Sabtu, 08 Oktober 2016

Kajian Bandingan : Dua Puisi Mata Pencaharian Masyarakat Banjar



Kajian Bandingan
Dua Puisi Mata Pencaharian Masyarakat Banjar
I.         PENDAHULUAN
A.    Pengertian Kajian Bandingan
Kajian ada dua istilah yang sering digunakan, yaitu istilah sastra bandingan dan istilah sastra perbandingan. Sastra bandingan disingkat dengan sand-ing, sedangkan satra perbandingan disingkat dengan sasper.
Sastra bandingan adalah studi teks cross cultural. Studi ini merupakan upaya interdisipliner, yaitu lebih banyak memperhatikan hubungan sastra – dalam ini puisi – menurut aspek waktu dan tempat. Dari aspek waktu, dapat membandingkan dua atau lebih periode yang berbeda. Sedangkan konteks tempat, akan mengikat sastra menurut wilayah geografis satra (Endraswara, 2008:128).
Sastra bandingan dikaitkan teori intertektual terdapatnya persamaan ataupun perbedaan dalam satu genre sastra dari yang lama ke yang baru, baik strukturnya, unsur-unsur pembentuk struktur, maupun gaya yang digunakannya. Sastra bandingan merupakan suatu upaya untuk mendapatkan hasil pemahaman makna karya sastra dengan jalan membandingkan dua karya sastra atau lebih yang menunjukkan adanya persamaan atau perbedaan baik menyangkut tema, struktur, maupun gaya (Suroso, dkk., 2009:94).
Tujuan sastra bandingan antara lain:
1.    Untuk mencari pengaruh karya satra yang ada dengan yang lain dan atau pengaruh bidang lain serta sebaliknya dalam dunia sastra.
2.    Untuk menentukan mana karya sastra yang benar-benar orisinal dan mana yang bukan dalam lingkup perjalanan sastra.
3.    Untuk menghilangkan kesan bahwa karya satra nasional tertentu lebih hebat dibandingkan karya nasional yang lain.
4.    Untuk mencari keragaman budaya yang terpenuhi dalam karya sastra satu dengan yang lainnya dan untuk melihat buah pikiran kehidupan manusia dari waktu ke waktu.
5.    Untuk memperkokoh keuniversalan konsep-konsep keindahan universal dalam sastra.
6.    Untuk menilai mutu karya-karya dari negara-negara dan keindahan karya sastra (Endraswara, 2008:129).

B.     Ruang Lingkup Kajian Bandingan
Kajian bandingan akan mencari dua hal, yaitu:
1.    Pertalian atau kesamaan dan atau paralelisme serta varian teks satu dengan yang lain, dan
2.    Pengaruh karya satra satu kepada karya lain atau pengaruh sastra pada bidang lain dan sebaliknya (Endraswara, 2008:136).
Dua hal di atas, bisa dikembangkan lagi menjadi lingkup studi, antara lain:
1.    Perbandingan antara karya pengarang yang satu dengan lainnya, pengarang yang sezaman, antar generasi, pengarang yang senada, dan sebagainya.
2.    Membandingkan karya sastra dengan bidang lain, seperti arsitektur, pengobatan tradisional, takhayul, dan seterusnya.
3.    Kajian bandingan yang bersifat teoritik, untuk melihat sejarah, teori, dan kritik sastra (Endraswara, 2008:136).
Sastra bandingan meliputi empat aspek:
1.    Pengaruh,
2.    Sumber ilham (acuan),
3.    Proses pengambilan ilham arau pengaruh, dan
4.    Tema dasar.

Dalam kaitan, ada empat kelompok, dilihat dari aspek obyek garapan, yaitu:
1.    Kategori yang melihat hubungan karya satu dengan yang lainnya.
2.    Kategori yang mengkaji tema karya sastra.
3.    Kajian terhadap gerakan atau kecenderungan yang menandai suatu peradaban.
4.    Analisis bentuk karya sastra (genre).

II.      PEMBAHASAN
Kajian Terhadap Judul
Dalam kajian bandingan ini, ada dua puisi yang akan dibandingkan yaitu puisi mengenai mata pencaharian tradisional pada masyarakat Banjarmasin. Puisi yang pertama berisikan mata pencaharian masyarakat yang tinggal di daerah daratan yaitu pekerjaan menyadap getah, puisi yang berkenaan dengan mata pencaharian tersebut berjudul “Panurih Gatah” yang ditulis oleh Khairani Zain. Pada tahun 2010. Lalu puisi selanjutnya yang berisikan tentang mata pencaharian tradisional yang terdapat di Banjarmasin terutama bagi warga Banjar yang tinggal di pinggiran sungai yaitu sebagai pedagang di pasar terapung, puisi yang berkenaan dengan mata pencaharian tersebut berjudul “Pasar Terapung”  di tulis oleh Aliman Syahrani pada tahun yang sama dengan puisi sebelumnya yaitu tahun 2010. Hal yang menarik dari kedua puisi ini, hingga menarik untuk dibandingkan adalah keduanya mendiskripsikan mata pencaharian tradisional masyarakat Banjar dan sama-sama menonjolkan ciri khas dari masing-masing mata pencaharian tersebut.  Berikut kedua puisi tersebut selengkapnya:
“PANURIH GATAH”

Limbah sumbahyang subuh
Tulak manurih
Hari masih kadap, salau-salauan
Anak yang halus balum bangunan
Itu pang sudah jadi gawian

Tulak mambawa imbir
Di padang gatah
Dinginnya awak jadi kada halangan
Mun gawian yang jadi harapan

Umai-umai pang panurih gatah
Mun hujan turun tumatan samalam
Pagat harapan
Pagat gawian

Umai-umai pang panurih gatah
Batang bagana jadi tumpuan
Manyambung hidup nang bakawajiban
Banyak baharap nang ka lawan Tuhan
                             Karya: Khairani Zain, 2010


“PASAR TERAPUNG”

Perempuan-perempuan yang mangayuh jukung di pagi buta, dari manakah mereka
Ke Lok Baintan mereka tanjak jukung dari pinggir-pinggir kota
Sebelum beduk subuh terjaga
Sebelum hari bermula dalam geliat kerja

Perempuan-perempuan yang mengayuh jukung di pagi buta, kemanakah mereka
Di atas riak sungai mereka berkendara
Berlomba dengan surya menuju dermaga
Mengais hidup di arus niaga

Perempuan-perempuan yang mengayuh jukung di pagi buta, siapakah mereka
Ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
Akar-akar yang melata dari hulu mengalir ke muara
Mereka: cinta kasih yang bertaut menghidupi kota dan desa
                                         Karya: Aliman Syahrani, 2010

Kedua puisi tersebut memiliki judul yang sangat jauh berbeda. Puisi yang satu jelas sekali menggunakan kata yang langsung berkaitan dengan mata pencaharian yang sesuai dengan isi puisi yang akan di sampaikan yaitu “Panurih Gatah”, sedangkan puisi yang lain menggunakan judul yang tidak secara langsung mengatakan mata pencaharian yang akan dijelaskan ataupun di sampaikan melalui judul, penyair hanya menggunakan nama tempat di mana pekerjaan itu dilakukan, dengan memiliki “Pasar Terapung” sebagai judul.
Dalam etimologi bahasa Banjar memang di temukan kata panuruh gatah yaitu bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia adalah penyadap karet. Sebenarnya pekerjaan ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat banjar terutama Kalimantan Selatan, bahkan mata pencaharia ini terdapat hampir di seluruh bagian di pulau Kalimantan. Bahkan, terdapat juga di pulau lainnya di Indonesia. Pekerjaan ini dapat dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan, dengan cara menoreh atau sedikit menguliti batang pohon karet, hingga batang pohon tersebut menguluarkan cairan kental yang bisa dikenal sebagai gatah atau karet.
Puisi yang lainnya yang akan dibandingkan yaitu berjulu “Pasar Terapung”. Dilihat dari judul, sepertinya penyair akan menceritakan dan mendiskripsikan apa itu pasar terapung? Tetapi, kenyataannya penyair malah menceritakan salah satu mata pencaharian masyarakat banjar yang terdapat di pasar terapung. Pekerjaan yang dilakukan adalah sebagai pedagang yang mendagangkan berbagai macam keperluan sehari-hari, dengan menggunakan sampan kecil yang terdapat di sepanjang sungai martapura.

Kajian Terhadap Bahasa
Puisi “Panurih Gatah” yang ditulis oleh Khairani Zain, ditulis dengan bahasa Banjar yang umumnya menggunakan bahasa Banjra yang sederhana dan mudah dimengerti. Dengan bahasa yang sederhana tersebut, idiom atau diksi yang digunakan juga di mengerti oleh pembaca. Walaupun  penyair sepertinya konsisten dengan bahasa yang digunakan yaitu bahasa Banjar, tetapi terdapat salah satu diksi atau kata yang berasal dari bahasa Indonesia yaitu kata yang pada bait pertama larik keempat yaitu anak yang halus balum bangunan. Kata yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang sama dengan kata nang dalam bahasa Banjar. Sebenarnya penyair juga memuat kata nang pada puisi ini dalam larik yang lain, seperti pada bait kedua larik kesembilan yaitu mun gawian nang jadi harapan, pada bait keempat larik keenam belas yaitu manyambung hidup nang bakawajiban dan pada larik ketujuh belas banyak harapan nang ka lawan tuhan.
Sementara pada puisi “Pasar Terapung” penyair Aliman Syahrani menggunakan bahasa yang juga umumnya ditulis dengan bahasa yang sederhana. Idiom atau diksi yang digunakan juga sederhana dan mudah dimengerti oleh pembaca, hanya saja terdapat salah satu kata atau diksi yang berasal dari bahasa daerah yaitu bahasa Banjar yaitu jukung yang dalam bahasa Indonesia adalah sampan serta kata tanjak yang berasal dari bahas Banjar,  namun di akhir puisi penyair tidak memberikan keterangan untuk kata atau diksi pada kata bahasa Banjar tersebut. keterangan untuk kata atau diksi bahasa Banjar pada puisi tersebut sebaiknya ada, mengingat bahwa puisi itu mungkin juga akan dibaca oleh orang yang tidak sebahasa dengan penyairnya.
Secara fisik puisi ini hampir sama dengan puisi “Perempuan-perempuan Perkasa” karya Hartojo Andangdjaja yang ditulis padda rahun 2000. Berikut puisi tersebut:
PEREMPUAN-PEREMPUAN PERKASA
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, dari manakah mereka
Ke stasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa
Sebelum peluit kereta pagi terjaga
Sebelum hari bermula dalam pesta kerja

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, ke manakah mereka
Di atas roda-roda baja mereka berkendara
Mereka berlomba dengan surya menuju gerbang kota
Merebut hidup di pasar-pasar kota

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
(Hartojo Andangdjaja, 2000:35)             
Dapat dilihat terdapat banyak persamaan pemilihan kata antara puisi “Perempuan-perempuan Perkasa” dengan puisi “Pasar Terapung” hanya saja terdapat perbedaan yang sangat mencolok terutama mengenai lokasi dan tempat yang digunakan oleh penyair, apabila Hartojo Andangdjaja dalam puisi “Perempuan-perempuan Perkasa” memilih perempuan yang berasal dari bukit untuk berjualan di kota, maka puisi “Pasar Terapung” karya Aliman Syahrani menceritakan perempuan-perempuan yang berjualan di pasar terapung. sebenarnya hal semacam ini bukanlah termasuk penyimpangan, karena jelas apa yang disampaikan sangat jauh berbeda, tetapi mungkin cara penyampaiannya saja yang hampir sama dan memunculkan presepsi penjiplakan antara kedua penulis puisi ini.
Kajian Terhadap Isi
Dilihat dari segi isi, baik puisi “Panurih Gatah” karya Khairani Zain dan puisi “Pasar Terapung” karya Aliman Syahrani yang sama-sama ditulis pada tahun 2010, keduanya juga sama-sama berisikan mengenai pendeskripsian mata pencaharian masyarakat Banjar, terutama mata pencaharian sebagai panruh gatah atau penyadap getah dan sebagai pedagang di pasar terapung. Kedua puisi walaupun memiliki pembahasan yang berbeda, namun sepertinya penjelasan yang terdapat dalam masing-masing puisi yaitu sama mengenai bagaimana usaha dan kerja keras yang harus dilakukan dalam menjalani pekerjaan tersebut.
Pada puisi “Panurih Gatah”, penyair dengan jelas mendeskripsikan bagaimana pekerjaan sebagai seorang panurih gatah atau penyadap getah. Penyair menyatakan bahwa “limbah sumbahyang subuh/Tulak manurih” walaupun dengan keadaan sepagi itu “hari masih kadap, salau-salauan” dan mereka juga harus pergi walaupun “anak yang halus balum bangunan” tetapi itu adalah kewajiban yang harus mereka lakukan dan resiko menjadi seorang panurih gatah,Itu pang sudah jadi gawian” .
Selain, hal di atas penyair juga mendeskripsikan peralatan yang perlu di bawa oleh seorang panunrih gatah yaitu “Tulak mambawa imbir. Penyair juga mendeskripsikan resiko yang harus dihadapi oleh penurih gatah ketika berangkat pagi sekali menuju “Padang gatah” itu adalah sebutan bagi masyarakat di sana, padang gatah yang dimaksudkan adalah kebun atau wilayah yang hanya ditanami oleh pohon karet. Panurih gatah juga harus rela “Dinginnya awak kada jadi halangan” karena, sebagai mata pencaharian mereka hanya dapat berharap dan bertumpu pada pekerjaan ini “Mun gawian nang jadi harapan”
Selain harus menghadapi dinginya di pagi hari, penyair juga mendeskripsikan kemungkinan yang dapat menjadi halangan atau rintangan yang akan dihadapi oleh panuruh gatah yaitu “Mun hujan turun tumatan malam” artinya mereka tidak dapat bekerja karena bekas hujan, hal ini mengakibatkan harapan mereka pada pekerjaan tersebut sudah hilang dan harus merelakannya “Pagat harapan/Pagat gawian”
Penyair juga cukup salut dengan pekerjaan panuruh gatah yang ternyata harus melalui berbagai rintangan dan halangan, begitulah kata penyair pekerjaan sebagai panurih gatah “Umai-umai pang panurih gatah” karena mereka hanya bertumpu dan berharap pada “Batang bagana jadi tumpuan” karena walaupun hanya pada batang tersebut, mereka dapat menyambung hidup yang sudah menjadi kewajiabn mereka untuk memberi nafkah pada keluarganya “Manyambung hidup nang bakawajiban” tetapi, walaupun bertumpu dan berharap pada pohon karet tersebut, harapan dan doa mereka sesungguhnya hanya kepada Tuhan yang berkuasa atas dirinya dan rezekinya “Banyak baharap nang ka lawan Tuhan.”
Berdasarkan deskripsi di atas dapat diketahui bahwa Khairani Zain dalam puisi “Panurih gatah” lebih banyak memuat mengenai kemungkinan halangan atau rintangan yang harus dilalui oleh para panurih gatah. Hampir sama dengan puisi “Pasar Terapung” karya Aliman Syahrani yang memiliki pendeskripsian mengenai salah satu mata pencaharian tradisional masyarakat Banjar, tetapi puisi ini sepertinya lebih menonjolkan usaha dan kerja keras yang harus dilakukan oleh para pedagang di pasar terapung, terutama untuk pedagang wanita.
Penyair mengungkapkan bahwa “Perempuan-perempuan yang mengayuh jukung di pagi buta,” penyair juga menanyakan “dari manakah mereka” lalu penyair juga menjelaskan bahwa mereka akan pergi “Ke Lok Baintan” dengan cara “mereka tanjak jukung dari pinggir-pinggir kota”. Penyair menyebutkan bahwa mereka berangkat di pagi buta “Sebelum bedug subuh terjaga” dan “Sebelum hari bermula dalam geliat kerja” artinya merekalah pekerja yang paling awal melakukan pekerjaan, sebelum orang lain memulai pekerjaan mereka.
Penyair mengungkapkan bahwa “Perempuan-perempuan yang mengayuh jukung di pagi buta,” penyair juga menanyakan “ke manakah mereka” lalu penyair juga menjelaskan arah tujuan kepergian mereka yaitu “Di atas riak sungai mereka berkendara” merek mengayuh “Berlomba dengan surya menuju dermaga” di dermaga itulah mereka melakukan aktivitas jual beli, yang dilakukan oleh semua para pedagang pasar terapung yang “Mengais hidup di arus niaga”
Penyair mengungkapkan bahwa “Perempuan-perempuan yang mengayuh jukung di pagi buta,” penyair juga menanyakan “Siapakah mereka” penyair juga menjelaskan di akhir puisi bahwa mereka bukan hanya perempuan yang sekedar berjualan untuk mencari rezeki dan menafkahi hidup mereka, tetapi lebih dari itu mereka “Ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa” mereka dikatakan perkasa, karena menurut penyair mereka juga dapat bekerja layaknya seorang laki-laki perkasa, oleh sebab itu penyai mengatakan mereka perkasa, yang biasnya kata perkasa hanya ditujukan kepada laki-laki. Selain itu penyair juga menjelaskan bahwa pekerjaan yang mereka lakukan ini tidak hanya sekedar pekerjaan, tetapi juga menghidupkan kegiatan yang terdapat di atas sungai dan akan terus tumbuh seperti “Akar-akar yang melata dari hulu mengalir ke muara” penyair juga memberikan pujian kepada perempuan-perempuan tersebut dengan menyebutkan “Mereka: cinta kasih yang bertaut menghidupi kota dan desa”
Berdasarkan kajian bandingan terhadap puisi “Panurih gatah” karya Khairani Zain dan puisi “Pasar Terapung” karya Aliman Syahrani yang sama-sama ditulis pada tahun 2010, memang sudah jelas memiliki judul yang sangat jauh berbeda, namun dari segi isi kedua puisi tersebut memiliki kesamaan yaitu sama-sama berisikan mengenai mata pencaharian tradisional yang terdapat pada masyarakat Banjar, dari hal inilah yang membuat kedua puisi ini menarik untuk dikaji denga kajian perbandingan.
Selain itu, bahasa puisi”Panurih Gatah” dan “Pasar Terapung” sama-sama menggunakan bahasa yang sederhana, tanpa mengurangi kualitas puisi. Kedua puisi ini juga menggunakan pemiliha kata yang mudah dimengerti dan ungkapan-ungkapan yang tidak terlalu sulit untuk memahami puisi secara keseluruhan oleh pembaca.
Dari segi isi puisi, puisi “Panurih gatah” karya Khairani Zain” lebih menonjolkan kemungkinan rintangan atau halangan yang akan dialami atau dilalui oleh para panurih gatah. Sementara pada puisi “Pasar Terapung” karya Aliman Syahrani sepertinya lebih menonjol pada sosio-budaya masyarakat Banjar terutama tentang mata pencaharian tradisional masyarakat Banjar, walaupun di dalamnya tetap memuat deskripsi mengenai pekerjaan para pedagang di pasar terapung

Kajian Sosiologis Puisi
“Pasar terapung” Aliman Syahrani
I.         PENDAHULUAN
A.    Pengertian kajian Sosiologi
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi (logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keduanya memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda bahkan bertentangan secara dianetral.
Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan disini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada diluar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra. Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa di observasi, di foto, dan di dokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra.
Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat dengan orang-orang, antar manusia, antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah “kebenaran” penggambaran atau yang hendak digambarkan. Namun Wellek dan Warren mengingatkan, bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya. Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut kadang tidak disengaja dituliskan oleh pengarang, atau karena hakikat karya sastra itu sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu.
B.     Ruang Lingkup Kajian Sosiologi
Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan.
Sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang dibicarakan. Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial.
Sosiologi sastra memiliki perkembangan yang cukup pesat sejak penelitian-penelitian yang menggunakan teori strukturalisme dianggap mengalami stagnasi. Didorong oleh adanya kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan sama dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka karya sastra harus dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem komunikasi secara keseluruhan.
Sosiologi sastra mempunyai tiga sasaran yang dibahas. Sasaran pertama adalah bahwa ia mengkaji fungsi sosial dari sebuah karya sastra: apakah penulis karya sastra  menganggap karya sastranya hanya sebagai penghibur saja? Sasaran kedua adalah konteks sosial dari  sastrawan itu sendiri yang meliputi; apa dan bagaimana pencaharian pengarang, profesionalisme kepengarangannya dan masyarakat yang dituju pengarang. Dan sasaran yang ketiga adalah bahwa sejauh mana karya itu mencerminkan sebuah masyarakat.
II.      PEMBAHASAN
Aspek Kebahasaan Puisi “Pasar Terapung”
PASAR TERAPUNG

Perempuan-perempuan yang mangayuh jukung di pagi buta, dari manakah mereka
Ke Lok Baintan mereka tanjak jukung dari pinggir-pinggir kota
Sebelum beduk subuh terjaga
Sebelum hari bermula dalam geliat kerja

Perempuan-perempuan yang mengayuh jukung di pagi buta, kemanakah mereka
Di atas riak sungai mereka berkendara
Berlomba dengan surya menuju dermaga
Mengais hidup di arus niaga

Perempuan-perempuan yang mengayuh jukung di pagi buta, siapakah mereka
Ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
Akar-akar yang melata dari hulu mengalir ke muara
Mereka: cinta kasih yang bertaut menghidupi kota dan desa
                                         Karya: Aliman Syahrani, 2010

Puisi “Pasar Terapung” karya Aliman Syahrani di tulis dalam bahasa Indonesia. Puisi ini terdiri dari tiga buah bait, setiap bait terdiri dari empat larik. Bait pertama terdiri dari empat buah larik (dimulai dengan perempuan-perempuan diakhiri dengan geliat kerja), bait kedua juga terdiri dari empat buah larik (dimulai dengan perempuan-perempuan diakhiri dengan arus niaga) dan bait terakhir juga terdiri dari empat larik (dimulai dengan perempuan-perempuan diakhiri dengan kota dan desa).
Pada puisi ini terdapat persamaan bunyi vokal di setiap akhir larik, yaitu vokal a . Pada bait pertama, “mereka, kota, terjaga dan kerja”. Pada bait kedua, “mereka, berkendara, dermaga dan niaga”, pada bait ketiga “mereka, perkasa, muara dan desa”. Berdasarkan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa setiap akhir larik pada puisi “Pasar Terapung” memiliki bunyi akhiran vokal yang sama, yaitu persamaan bunyi vokal a.
Dilihat dari segi diksi (pilihan kata) puisi tersebut dominan menggunakan kata perempuan. Sebenarnya dalam puisi “Pasar Terapung” jumlah pemakaian kata  perempuan sama dengan jumlah kata ganti mereka, yaitu sama-sama dilang  sebanyak enam kali. Walaupun sebenarnya kata mereka yang dimaksudkan oleh penyair adalah orang yang sama dengan perempuan yang disebutkan terlebih dahulu. Hal ini mungkin digunakan penyair sebagai penekanan tentang apa yang ingin disampaikan dalam puisi, yaitu perempuan sebagai subjek utama dalam puisi ini. pengulangan seperti itu juga termasuk ke dalam majas, yaitu majas repetisi.
Masih mengenai pemajasan, puisi tersebut terutama ditulis dengan majas paralelisme. Pemakaian majas paralelisme pada puisi tersebut nampkanya untuk mencapai kesejajaran dalam pemkaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Juga sebagai penekanan. Misalnya pada bait pertama larik pertama, “Perempuan-perempuan yang mangayuh jukung di pagi buta, dari manakah mereka”. Larik tersebut diulang kembali pada bait kedua larik kelima,  ”Perempuan-perempuan yang mengayuh jukung di pagi buta, kemanakah mereka”, meskipun dengan mengubah frasa pada pertanyaan “dari manakah mereka” menjadi “ke manakah mereka”. Kemudian, dari dua larik tersebut diulang kembali pada bait ketiga larik kesembilan “Perempuan-perempuan yang mengayuh jukung di pagi buta, siapakah mereka”, meskipun dengan mengubah frasa pada pertanyaan “dari manakah mereka” menjadi “siapakah mereka”. Pemakaian majas paralelisme pada puisi tersebut memang tepat digunakan, lebih-lebih karena jawaban atau penjelasan dari masing-masing pertanyaan pada setiap bait, bait pertama “dari manakah mereka”, bait kedua “ke manakah mereka”, dan bait ketiga “siapakah mereka”, memang dikemukakan pada larik-larik berikutnya pada masing-masing bait.
Majas lain yang juga terdapat dalam puisi “Pasar Terapung” yaitu majas personifikasi. Personifikasi adalah majas yang memberikan sifat-sifat manusia pada benda mati.  Majas personifikasi, terutama terdapat pada bait pertama, larik ketiga “Sebelum bedug subuh terjaga” larik ini seperti mengatakan bahwa bedug itu bisa terjaga layaknya, manusia. Padahal yang sebenarnya adalah bedug tersebut dibunyikan oleh manusia. Majas personifikasi juga terdapat pada bait kedua, larik keenam dan tujuh “Berlomba dengan surya menuju dermaga” pada larik ini, penyair seperti mengatakan bahwa surya atau matahari dapat berlomba layaknya manusia, padahal yang dimaksudkan sebenarnya bahwa, penyair ingin menyampaikan bawha perempuan-perempuan itu tidak ingin ketika matahari sudah meninggi tetapi, mereka belum sampai ke tempat tujuan mereka.
Selain itu, majas lain juga terdapat pada puisi ini, yaitu majas hiperbola. Majas hiperbola adalah majas yang menggunakan ungkapan dengan melebih-lebihkan apa yang sebenarnya diungkapkan. Majas hiperbola terutama terlihat pada puisi “Pasar Terapung” bait ketiga larik kesepuluh “ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa”
Dilihat dari segi pencitraan, pada puisi tersebut sepertinya dominan dengan citraan penglihatan, seperti “Perempuan-perempuan yang mengayuh jukung di pagi buta, siapakah mereka/Di atas riak sungai mereka berkendara/Ke Lok Baintan mereka tanjak jukung dari pinggir-pinggir kota/Berlomba dengan surya menuju dermaga/Akar-akar yang melata dari hulu mengalir ke muara”. Dengan dominannya citraan penglihatan pada puisi “Pasar Terapung”, sepertinya penyair, menginginkan pembaca benar-benar dapat melihat serta menghayati apa yang ingin disampaikan penyair melalui puisi tersebut
Aspek Sosiologis Puisi “Pasar Terapung”
Puisi “Pasar Terapung” karya Aliman Syahrani menampilkan hubungan penyair dengan lingkungan yang ada di sekitarnya dan masyarakat yang disaksikannya. Puisi tersebut merupakan suatu cerminan sosial budaya pada sebagian masyarakat Banjar. Cerminan sosial budaya yang ditampilkan terutama mengenai mata pencaharian tradisional masyarakat Banjar. Mata pencaharian ini dominan dilakukan olah masyarakat Banjat yang tinggal di sepanjang pinggiran sungai martapura.
Pokok permasalahan yang ditampilkan penyair melalui puisi tersebut terutama mengenai mata pencaharia yang sebagian besar dilakukan oleh para perempuan-perempuan yang bekerja sebagai pedagang di pasar terapung.  pada bait pertama penyair mengemukakan sebuah pertanyaan tentang perempuan-perempuan tersebut, “Perempuan-perempuan yang mangayuh jukung di pagi buta, dari manakah mereka” dari larik tersebut, perempuan-perempuan tersebut sangatlah penting untuk dikemukakan dalam puisi ini, terbukti dengan pertanyaan “dari manakah mereka” penyair sepertinya penasaran dari mana asal mereka, “Ke Lok Baintan mereka tanjak jukung dari pinggir-pinggir kota” penyair kemudian mengungkapkan bahwa mereka bersalah dari pinggiran kota, walaupun tidak disebutkan mereka tinggal pinggiran sungai yang agak jauh dari kota. Penyair juga menyebutkan bahwa mereka berangkat “Sebelum bedug subuh terjaga” dan “Sebelum hari bermula dalam geliat kerja”, para perempuan ini harus berangkat saat hari masih gelap.
Pada bait kedua, penyair kembali menekankan pada perempuan-perempuan tersebut, penyair kembali mengemukakan sebuah pertanyaan tentang perempuan-perempuan tersebut, “Perempuan-perempuan yang mangayuh jukung di pagi buta, ke manakah mereka” dari larik tersebut, perempuan-perempuan tersebut sangatlah penting untuk dikemukakan dalam puisi ini, terbukti dengan pertanyaan “ke manakah mereka” larik selanjutnya penyair kembali memberika jawaban atas pertanyaan tersebut, bahwa perempuan-perempuan itu “Di atas riak sungai mereka berkendara” menuju tempat tujuan mereka dengan “Berlomba dengan surya menuju dermaga” jadi, pada larik tersebut jelas bahwa perempuan-perempuan itu pergi menuju dermaga, dimana aktivitas jual-beli banyak dilakukan di sini, walaupun harus menempuh jarak yang jauh dengan mengayuh jukung, tetapi penyai menekankan bahwa itulah mata pencaharian mereka dengan “Mengais hidup di arus niaga”
Pada bait ketiga, lagi-lagi  penyair kembali menekankan pada perempuan-perempuan tersebut, penyair kembali mengemukakan sebuah pertanyaan tentang perempuan-perempuan tersebut, “Perempuan-perempuan yang mangayuh jukung di pagi buta, siapakah mereka” dari larik tersebut, perempuan-perempuan tersebut sangatlah penting untuk dikemukakan dalam puisi ini, terbukti dengan pertanyaan “siapakah mereka” pada bait inilah sepertinya pesan puisi yang sebenarnya yang ingin disampaikan oleh penyair, yaitu tentang siapa sebenarnya perempuan-perempuan ini. Penyair ingin menyampaikan bahwa mereka bukanlah sekedar perempuan-perempuan yang berjualan di pasar terapung, tetapi penyair ingin menyampaikan bahwa mereka adalah ibu bagi anak-anaknya, istri bagi suaminya seperti perempuan-perempuan yang lain dan yang membuat mereka istimewa adalah mereka dapat bekerja dengan giat, karena pekerjaan ini sudah jarang digeluti oleh ibu-ibu pada umumnya saat ini, oleh sebab itu penyair menyebutkan bahwa mereka ‘Ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa” penyair juga menyampaikan bahwa pekerjaan ini bukanlah sekedar mencari rezeki dan menghidupi keluarga, tetapi melebihi itu pekerjaan ini adalah warisan dan kebudayaan yang terus mereka pelihara sampai saat ini walaupun di arus globalisai dan perkembangan zaman yang sudah modern ini, mereka seperti “Akar-akar yang melata dari hulu mengalir ke muara” artinya mereka aka terus merambat layaknya akar-akar pohon yang terus berkembang melestarikan budaya ini. Lalu, dengan adanya mereka penyair juga ingin berpesan bahwa pekerjaan yang mereka lakukan bukanlah semat-mata karena mencintai keluarga mereka tetapi juga karena mereka benar-benar mencintai pekerjaan mereka yang secara tidak langsung sudah membuat kota dan desa mereka menjadi hidup serta terkenal hampir ke seluruh Indonesia “Mereka: cinta kasih yang bertaut menghidupi kota dan desa”.
Secara implisit puisi tersebut juga memberikan gambaran bahwa pedagang di pasar terapung yang sangat ulet dan  giat dalam bekerja tidak hanya sekedar untuk mencari rezeki dan menghidupi keluarga, tetapi melebihi itu mereka memiliki kecintaan tersendiri terhadap budaya dari pekerjaan yang mereka hidupi. Karena pada saat ini, hanya orang-orang tertentu saja yang masih menggeluti pekerjaan ini. sebagian besar oerang akan lebih memilih pekerjaan lain yang lebih ringan dan menghasilkan uang lebih banyak. Kebanyakan dari pedagang di pasar terapung  sepertinya sudah memiliki kecintaan pada pasar terapung dalam jiwa mereka yang diturunkan dari orang tua mereka. Karena sebenarnya pasar terapung tidak hanya sebagai tempat aktivitas jual beli layaknya pasar, tetapi pasar terapung lebih menonjolkan budaya masyarakat Banjar itu sendiri.

Daftar Rujukan
Sulistyowati, Endang dan Tarman Effendi. T. 2014. Kajian Puisi Struktural, Semiotik, Stilistika, Bandingan dan Sosiologi. Cetakan Ketiga. Banjarmasin: Tahura Media.
-----. 2014. Aneka Kajian: Prosa Fiksi. Cetakan Keempat. Banjarmasin; Tahura Media.
Tarsyad, Tarman Effendi. 2014. Tentang Puisi Penyair Kalimantan. Cetakan Pertama. Banjarmasin: Scripta Cendekia.  
-----. 2011. Kajian stilistika puisi Sapardi Djoko Damono. Banjarmasin: Tahura Media.
Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2001. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Bandung: YRAMA WIDYA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar