menyadari bahwa suara perempuan lebih lembut dibandingkan dengan suara laki-laki, hal ini berkaitan dengan nilai sosial atau tata krama dan sopan santun yang terdapat pada orang tersebut. Ini terbukti pada beberapa masyarakat, misalnya orang jawa, perempuan yang berbicara dengan suara “keras” dianggap kurang sopan. Sebaliknya, laki-laki yang berbicara dengan suara lembut dan lamban akan dianggap “seperti perempuan”
Berhubungan dengan intonasi, misalnya intonasi  “memanjag” pada bagian akhir kalimat lebih banyak pada perempuan. Dalam bahasa Indonesia kita kenal dengan istilah “suara manja” yang khas pada perempuan dan hanya bisa dilakukan oleh perempuan, sedangkan gaya bahasa seperti ini sangat jarang terjadi pada laki-laki
2.2  Makna Sosial Suara Laki-laki dan Perempuan

Kualitas suara laki-laki dibedakan dengan suara perempuan. Menurut Graddol dan Swann dalam Santoso (2011) yaitu dengan tiga cara popular yang dapat memperjelas fenomena tersebut, yaitu:
1.      Penjelasan Sosiobiologis
Melalui ilmu etologi, yaitu salah satu cabang ilmu zoologi yang mempelajari dan menelaah tingkah laku hewan. Para ahli etimologi menemukan bahwa pada banyak spesies, binatang jantan mempunyai vokalisasi suara yang lebih keras dan lebih dalam dibandingkan betina. Perbedaan semacam itu merupakan akibat dari cara mengasuh yang selektif yang secara umum berangkat dari tekanan evolusi ganda berupa “Seleksi jenis kelamin” dan “perjuangan hidup”. Pada manusia , suara laki-laki juga dianggap memiliki peran yang sama. Karakter yang paling khas laki-laki dari apa yang disebut sebagai “hukum pertarungan”. Laki-laki bertarung karena factor perempuan serta memperebutkan perempuan itu. Akibatnya lelaki menjadi lebih tinggi, lebih berbobot, lebih kuat, lebih banyak tumbuh rambutnya, suara memiliki nada yang berbeda dan lebih bertenaga dibandingkan perempuan. Vokalisasi suara laki-laki dirancang agar terkesan agresif dan mengancam dalam medan persaingan.
2.      Penjelasan Sosiopsikolinguistik
Penjelasan sosiobiologis di atas dianggap memiliki kebenaran yang parsial, bukan universal. Artinya . penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa suara tinggi tidak selalu identik dengan agresif, sebaliknya suara tinggi dapat menunjukkan ketidakompetenan, ketidakbenaran, dan kekurangampuhan. Untuk itu lebih tepat menempatkan konsep “maskulin” dan “feminine” untuk kualitas suara. Pandangan ini memasukkan konsep gender yang merupakan atribut psikologis yang membentuk sebuah kontinum atau rangkain dari sangat maskulin sampai sangat feminine. Seorang laki-laki mungkin memiliki sejumlah karakteristik feminine tertentu sama seperti perempuan yang mempunyai sifat maskulin. Cara berfikir seperti ini dianggap lebih canggih. Hanya saja kelemahannya adalah banyak orang berasumsi bahwa semua orang yang tinggi maskulinitasnya pastilah rendah feminitasnya. Penelitian baru menunjukkan bahwa seseorang bisa bersifat “agresif” (dinilai sebagai sifat maskulin” sekaligus “kasih saying” (dianggap lebih diinginkan secara sosial pada diri perempuan). Dengan demikian, kesan gender yang agak kompleks diproyeksikan melalui suara dan ditafsirkan oleh pendengar. Dimensi maskulinitas dan feminitas didasarkan pada cirri-ciri yang secara sosial bersifat stereotype “agresif” dan “dominasi” sebagai lawan sifat “penuh kasih saying” dan “subsimif”
3.      Penjelasan Sosiopolitis
Para feminis sering menyatakan bahwa ujud sifat alami yang melingkupi sedemikian banyak aspek gender memiliki implikasi-implikasi politis yang penting. Kebijakan atas dasar politis itu sering tidak terelakkan dan sulit untuk dipahami. Tidak ada alasan intrinsic mengapa suara perempuan terdengar kurang memiliki otoritas. Kualitas suara yang berbeda tidak sepenuhnya bersifat konvensional atau sewenang-wenang (arbitrary). Hanya yang perlu disadari bahwa adanya stereotipe suara perempuan dianggap feminin dan laki-laki dianggap maskulin akan sangat merugikan perempuan. Kerugian itu akan semakin melebar ke arah kehidupan yang lebih luas, seperti dikotomi domestic dan publik dalam melihat peran perempuan. Makhluk perempuan hanya cocok untuk peran domestic dan tidak cocok untuk peran-peran publik seperti politisi dan pengacara karena kualitas suaranya yang rendah dan subsimif. Mengapa? Dalam peran domestik suara perempuan sudah sesuai dengan peran itu, yakni lembut dan rendah sebagai ciri sifat feminitasnya.
2.3  Penjelasan Mengenai Tuturan Laki-laki dan Perempuan.

Beberapa penjelasan dapat dikemukakan tentang apa saja yang memotovasi laki-laki dan perempuan untuk menerapkan cara-cara tutur yang berbeda. Dalam beberapa hal perbedaan jenis kelamin dalam menggunakan ragam-ragam bahasa sepadan dengan perbedaan kualitas suara. Signifikansi sosial tampak dalam saling berpengaruhnya antara asosiasi indeksial dan simbolis dari suara-suara yang berbeda dan ragam-ragam bahasa yang berlainan, meskipun kualitas suara secara khusus terkait dengan gagasan biologis, gender dan seksualitas, penelitian ragam-ragam bahasa mengantarkan unsure-unsur asosiasi kelas yang kuat dan kondisi ekonomi maupun sosial yang ada kaitannya dengan pembagian gender. Pembahasan identifikasi gender ini memperlihatkan bahwa hal ini merupakan sebuah aktivitas yang kompleks, di mana ciri-ciri yang berbeda memiliki asosiasi yang berbeda-beda pula, dan bahwa sejumlah asosiasi mungkin bersifat khusus pada komunitas tertentu.
Secara umum laki-laki lebih cenderung menggunakan gaya bahasa tutur kooperatif. Gaya bahasa tutur kooperatif artinya gaya bahasa laki-laki itu bersifat menyatu atau dapat bekerja sama dengan sesama penuturnya. Sedangkan bahasa perempuan cenderung lebih menggunakan gaya bahasa kompetitif.  Gaya bahasa kompetitif artinya gaya bahasa yang digunakan perempuan memiliki persaingan atau keinginan untuk lebih dari sesama penuturnya. Selain kedua hal di atas bahasa perempuan juga memiliki ciri khas yang khusus dibandingkan dengan bahasa laki-laki. Perempuan memiliki cara atau tindak tutur yang lebih mencerminkan atau menonjolkan dirinya pada lawan bicaranya dan lebih ingin terlihat berbeda dari perempuan lainnya. Bahasa perempuan disadari atau tidak biasanya merupakan cerminan dari diri mereka yang ingin mendominasi di kalanganya. Dengan demikian, penjelasan karakteristik bahasa perempuan adalah untuk sebuah tuntutan untuk mengenal perempuan secara lebih baik.  Seperti yang dikemukakan oleh Eckert & McConnell-Ginet, (2003:1) menyatakan bahwa bahasa perempuan dibedakan dengan bahasa laki-laki (man’s language). Bahasa perempuan diasumsikan memiliki sejumlah karakteristik atau ciri khusus yang membedakannya dengan bahasa laki-laki. Menurut Lakof (Santoso 2009:14) perempuan mempunyai cara berbicara (way of speaking) yang berbeda dari laki-laki, yakni sebuah cara berbicara yang merefleksikan dan menghasilkan posisi subordinat dalam masyarakat.
Perbedaan bahasa laki-laki dan perempuan berawal dari paradigma dan pandangan masyarakat itu sendiri, dalam masyarakat mereka cenderung menerima saja apa yang telah menjadi budaya walaupun itu semua muncul dari sebuah mitos, seperti yang dikemukakan oleh Noerhadi, bahwa kita memang berfikir dalam apa yang dipandang sebagai citra baku. Karena itu, mitos bahwa wanita merupakan makhluk yang harus disayangi, dilindungi dan disanjung, bisa bertahan bukan saja karena cara pandang pria, namun juga karena kaum wanita sendiri sikapnya ikut membenarkan, menggarisbawahi dan menerima saja anggapan itu. Kalau masyarakat menilai bahwa wanita tidak sepintar pria, mereka cenderung menerima karena mareka menerima otoritas masyarakat, hal itu tercermin dalam penggunaan bahasa (Santoso, Anang 2009:28) dengan pendapat seperti itu tampak bahwa bahasa perempuan kurang mendominasi dan lebih sering diabaikan dalam masyarakat, walaupun dalam kenyataan pasti banyak suara-suara perempuan yang didengarkan dan dianggap penting tetapi tetap saja akan mendapat kritikan dari masyarakat sendiri. Dengan keadaan seperti ini membuat perempuan menjadi terkekang kemampuannya dan kreativitasnya dalam berbahasa. Pernyataan ini sependapat dengan pandangan Tannen yang mengatakan bahwa, laki-laki mendominasi perempuan dalam kelas dan inidividu laki-laki sering mendominasi individu perempuan dalam interaksi (Santoso, Anang 2009:29)











III. Penutup
3.1        Simpulan
·         Berdasarkan penjabaran makalah di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa perbedaan antar bahasa laki-laki dan bahasa perempuan terletak dari berbagai factor diantaranya, pandangan masyarakat yang sudah terlanjur dipercayai sehingga aplikasinya dalam kehidupan masyarakat menjadi realita nyata, factor intonasi dan suara dan faktor gaya bahasa yang menjadi cirri khas laki-laki atau perempuan.
·         Berdasarkan penjabaran makalah di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa menurut Graddol dan Swann dalam Santoso (2011) yaitu dengan tiga cara popular yang dapat memperjelas perbedaan kualitas suara laki-laki dan perempuan berdasarkan makna sosialnya, yaitu:
1)      Penjelasan Sosiobiologis
2)      Penjelasan Sosiopsikologi
3)      Penjelasan Sosiopolitis
·         Berdasarkan penjabaran makalah di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa perbedaan tuturan antara laki-laki dan perempuan berasal dari signifikansi sosial tampak dalam saling berpengaruhnya antara asosiasi indeksial dan simbolis dari suara-suara yang berbeda dan ragam-ragam bahasa yang berlainan, meskipun kualitas suara secara khusus terkait dengan gagasan biologis, gender dan seksualitas









Daftar Rujukan

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta; Rineka Cipta
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta; Rineka Cipta
Herdiana, Ike. 2012.Konsep Gender dan Jenis Kelamin. (http://ikeherdiana-fpsi.web.unair.ac.id/artikel_detail-63794-Psikologi%20Perempuan-Konsep%20Gender%20dan%20Jenis%20Kelamin.html) Diakses pada Minggu, 20 April 2015. pukul 09.00 Wita
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik (edisi keempat). Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Kompasiana bahasa. 2013. Bahasa dan Gender. (http://bahasa.kompasiana.com/2013/07/09/bahasa-dan-gender-575354.html) Diakses pada Minggu, 20 April 2015. pukul 09.00 Wita
Kusumaningtyas, Adityarini. 2013. Bahasa dan Jenis Kelamin: Gerak Anggota Badan dan Ekspresi Wajah. (http://belajarilmubahasa.blogspot.com/2013/02/bahasa-dan-jenis-kelamin-gerak-anggota.html/m=1)
Prayogi, Icuk. 2011. Sekilas Perbedaan Pemakaian “Bahasa Pria” dan “Bahasa Wanita”. (http://kompasiana.com/post/read/422804/3/sekilas-perbedaan-pemakaian-bahasa-pria-dan-bahasa-wanita.html) diakses pada Sabtu, 9 Mei 2015. Pukul 21.07 Wita
Santoso, Anang. 2011. Bahasa Perempuan. Jakarta: Bumi Aksara
Sumarsono dan Paina Partana. 2007. Sosiolinguistik. (Cetakan ketiga). SABDA: Yogyakarta
Widagsa, rudha. 2010. hubungan-bahasa-dengan-umur-jenis. (http://rudhawidagsa.blogspot.com/2010/09/hubungan-bahasa-dengan-umur-jenis.html) Diakses pada Minggu, 20 April 2015. pukul 09.00 Wita




Tidak ada komentar:

Posting Komentar