Sabtu, 08 Oktober 2016

PUISI

Saya sebenarnya bukan orang yang pandai berpuisi, saya hanya lebih suka menulis. Nah, karena Puisi adalah salah satu jenis tulisan. jadi apa salahnya saya mencoba menulis puisi. biasanya orang selalu berfikir bahwa puisi yang ditulis adalah luapan emosi penulisnya, tapi sebenarnya hal itu tak sepenuhnya benar. kali ini saya akan berbagi tentang puisi yang entah kapan saya menulisnya, ketika membuka-buka buku saya menemukan tulisan ini. sepertinya sayang jika hanya tercatat dalam buku. ijinkan saya untuk membagikannya kepada teman-teman sekalian, semoga kalian menyukainya dan apabila tidak suka juga tidak apa-apa.

Waktu

Setiap hari berlalu
Masih saja teringat dirimu
Setiap minggu terlewat
Bayangmu masih teringat
                 Setiap bulan berganti
                 Kehadiranmu masih kunanti
                 Setiap tahun bergulir
                 kenanganmu masih terukir
Semua ini bukan karenamu
Semua ini salahku
Tak merelakanmu pergi
Tapi, membiarkanmu tetap dalam hati

Saat ini senyummu terbayang
Semetara tangisku tak terbendung.


Jarak

Kau ada di depan mataku
Tapi, aku tak mampu menatapmu
Kau berdiri dihadapanku
Tapi, aku tak bisa meraihmu
                 Sungguh aku tak mengerti
                 Dengan semua keadaan ini
                 Bukan kita tak ingin bersama
                 Tapi takdir menghalangi kita
Tuhan Jika memmang begitu
Pisahkan dan jauhkan kami
Hilangkan dia dari ingatanku
Hilangkan aku dari ingatannya.

Kajian Stilistika : Mendulang Malam-malam (Eza Thabry Husano)



I.     PENDAHULUAN
A.    Pengertian Kajian Stilistika
Stilistika dalam konteks bahasa dan sastra mengarah pada pengertian studi tentang style (gaya bahasa), kajian terhadap wujud performasi kebahasaan (Nugrgiyantoro, 1998:2179). Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1998:280) stilistika kesastraan merupakan sebuah metode analisis karya sastra yang mengkaji berbagai bentuk dan tanda-tanda kebahasaan yang digunakan seperti yang terlihat pada struktur lahirnya. Metode analisis ini menjadi penting, karena dapat memberikan informasi tentang karakteristik khusus sebuah karya sastra.
Melalui pendekatan stilistika dapat dijelaskan interaksi yang rumit antara bentuk dan makna yang sering luput dari perhatian dan pengamatan para kritikus sastra (Panuti Sudjiman, 1993:vii). Sebab, kajian stilistika dalam satra melihat bagaimana unsur-unsur bahasa digunakan untuk melahirkan peasan-pesan dalam karya sastra. Atau dengan kata lain, kajian stilistika berhubungan dengan pengkajian pola-pola bahasa dan bagaimana bahasa digunakan dalam teks sastra secara khas. Analisis bahasa yang dipolakan secara khas tersebut kita tuntut untuk dapat menunjukkan kekompleksitasan dan kedalaman bahasa teks sastra tersebut dan juga menjawab bagaimana bahasa tersebut memiliki kekuatan yang menakjubkan, kekuatan kreatifitas karyaa sastra (Cummings dan Simmons, 1986:vii).
B.     Ruang Lingkup Kajian Stilistika
Pada mulanya, stilistika lebih terbatas pada persoalan bahasa dalam karya sastra. Namun dalam perkembangannya, pengertian gaya juga dilihat dalam hubungannya di luar karya sastra. Maka dibedakan antar gaya sastra dan gaya non sastra.
Penulis akan membuat batasan pada kajian yang akan di kaji yang hanya mengkaji unsur gaya bahasa yang meliputi unsur leksikal, gramatikal dan retorika.   unsur leksikal, atau diksi dapat diartikan sebagai pilihan kata – kata yang dilakukan oleh pengarang dalam karyanya guna menciptakan makna tertentu. Diksi yang baik adalah yang sesuai dengan tuntutan cerita, keadaan atau diksi peristiwa, dan pembacanya (Yusuf, 1995: 68 ). Dengan demikian diksi dalam konteks sastra merupakan pilihan kata pengarang untuk mengungkapkan gagasanya guna mencapai efek trtentu dalam sastranya..
Makna gramatikal adalah makna struktural yang muncul sebagai akibat hubungan antara unsur-unsur gramatikal dalam satuan gramatikal yang lebih besar. Umpamanya hubungan morfem dan morfem dalam kata, kata dan kata lain dalam frasa atau klausa, frasa dan frasa dalam klausa. Unsur gramatikal atau unsur kalimat yakni cara pengarang menyusun kalimat – kalimat dalam sastranya. Gaya kalimat ialah penggunaan suatu kalimat untuk memperoleh efek tertentu.
Berkenaan dengan unsur retorika. Retorika berasal dari bahasa Inggris rethoric yang artinya ‘ilmu bicara’. Dalam perkembangannya, retorika disebut sebagai seni berbicara di hadapan umum atau ucapan untuk menciptakan kesan yang diinginkan. Retorika adalah suatu gaya/seni berbicara baik yang dicapai berdasarkan bakat alami dan keterampilan teknis. Salah satu unsur retorika yang akan dikaji pada kajian ini adalah mengenai pemajasan.  Menurut Burhan Nurgiyantoro (2002: 296) pemajasan (Figure of thought) merupakan teknik pengungkapkan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak menunjuk pada makna kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang terkandung. Dengan demikian, pemajasan merupakan gaya bahasa yang memanfaatkan bahasa kiasan. Bahasa kiasan adalah bahasa yang dipakai untuk mengungkapkan sesuatu dengan tidak menunjuk secara langsung, terhadap objek yang, dituju. Penggunaan bahasa kiasan dimaksudkan untuk menunjukkan efek tertentu sehingga apa yang dikemukakan lebih menarik.




II.  PEMBAHASAN
Bahasa Puisi “Mendulang Malam-malam”
MENDULANG MALAM-MALAM
Mendulang malam-malam
Mengganggsang lobang-lobang
Terdengar tembang malam
Menyentuh daun-daun
Karamunting. Hutan-hutan
Betapa pedihnya

Mendulang malam-malam
Bercebur di lumpur-lumpur
Ditikam embun-embun
Disita waktu-waktu. Dan
Harapan-harapan
Betapa pedihnya

Mereka entah tak mengerti
Mahkota pasti tak bakal lahir
Di sini. Karena mahkota milik
Ratu-ratu. Atau orang-orang
Bukan pribumi. Yang menyita
Tanah-tanah mereka
Betapa pedihnya

Mereka tetap berdiri di sini
Menusuk malam jauh angan-angan
Bagai jarum-jarum, kelam
Sudah berpuluh-puluh tahun. Dan
akan berpuluh-puluh tahun lagi
Oh,
Betapa

(Eza Thabry Husano, 1974:37)

Puisi  “Mendulang Malam-malam” terdiri dari empat bait. Bait pertama dan bait kedua terdiri dari enam larik sedangkan bait ketiga dan bait keempat terdiri dari tujuh larik. Jumlah larik keseluruhan yaitu sebanyak dua puluh enam larik. Puisi tersebut ditulis dengan bahasa yang hemat. Tidak ada kata yang mubazir. Meskipun ada pengulangan larik secara menyeluruh maupun pengulangan yang hanya sebagian frasanya mengalami perubahan atau perluasan, seperti pada larik kedua puluh tiga dan kedua puluh empat yang mengalami pengulangan sebagian frasanya “Sudah berpuluh-puluh tahun/Dan akan berpuluh-puluh tahun lagi” lalu pada larik pertama dan ketujuh yang lariknya secara utuh berulang “Mendulang malam-malam” dan frasa “Betapa pedihnya” yang diulang secara utuh pada setiap bait di akhir larik. . Pengulangan larik seperti itu tidak dikatakan mubazir. Justru pengulangan larik seperti itu selain sebagai penekanan juga memperlihatkan keparalelan ungkapan
Begitu pula dengan pemakaian frasa “Mendulang malam-malam” sebagai focus pembicaraan, pada bait yang berbeda tidak perlu diulang kembali pada larik-larik berikutnya, cukup menggantinya dengan kata “mereka”, sebagai kata pengganti para pendulang tersebut yang muncul sebanyak dua kali pada bait ketiga larik ketiga belas dan bait keempat larik ke dua puluh. Lebih-lebih pada setiap bait mengenai para pendulang tersebut diberi pernyataan yang berbeda. Pada bait ketiga larik ketigabelas dinyatakan mengenai “Mereka entah tak mengerti” dan bait ketiga larik keduapuluh “Mereka tetap berdiri di sini”. Dengan adanya pengulangan semacam itu, baik secara frasa “Mendulang malam-malam” maupun pengulangan kata “mereka” pada puisi tersebut bukan sesuatu yang mubazir.
Penggunaan kata penghubung dalam sebuah larik yang cukup sering digunakan dalam puisi ini juga tidak bisa dikatakan sesuatu yang mubazir, seperti kata penghubung dan pada bait kedua larik kesepuluh “Disita waktu-waktu. Dan” lalu pada bait keempat larik ke duapuluh tiga “Sudah berpuluh-puluh tahun. Dan” serta kata penghubung atau yang terdapat pada bait ketiga larik ke enambelas “Ratu-ratu. Atau orang-orang” kata penghubung seperti itu tidak dapat dikatakan mubazir.
Puisi tersebut juga ditulis dengan bahasa yang cermat. Misalnya pada pilihan kata atau frasa pada bait pertama seperti Menggangsang lobang-lobang,(dan)Terdengar tembang malam, semua mengacu pada gambaran yang sama yaitu mengenai mata pencaharian orang Banjar yaitu mendulang intan Menggangsang lobang-lobang yang dilakukan pada watu malam hari Terdengar tembang malam. Antara kata atau frasa yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Pilihan kata tersebut memberikan gambaran bahwa para pendulang tersebut membuat (menggangsang)  lubang-lubang (lobang-lobang) untuk menggali tanah yang mungkin mengandung intan untuk di dulang. Semua itu juga memberi gambaran bagaimana pekerjaan yang harus dilakukan oleh seorang pendulang di pendulangan intan dan untuk menghilangkan kesunyian mereka mungkin akan bersenandung untuk sekedar menghibur diri seperti,  Terdengar tembang malam
Begitu pula pada bait kedua, juga tampak kecermatan penyair dalam pemilihan kata atau frasa seperti bercebur di lumpur, ditikam embun-embun, disita waktu-waktu dan harapan-harapan. Atara kata atau frasa yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Semua juga mengacu pada gambaran yang sama,  yaitu mengenai kegigihan para pendulang yang setelah mengangkut tanah dari dalam lubang-lubang mereka membawa tanah itu untuk dilinggang di dalam air yang berleumpur dengan menceburkan sebagian tubuh mereka bercebur di lumpur meskipun tubuh mereka harus merasakan udara dingin baik dari air ataupun dari embun (ditikam embun-embun) walaupun dalam linggangan tersebut mereka hanya melinggang tanah itu tanpa mendapatkan sebutir intan pun hingga membuang-buang waktu mereka (disita waktu-waktu) dan apabila hal itu telah terjadi, maka hilanglah harapan mereka untuk mendapatan rezeki (dan harapan-harapan)
Pada bait ketiga, juga tampak kecermatan penyair dalam pemilihan kata atau frasa seperti mereka entah tak mengerti, mahkota pasti tak bakal lahir di sini, karena mahkota milik ratu-ratu, atau orang-orang bukan pribumi, yang menyita tanah-tanah mereka. Antara kata atau frasa yang satu dengan yang lainnya juga saling berkaitan. Semua juga mengacu pada gambaran yang sama, yaitu mengenai keluguan dan kepolosan para pendulang terhadap intan yang mereka dulang dan mereka perjuangkan setiap hari (mereka entah tak mengerti) memiliki nilai jual yang sangat tinggi dan hanya digunakan oleh orang-orang yang istimewa (mahkota pasti tak bakal lahir di sini)  dengan rancangan dan buatan sedimikian rupa (karena mahkota milik ratu-ratu) hingga diburu oleh orang-orang yang tidak dari kalangan biasa seperti mereka (orang-orang bukan pribumi) bahkan, yang tak mereka sadari bahwa tanah mereka semakin terkikis oleh keserakahan manusia (yang menyita tanah-tanah mereka)
Pada bait keempat, juga tampak kecermatan penyair dalam pemilihan kata atau frasa seperti mereka tetap berdiri di sini, menusuk malam jauh angan-angan, bagai jarum-jarum, kelam sudah berpuluh-puluh tahun, dan akan berpuluh-puluh tahun lagi. Antara kata atau frasa yang satu dengan yang lainnya juga saling berkaitan. Semua mengacu pada kerja keras pada pendulang dalam bekerja terutama dalam mendulang intan (mereka tetap berdiri di sini) walaupun pada malam tengah malam mereka tetap mendulang untuk mendapatkan rezeki. Karena kerja keras para pendulang tersebut, penyair menyebutkan bahwa mereka tetap berdiri di sini, menusuk malam jauh angan-angan, bagai jarum-jarum, kelam sudah berpuluh-puluh tahun, dan akan berpuluh-puluh tahun lagi.
Pada dasarnya puisi tersebut juga ditulis dengan bahasa yang tepat. Seperti penggunaan kata depan di letaknya harus terpisah dengan kata yang menunjukkan tempat. Misalnya, di lumpur-lumpur dan di sini. Oleh karena itu, pemakaian kata depan di yang menunjukkan kata tempat pada bait kedua larik kedelapan “Bercebur di lumpur-lumpur” , bait ketiga larik kelima belas “Di sini. Karena mahkota milik” dan pada bait keempat larik keduapuluh “Mereka tetap berdiri di sini”, memang tepat dipakai kata depan di, karena diikuti oleh kata yang menyatakan tempat, “Bercebur di (dalam) lumpur-lumpur” dan “sini”.
Meskipun demikian, penulisan kata depan di yang berfungsi sebagai prefiks atau awalan juga tepat penggunannya. Misalnya prefiks di pada “ditikam” dan “disita”, memang tepat ditulis menyatu, karena di sebagai imbuhan awalan penulisannya harus menyatu dengan kata yang mengikutinya.
Gaya Puisi “Mendulang Malam-malam”
Berkaitan dengan unsur fonologis, pada puisi “Mendulang malam-malam” dominan dengan bunyi vokal a dan u. Dominannya bunyi vokal a dan u yang memang terasa berat tampaknya sangatlah cocok dengan apa yang ingin dikemukakan oleh penyair pada puisi tersebut, terutama mengenai mata pencaharian orang banjar yaitu mendulang. Penyair ingin menyampaikan bahwa pekerjaan sebagai mendulang tidaklah mudah bahkan sangat berat tetapi mereka tidak bisa mencapai kesuksesan dan kebahagian dalam hidup hanya dengan mengharapakn nafkah melalui mendulang intan.
Sesuai dengan suasana serta pesan yang ingin disampaikan, unsur leksikal pada puisi tersebut sangat dominan dengan bunyi vokal a dan u. Beberapa kata yang mengandung bunyi vokal a, dapat disebutkan misalnya, malam-malam, mengganggsang, betapa, waktu-waktu, dan, harapan, tak, mahkota, bakal, karena, tanah, angan, bagai, dan  akan. Bahkan beberapa kata tersebut, banyak yang cukup diulang pada beberapa bait.  
Berkenaan dengan unsur gramatikal, puisi tersebut ditulis larik demi larik. Antara larik satu dengan larik berikutnya disusun berurutan secara linier. Juga meskipun pada beberapa larik terdapat enjabemen, antara larik satu dengan larik yang lain tersebut tetap memperlihatan satu kesatuan yang linier. Pada sebuah puisi, enjabemen memang dibenarkan. Begitu pula pada puisi tersebut. enjabemen terdapat pada bait kedua seperti “Disita waktu-waktu. Dan/harapan-harapan”. Sebenarnya merupakan satu kesatuan, satu larik, tetapi terjadi enjabemen. Begitu pula pada bait ketiga “Bukan pribumi. Yang menyita/tanah-tanah mereka”. Sebenarnya merupakan satu kesatuan, satu larik, tetapi terjadi enjabemen. Juga pada bait keempat “Sudah berpuluh-puluh tahun. Dan/akan berpuluh-puluh tahun lagi,”. Sebenarnya merupakan satu kesatuan, satu larik, tetapi terjadi enjabemen.
Mengenai pemajasan, puisi tersebut terutama terdapat majas personikasi, Majas personifikasi adalah jenis majas yang melekatkan sifat-sifat insani manusia kepada barang yang tidak bernyawa dan idea yang abstrak. (Tarigan, 1985b:123). Majas personifikasi yang terdapat pada puisi “Mendulang malam-malam”   terdapat pada setiap bait dalam puisi, misalnya pada bait pertama “Terdengar tembang malam/Menyentuh daun-daun” memiliki sifat insani, bahwa suara (terdengar tembang) seakan-akan dapat  menyentuh daun-daun. Pada bait kedua “Ditikam embun-embun/Disita waktu-waktu. Dan” memiliki sifat insani seakan-akan embun-embun itu dapat menikam (ditikam) seseorang. Pada bait ketiga “Mahkota pasti tak bakal lahir/Di sini. Karena mahkota milik.” Memiliki sifat insani yaitu seakan-akan mahkota itu dilahirkan seperti layaknya makhuk insani. Pada bait keempat “Menusuk malam-malam jauh angan-angan” memiliki sifat insani seakan-akan malam-malam itu dapat menusuk.
Sehubungan dengan penyiasatan struktur, puisi tersebut ditulis dengan gaya repetisi, baik repetisi yang berkaitan dengan unsur fonologis, leksikal maupun frasa. Repetisi yang berkaitan dengan unsur fonologis terutama dominannya pengulangan bunyi vokal a pada kata-kata yang ada pada puisi tersebut. Juga adanya asonansia dan aliterasi. Asonansi terutama terdapat ulangan bunyi vokal a secara berurutan yaitu pada bait pertama larik ketiga, betapa pedihnya, pada bait ketiga larik kelima belas karena mahkota dan pada bait keempat larik kedua puluh terdapat ulangan bunyi vokal i secara berurutan berdiri di sini. Aliterasi misalnya pada bait pertama larik  pertama terdapat persamaan bunyi m pada frasa Mendulang malam-malam, dan pada bait keempat larik kedua puluh satu menusuk malam lalu terdapat persamaan bunyi t pada larik ketiga, terdengar tembang.. Bahkan diantara frasa tersebut ada yang diulang pada bait selanjutnya. Repetisi yang mengandung unsur leksikal, berkaitan dengan pengulangan berkali-kali kata yang sama yaitu, malam (diulang sebanyak enam kali) , dan (diulang sebanyak dua kali), tak (diulang sebanyak dua kali), di sini (diulang sebanyak dua kali), dan  mereka (diulang sebanyak tiga kali). Repetisi yang berkaitan dengan frasa, terutama pada bait pertama dan kedua yaitu mendulang malam-malam, masih berkenaan dengan pengulangan berkali-kali kelompok kata yang sama baik pada bait pertama, kedua, ketiga dan keempat, terutama pengulangan berkali-kali kelompok kata atau frasa yang sama, yaitu betapa pedihnya, pengulangan berkali-kali kelompok kata atau frasa yang sama juga terdapat pada bait keempat larik kedua puluh tiga dan dua puluh empat, yaitu berpuluh-puluh tahun.
Adanya struktur yang sering berulang pada puisi tersebut, nampaknya sebagai penekanan terhadap pesan yang ingin disampaikan. Untuk lebih menekankan pesan puisi tersebut disajikan baik dengan citraan penglihatan, gerakan maupun pendengaran. Berkaitan dengan citraan penglihatan misalnya “mendulang malam-malam/Bercebur di lumpur-lumpur/mereka tetap berdiri di sini”. berkaitan dengan citraan gerakan misalnya, “Mengganggsang lobang-lobang” dan berkaitan dengan citraan pendengaran misalnya, “Terdengar tembang malam”.
Dilihat dari segi kohesinya, secara keseluruhan puisi tersebut ditulis dengan kata, frasa maupun larik yang saling berkaitan. Keterkaitan itu dapat dilihat misalnya dengan adanya pengulangan frasa mendulang malam-malam, yang semula dikemukakan pada bait pertama larik pertama, dikemukakan lagi pada bait kedua larik ketujuh. Begitu pula dengan kata mereka, sebagai kata ganti frasa ulang mendulang malam-malam. Walaupun dalam frasa tersebut tidak ada menyebutkan tokoh, tetapi dari larik diatas merupakan kata kerja yang harus dilakukan oleh seseorang yaitu para pendulang yang pada larik selanjutnya diganti dengan kata mereka. Yang semula terdapat pada bait ketiga larik ketiga belas, dikemukakan lagi pada bait keempat larik kedua puluh. Masih berkenaan dengan pengulangan frasa. Misalnya frasa, betapa pedihnya, yang semula dikemukakan pada bait pertama larik pertama, lalu dikemukakan lagi pada bait kedua larik kedua belas, kemudian dikemukakan lagi pada bait ketiga larik kesembilan belas dan bait keempat larik kedua puluh enam. Bahkan unsur fonologis juga memiliki keterkaitan, terutama dominannya pengulangan kata yang mengandung bunyi vokal a. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa puisi tersebut ditulis dengan gaya repetisi, baik repetisi yang berkaitan dengan unsur fonologis, leksikal maupun frasa.

Pembahasan Puisi “Mendulang Malam-malam”
Puisi “Mendulang malam-malam” dimulai dengan suatu pertanyaan, seperti pada larik pertama bait pertama, “Mendulang malam-malam” kata mendulang pada larik tersebut merupaka verba atau kata kerja yang sangat penting dan ditekankan. Hal ini berkenaan dengan kata verba atau kata kerja yang pasti dilakukan oleh subjek, tetapi dalam larik tersebut tidak disebutkan subjek yaitu para pendulang. Penekanan juga tampak pada pengulangan larik yang sama pada bait kedua larik ketujuh. Bahkan kata mendulang itu juga sering diganti dengan kata mereka, yang menunjukkan tokoh jamak. Karena biasanya orang yang bekerja sebagai pendulang bekerja secara berkelompok. Kata mereka juga sering diulang pada bait ketiga maupun bait keempat.
Kalau mendulang itu sering diulang dan dinyatakan penting, timbul pertanyaan bagaimana perkerjaan mendulang itu? Pada bait pertama dikatakan bahwa mereka mendulang itu, yaitu mengganggsang lobang-lobang. Frasa tersebut memberikan jawaban bahwa mendulang itu menggali tanah yang mengandung intan, hingga di tanah tersebut berbentuk seperti lobang-lobang akibat selalu digali dan diambil tanahnya. Lalu selanjutnya terdapat larik “terdengar tembang malam/menyentuh daun-daun/karamunting. Hutan-hutan” artinya saat mendulang di malam hari tersebut, untuk menghilangkan kebosanan dan untuk menciptakan suasana yang lebih menyenangkan mereka berdendang-dendang kecil dengan sedikit bernyanyi, karena di tempat pendulangan sunyi maka tidak ada yang mendengar kecuali mereka dan (seakan-akan) daun yang berada di sekitar tempat pendulangan terutama pohon yang berbuah karamunting yang biasanya terdapat di dalam hutan. Dengan keadaan seperti itu penyair menyatakan “betapa pedihnya” pekerjaan yang harus dilakukan oleh para pendulang.
Jika pada bait pertama dimulai dengan suatu pernyataan mendulang malam-malam, maka pada bait kedua juga dimulai dengan pernyataan yang sama. Larik tersebut kembali menekankan betapa pentingnya mendulang yang disebut pada puisi tersebut, sehingga kembali diulang oleh penyair. Meskipun demikian, pertanyaan pada larik selanjutnya di bait kedua ini berbeda dengan larik kedua pada bait pertama. Pada bait tersebut menerangkan bahwa para pendulang harus menggali dan mengangkut tanah, hingga membuat lobang-lobang dari tanah tersebut. Larik ini menjelaskan terutama hal yang harus dilakukan setelah menggali tanah yaitu “bercebur di lumpur” untuk melinggang tanah yang mengandung intan tersebut di dalam danau yang dasarnya berlumpur. Penyair juga kembali menjelaskan keadaan yang harus dilalui oleh para pendulang dalam melakukan pekerjaanya, yaitu “ditikam embun-embun” lalu harus terus berusaha apabila tanah yang dilinggang tak terdapat intan di antaranya, mereka harus merelekan usahnya tersebut “disita waktu-waktu. Dan/ harapan-harapan”, serta merelakan harapan yang awalnya muncul saat mulai melinggang tanah tersebut. Dengan keadaan seperti itu, kembali penyair menyatakan “betapa pedihnya” pekerjaan yang harus dilakukan oleh para pendulang.
Berbeda dengan bait pertama dan kedua yang di awali pernyataan “Mendulang malam-malam”. Pada bait keempat sudah digunakan kata ganti mereka untuk menggantikan para pendulang. Pada bait ketiga dimulai dengan pertanyaan “Mereka entah tak mengerti” larik tersebut kembali menekankan pentinga para pendulang walaupun awalnya cukup menggunakan kata verba mendulang kemudian dig anti dengan kata ganti mereka. Meskipun demikian, pertanyaan yang terdapat pada larik ini berbeda dengan pernyataan yang terdapat pada bait pertama dan kedua yang secara runtut menjelaskan langkah-langkah yang harus dikerjakan para pendulang. Pada bait ketiga ini penyair justru bertanya “mereka entah tak mengerti?” Pada larik berikutnya pertanyaan tersebut dijawab oleh penyair bahwa “mahkota pasti tak bakal lahir/Di sini. Karena mahkota milik/Ratu-ratu. Atau orang-orang/Bukan pribumi. Yang menyita/tanah-tanah mereka”. .” Dari larik di atas nampak penyair ingin menyampaikan bahwa walaupun benda berharga seperti intan atau berlian tersebut berasal dari tempat pendulangan tersebut, tetapi yang benar-benar menikmatinya adalah orang-orang istimewa yang semakin hari semakin mengikis tanah-tanah mereka. Sementara mereka tetaplah hanya sebagai seorang pendulang. Dengan keadaan seperti itu, kembali penyair memberikan penekakan dengan menyatakan “betapa pedihnya” pekerjaan yang harus dilakukan oleh para pendulang.
Pada bait keempat nampaknya penyair memberikan pertentangan dengan pertanyaan yang diajukan pada bait ketiga dengan “mereka tetap berdiri di sini”. Larik tersebut kembali menekankan betapa pentingnya para pendulang yang disebut dengan kata ganti mereka pada puisi tersebut, sehingga kembali diulang oleh penyair. Pada bait keempat ini, nampaknya penyair ingin lebih menyampaikan betapa teguh pendirian para pendulang dalam melakukan pekerjaannya yang tidaklah mudah. “Menusuk malam jauh angan-angan/bagai jarum-jarum, kelam”. Penyair juga ingin menyampaikan bahwa para pendulang telah menggeluti pekerjaanya dalam waktu yang tidak singkat, tetapi tidak pernah bisa merubah hidup mereka. “Sudah berpuluh-puluh tahun. Dan/akan berpuluh-puluh tahun lagi.” tetapi dengan keadaan seperti itu mereka tidak juga mengganti mata pencaharian mereka sebagai pendulang intan. Ini membuat penyair kembali mengulang penekanan kondisi yang harus dihadapi oleh para pendulang tersebut dengan menyatakan betapa pedihnya pekerjaan yang harus dilakukan oleh para pendulang.
Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa bait pertama memberikan gambaran langkah awal yang harus dilakukan ketika para pendulang mulai mendulang intan  seperti“Menggangsang lobang-lobang” lalu untuk menghilangkan kesunyian para pendulang mulai bernyanyi “terdengar tembang malam/menyentuh daun-daun/karamunting. Hutan-hutan”. Diakhir larik bait, penyair menyatakan bahwa “betapa pedihnya” pekerjaan yang harus dilakukan oleh para pendulang.
Di bait kedua diawali dengan pernyataan yang sama pada awal bait pertama. Tetapi larik selanjutnya menjelaskan langakh selanjutnya setelah “Menggangsang lobang-lobang” adalah “Bercebur di lumpur-lumpur” yaitu mulai melinggang tanah yang mengandung intan di danau yang dasarnya lumpur. melakukan pekerjaanya, yaitu “ditikam embun-embun” lalu harus terus berusaha apabila tanah yang dilinggang tak terdapat intan di antaranya, mereka harus merelekan usahnya tersebut “disita waktu-waktu. Dan/ harapan-harapan”serta hilangnya harapan untuk mendapatkan rezeki. Diakhir larik bait, penyair kembali menekankan bahwa “betapa pedihnya” pekerjaan yang harus dilakukan oleh para pendulang.
Bait ketiga menggambarkan betapa lugu dan polosnya para pendulang tersebut,  bahwa “Mereka entah tak mengerti” selama ini mereka berjuang antara tanah dan lumpur untuk mencari benda yang sangat berharga dan memiliki nilai ekonomis tinggi hingga yang memiliki benda berharga tersebut hanyalah orang-orang istimewa seperti “Mahkota pasti tak bakal lahir/Di sini. Karena mahkita milik/Ratu-ratu. Atau orang-orang/Bukan pribumi. Yang menyita/tanah-tanah mereka. Di akhir larik, penyair kembali menekankan “Betapa pedihnya” keadaan dan kondisi para pendulang intan.
Bait keempat menggambarkan betapa teguh pendirian para pendulang dalam melakukan pekerjaannya yang tidaklah mudah. “Menusuk malam jauh angan-angan/bagai jarum-jarum, kelam”. Penyair juga ingin menyampaikan bahwa para pendulang telah menggeluti pekerjaanya dalam waktu yang tidak singkat, tetapi tidak pernah bisa merubah hidup mereka. “Sudah berpuluh-puluh tahun. Dan/akan berpuluh-puluh tahun lagi.” tetapi dengan keadaan seperti itu mereka tidak juga mengganti mata pencaharian mereka sebagai pendulang intan. Di akhir larik, penyair kembali menekankan “Betapa pedihnya” keadaan dan kondisi para pendulang intan.
Dengan demikian jelaslah bahwa para pendulang mendulang intan walaupun pada malam hari, yang dimulai dengan menggangsang lubang-lubang tanah lalu melinggang tanah tersebut di dalam lumpur. Dalam kesunyian malam mereka menyanyikan tembang malam yang menyentuh daun-daun karamunting di hutan-hutan, kemudian para pendulang tersebut bercebur ke dalam lumpur untuk melinggang intan, walaupun ditikam embun dan disita waktu serta harapan. Penyait juga menyatakan bahwa mereka mungkin tak mengerti bahwa mahkota pasti tak bakal lahir di sini, karena mahkota milik para ratu atau orang bukan pribumi yang menyita tanah-tanah mereka. Walaupun begitu mereka tetap berdiri di sini, menusuk malam jauh angan-angan bagai jarum-jarum kelam. Selama berpuluh-puluh tahun dan akan berpuluh-puluh tahun lagi. penyair berkali-kali menekankan  betapa pedihnya keadaan dan kondisi  yang harus dialami oleh para pendulang tersebut.
Daftar Rujukan
Sulistyowati, Endang dan Tarman Effendi. T. 2014. Kajian Puisi Struktural, Semiotik, Stilistika, Bandingan dan Sosiologi. Cetakan Ketiga. Banjarmasin: Tahura Media.
Tarsyad, Tarman Effendi. 2014. Tentang Puisi Penyair Kalimantan. Cetakan Pertama. Banjarmasin: Scripta Cendekia.
Tarsyad, tarman effendi. 2011. Kajian stilistika puisi Sapardi Djoko Damono. Banjarmasin: Tahura Media.
Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2001. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Bandung: YRAMA WIDYA



Kajian Bandingan : Dua Puisi Mata Pencaharian Masyarakat Banjar



Kajian Bandingan
Dua Puisi Mata Pencaharian Masyarakat Banjar
I.         PENDAHULUAN
A.    Pengertian Kajian Bandingan
Kajian ada dua istilah yang sering digunakan, yaitu istilah sastra bandingan dan istilah sastra perbandingan. Sastra bandingan disingkat dengan sand-ing, sedangkan satra perbandingan disingkat dengan sasper.
Sastra bandingan adalah studi teks cross cultural. Studi ini merupakan upaya interdisipliner, yaitu lebih banyak memperhatikan hubungan sastra – dalam ini puisi – menurut aspek waktu dan tempat. Dari aspek waktu, dapat membandingkan dua atau lebih periode yang berbeda. Sedangkan konteks tempat, akan mengikat sastra menurut wilayah geografis satra (Endraswara, 2008:128).
Sastra bandingan dikaitkan teori intertektual terdapatnya persamaan ataupun perbedaan dalam satu genre sastra dari yang lama ke yang baru, baik strukturnya, unsur-unsur pembentuk struktur, maupun gaya yang digunakannya. Sastra bandingan merupakan suatu upaya untuk mendapatkan hasil pemahaman makna karya sastra dengan jalan membandingkan dua karya sastra atau lebih yang menunjukkan adanya persamaan atau perbedaan baik menyangkut tema, struktur, maupun gaya (Suroso, dkk., 2009:94).
Tujuan sastra bandingan antara lain:
1.    Untuk mencari pengaruh karya satra yang ada dengan yang lain dan atau pengaruh bidang lain serta sebaliknya dalam dunia sastra.
2.    Untuk menentukan mana karya sastra yang benar-benar orisinal dan mana yang bukan dalam lingkup perjalanan sastra.
3.    Untuk menghilangkan kesan bahwa karya satra nasional tertentu lebih hebat dibandingkan karya nasional yang lain.
4.    Untuk mencari keragaman budaya yang terpenuhi dalam karya sastra satu dengan yang lainnya dan untuk melihat buah pikiran kehidupan manusia dari waktu ke waktu.
5.    Untuk memperkokoh keuniversalan konsep-konsep keindahan universal dalam sastra.
6.    Untuk menilai mutu karya-karya dari negara-negara dan keindahan karya sastra (Endraswara, 2008:129).

B.     Ruang Lingkup Kajian Bandingan
Kajian bandingan akan mencari dua hal, yaitu:
1.    Pertalian atau kesamaan dan atau paralelisme serta varian teks satu dengan yang lain, dan
2.    Pengaruh karya satra satu kepada karya lain atau pengaruh sastra pada bidang lain dan sebaliknya (Endraswara, 2008:136).
Dua hal di atas, bisa dikembangkan lagi menjadi lingkup studi, antara lain:
1.    Perbandingan antara karya pengarang yang satu dengan lainnya, pengarang yang sezaman, antar generasi, pengarang yang senada, dan sebagainya.
2.    Membandingkan karya sastra dengan bidang lain, seperti arsitektur, pengobatan tradisional, takhayul, dan seterusnya.
3.    Kajian bandingan yang bersifat teoritik, untuk melihat sejarah, teori, dan kritik sastra (Endraswara, 2008:136).
Sastra bandingan meliputi empat aspek:
1.    Pengaruh,
2.    Sumber ilham (acuan),
3.    Proses pengambilan ilham arau pengaruh, dan
4.    Tema dasar.

Dalam kaitan, ada empat kelompok, dilihat dari aspek obyek garapan, yaitu:
1.    Kategori yang melihat hubungan karya satu dengan yang lainnya.
2.    Kategori yang mengkaji tema karya sastra.
3.    Kajian terhadap gerakan atau kecenderungan yang menandai suatu peradaban.
4.    Analisis bentuk karya sastra (genre).

II.      PEMBAHASAN
Kajian Terhadap Judul
Dalam kajian bandingan ini, ada dua puisi yang akan dibandingkan yaitu puisi mengenai mata pencaharian tradisional pada masyarakat Banjarmasin. Puisi yang pertama berisikan mata pencaharian masyarakat yang tinggal di daerah daratan yaitu pekerjaan menyadap getah, puisi yang berkenaan dengan mata pencaharian tersebut berjudul “Panurih Gatah” yang ditulis oleh Khairani Zain. Pada tahun 2010. Lalu puisi selanjutnya yang berisikan tentang mata pencaharian tradisional yang terdapat di Banjarmasin terutama bagi warga Banjar yang tinggal di pinggiran sungai yaitu sebagai pedagang di pasar terapung, puisi yang berkenaan dengan mata pencaharian tersebut berjudul “Pasar Terapung”  di tulis oleh Aliman Syahrani pada tahun yang sama dengan puisi sebelumnya yaitu tahun 2010. Hal yang menarik dari kedua puisi ini, hingga menarik untuk dibandingkan adalah keduanya mendiskripsikan mata pencaharian tradisional masyarakat Banjar dan sama-sama menonjolkan ciri khas dari masing-masing mata pencaharian tersebut.  Berikut kedua puisi tersebut selengkapnya:
“PANURIH GATAH”

Limbah sumbahyang subuh
Tulak manurih
Hari masih kadap, salau-salauan
Anak yang halus balum bangunan
Itu pang sudah jadi gawian

Tulak mambawa imbir
Di padang gatah
Dinginnya awak jadi kada halangan
Mun gawian yang jadi harapan

Umai-umai pang panurih gatah
Mun hujan turun tumatan samalam
Pagat harapan
Pagat gawian

Umai-umai pang panurih gatah
Batang bagana jadi tumpuan
Manyambung hidup nang bakawajiban
Banyak baharap nang ka lawan Tuhan
                             Karya: Khairani Zain, 2010


“PASAR TERAPUNG”

Perempuan-perempuan yang mangayuh jukung di pagi buta, dari manakah mereka
Ke Lok Baintan mereka tanjak jukung dari pinggir-pinggir kota
Sebelum beduk subuh terjaga
Sebelum hari bermula dalam geliat kerja

Perempuan-perempuan yang mengayuh jukung di pagi buta, kemanakah mereka
Di atas riak sungai mereka berkendara
Berlomba dengan surya menuju dermaga
Mengais hidup di arus niaga

Perempuan-perempuan yang mengayuh jukung di pagi buta, siapakah mereka
Ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
Akar-akar yang melata dari hulu mengalir ke muara
Mereka: cinta kasih yang bertaut menghidupi kota dan desa
                                         Karya: Aliman Syahrani, 2010

Kedua puisi tersebut memiliki judul yang sangat jauh berbeda. Puisi yang satu jelas sekali menggunakan kata yang langsung berkaitan dengan mata pencaharian yang sesuai dengan isi puisi yang akan di sampaikan yaitu “Panurih Gatah”, sedangkan puisi yang lain menggunakan judul yang tidak secara langsung mengatakan mata pencaharian yang akan dijelaskan ataupun di sampaikan melalui judul, penyair hanya menggunakan nama tempat di mana pekerjaan itu dilakukan, dengan memiliki “Pasar Terapung” sebagai judul.
Dalam etimologi bahasa Banjar memang di temukan kata panuruh gatah yaitu bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia adalah penyadap karet. Sebenarnya pekerjaan ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat banjar terutama Kalimantan Selatan, bahkan mata pencaharia ini terdapat hampir di seluruh bagian di pulau Kalimantan. Bahkan, terdapat juga di pulau lainnya di Indonesia. Pekerjaan ini dapat dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan, dengan cara menoreh atau sedikit menguliti batang pohon karet, hingga batang pohon tersebut menguluarkan cairan kental yang bisa dikenal sebagai gatah atau karet.
Puisi yang lainnya yang akan dibandingkan yaitu berjulu “Pasar Terapung”. Dilihat dari judul, sepertinya penyair akan menceritakan dan mendiskripsikan apa itu pasar terapung? Tetapi, kenyataannya penyair malah menceritakan salah satu mata pencaharian masyarakat banjar yang terdapat di pasar terapung. Pekerjaan yang dilakukan adalah sebagai pedagang yang mendagangkan berbagai macam keperluan sehari-hari, dengan menggunakan sampan kecil yang terdapat di sepanjang sungai martapura.

Kajian Terhadap Bahasa
Puisi “Panurih Gatah” yang ditulis oleh Khairani Zain, ditulis dengan bahasa Banjar yang umumnya menggunakan bahasa Banjra yang sederhana dan mudah dimengerti. Dengan bahasa yang sederhana tersebut, idiom atau diksi yang digunakan juga di mengerti oleh pembaca. Walaupun  penyair sepertinya konsisten dengan bahasa yang digunakan yaitu bahasa Banjar, tetapi terdapat salah satu diksi atau kata yang berasal dari bahasa Indonesia yaitu kata yang pada bait pertama larik keempat yaitu anak yang halus balum bangunan. Kata yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang sama dengan kata nang dalam bahasa Banjar. Sebenarnya penyair juga memuat kata nang pada puisi ini dalam larik yang lain, seperti pada bait kedua larik kesembilan yaitu mun gawian nang jadi harapan, pada bait keempat larik keenam belas yaitu manyambung hidup nang bakawajiban dan pada larik ketujuh belas banyak harapan nang ka lawan tuhan.
Sementara pada puisi “Pasar Terapung” penyair Aliman Syahrani menggunakan bahasa yang juga umumnya ditulis dengan bahasa yang sederhana. Idiom atau diksi yang digunakan juga sederhana dan mudah dimengerti oleh pembaca, hanya saja terdapat salah satu kata atau diksi yang berasal dari bahasa daerah yaitu bahasa Banjar yaitu jukung yang dalam bahasa Indonesia adalah sampan serta kata tanjak yang berasal dari bahas Banjar,  namun di akhir puisi penyair tidak memberikan keterangan untuk kata atau diksi pada kata bahasa Banjar tersebut. keterangan untuk kata atau diksi bahasa Banjar pada puisi tersebut sebaiknya ada, mengingat bahwa puisi itu mungkin juga akan dibaca oleh orang yang tidak sebahasa dengan penyairnya.
Secara fisik puisi ini hampir sama dengan puisi “Perempuan-perempuan Perkasa” karya Hartojo Andangdjaja yang ditulis padda rahun 2000. Berikut puisi tersebut:
PEREMPUAN-PEREMPUAN PERKASA
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, dari manakah mereka
Ke stasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa
Sebelum peluit kereta pagi terjaga
Sebelum hari bermula dalam pesta kerja

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, ke manakah mereka
Di atas roda-roda baja mereka berkendara
Mereka berlomba dengan surya menuju gerbang kota
Merebut hidup di pasar-pasar kota

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
(Hartojo Andangdjaja, 2000:35)             
Dapat dilihat terdapat banyak persamaan pemilihan kata antara puisi “Perempuan-perempuan Perkasa” dengan puisi “Pasar Terapung” hanya saja terdapat perbedaan yang sangat mencolok terutama mengenai lokasi dan tempat yang digunakan oleh penyair, apabila Hartojo Andangdjaja dalam puisi “Perempuan-perempuan Perkasa” memilih perempuan yang berasal dari bukit untuk berjualan di kota, maka puisi “Pasar Terapung” karya Aliman Syahrani menceritakan perempuan-perempuan yang berjualan di pasar terapung. sebenarnya hal semacam ini bukanlah termasuk penyimpangan, karena jelas apa yang disampaikan sangat jauh berbeda, tetapi mungkin cara penyampaiannya saja yang hampir sama dan memunculkan presepsi penjiplakan antara kedua penulis puisi ini.
Kajian Terhadap Isi
Dilihat dari segi isi, baik puisi “Panurih Gatah” karya Khairani Zain dan puisi “Pasar Terapung” karya Aliman Syahrani yang sama-sama ditulis pada tahun 2010, keduanya juga sama-sama berisikan mengenai pendeskripsian mata pencaharian masyarakat Banjar, terutama mata pencaharian sebagai panruh gatah atau penyadap getah dan sebagai pedagang di pasar terapung. Kedua puisi walaupun memiliki pembahasan yang berbeda, namun sepertinya penjelasan yang terdapat dalam masing-masing puisi yaitu sama mengenai bagaimana usaha dan kerja keras yang harus dilakukan dalam menjalani pekerjaan tersebut.
Pada puisi “Panurih Gatah”, penyair dengan jelas mendeskripsikan bagaimana pekerjaan sebagai seorang panurih gatah atau penyadap getah. Penyair menyatakan bahwa “limbah sumbahyang subuh/Tulak manurih” walaupun dengan keadaan sepagi itu “hari masih kadap, salau-salauan” dan mereka juga harus pergi walaupun “anak yang halus balum bangunan” tetapi itu adalah kewajiban yang harus mereka lakukan dan resiko menjadi seorang panurih gatah,Itu pang sudah jadi gawian” .
Selain, hal di atas penyair juga mendeskripsikan peralatan yang perlu di bawa oleh seorang panunrih gatah yaitu “Tulak mambawa imbir. Penyair juga mendeskripsikan resiko yang harus dihadapi oleh penurih gatah ketika berangkat pagi sekali menuju “Padang gatah” itu adalah sebutan bagi masyarakat di sana, padang gatah yang dimaksudkan adalah kebun atau wilayah yang hanya ditanami oleh pohon karet. Panurih gatah juga harus rela “Dinginnya awak kada jadi halangan” karena, sebagai mata pencaharian mereka hanya dapat berharap dan bertumpu pada pekerjaan ini “Mun gawian nang jadi harapan”
Selain harus menghadapi dinginya di pagi hari, penyair juga mendeskripsikan kemungkinan yang dapat menjadi halangan atau rintangan yang akan dihadapi oleh panuruh gatah yaitu “Mun hujan turun tumatan malam” artinya mereka tidak dapat bekerja karena bekas hujan, hal ini mengakibatkan harapan mereka pada pekerjaan tersebut sudah hilang dan harus merelakannya “Pagat harapan/Pagat gawian”
Penyair juga cukup salut dengan pekerjaan panuruh gatah yang ternyata harus melalui berbagai rintangan dan halangan, begitulah kata penyair pekerjaan sebagai panurih gatah “Umai-umai pang panurih gatah” karena mereka hanya bertumpu dan berharap pada “Batang bagana jadi tumpuan” karena walaupun hanya pada batang tersebut, mereka dapat menyambung hidup yang sudah menjadi kewajiabn mereka untuk memberi nafkah pada keluarganya “Manyambung hidup nang bakawajiban” tetapi, walaupun bertumpu dan berharap pada pohon karet tersebut, harapan dan doa mereka sesungguhnya hanya kepada Tuhan yang berkuasa atas dirinya dan rezekinya “Banyak baharap nang ka lawan Tuhan.”
Berdasarkan deskripsi di atas dapat diketahui bahwa Khairani Zain dalam puisi “Panurih gatah” lebih banyak memuat mengenai kemungkinan halangan atau rintangan yang harus dilalui oleh para panurih gatah. Hampir sama dengan puisi “Pasar Terapung” karya Aliman Syahrani yang memiliki pendeskripsian mengenai salah satu mata pencaharian tradisional masyarakat Banjar, tetapi puisi ini sepertinya lebih menonjolkan usaha dan kerja keras yang harus dilakukan oleh para pedagang di pasar terapung, terutama untuk pedagang wanita.
Penyair mengungkapkan bahwa “Perempuan-perempuan yang mengayuh jukung di pagi buta,” penyair juga menanyakan “dari manakah mereka” lalu penyair juga menjelaskan bahwa mereka akan pergi “Ke Lok Baintan” dengan cara “mereka tanjak jukung dari pinggir-pinggir kota”. Penyair menyebutkan bahwa mereka berangkat di pagi buta “Sebelum bedug subuh terjaga” dan “Sebelum hari bermula dalam geliat kerja” artinya merekalah pekerja yang paling awal melakukan pekerjaan, sebelum orang lain memulai pekerjaan mereka.
Penyair mengungkapkan bahwa “Perempuan-perempuan yang mengayuh jukung di pagi buta,” penyair juga menanyakan “ke manakah mereka” lalu penyair juga menjelaskan arah tujuan kepergian mereka yaitu “Di atas riak sungai mereka berkendara” merek mengayuh “Berlomba dengan surya menuju dermaga” di dermaga itulah mereka melakukan aktivitas jual beli, yang dilakukan oleh semua para pedagang pasar terapung yang “Mengais hidup di arus niaga”
Penyair mengungkapkan bahwa “Perempuan-perempuan yang mengayuh jukung di pagi buta,” penyair juga menanyakan “Siapakah mereka” penyair juga menjelaskan di akhir puisi bahwa mereka bukan hanya perempuan yang sekedar berjualan untuk mencari rezeki dan menafkahi hidup mereka, tetapi lebih dari itu mereka “Ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa” mereka dikatakan perkasa, karena menurut penyair mereka juga dapat bekerja layaknya seorang laki-laki perkasa, oleh sebab itu penyai mengatakan mereka perkasa, yang biasnya kata perkasa hanya ditujukan kepada laki-laki. Selain itu penyair juga menjelaskan bahwa pekerjaan yang mereka lakukan ini tidak hanya sekedar pekerjaan, tetapi juga menghidupkan kegiatan yang terdapat di atas sungai dan akan terus tumbuh seperti “Akar-akar yang melata dari hulu mengalir ke muara” penyair juga memberikan pujian kepada perempuan-perempuan tersebut dengan menyebutkan “Mereka: cinta kasih yang bertaut menghidupi kota dan desa”
Berdasarkan kajian bandingan terhadap puisi “Panurih gatah” karya Khairani Zain dan puisi “Pasar Terapung” karya Aliman Syahrani yang sama-sama ditulis pada tahun 2010, memang sudah jelas memiliki judul yang sangat jauh berbeda, namun dari segi isi kedua puisi tersebut memiliki kesamaan yaitu sama-sama berisikan mengenai mata pencaharian tradisional yang terdapat pada masyarakat Banjar, dari hal inilah yang membuat kedua puisi ini menarik untuk dikaji denga kajian perbandingan.
Selain itu, bahasa puisi”Panurih Gatah” dan “Pasar Terapung” sama-sama menggunakan bahasa yang sederhana, tanpa mengurangi kualitas puisi. Kedua puisi ini juga menggunakan pemiliha kata yang mudah dimengerti dan ungkapan-ungkapan yang tidak terlalu sulit untuk memahami puisi secara keseluruhan oleh pembaca.
Dari segi isi puisi, puisi “Panurih gatah” karya Khairani Zain” lebih menonjolkan kemungkinan rintangan atau halangan yang akan dialami atau dilalui oleh para panurih gatah. Sementara pada puisi “Pasar Terapung” karya Aliman Syahrani sepertinya lebih menonjol pada sosio-budaya masyarakat Banjar terutama tentang mata pencaharian tradisional masyarakat Banjar, walaupun di dalamnya tetap memuat deskripsi mengenai pekerjaan para pedagang di pasar terapung

Kajian Sosiologis Puisi
“Pasar terapung” Aliman Syahrani
I.         PENDAHULUAN
A.    Pengertian kajian Sosiologi
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi (logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keduanya memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda bahkan bertentangan secara dianetral.
Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan disini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada diluar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra. Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa di observasi, di foto, dan di dokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra.
Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat dengan orang-orang, antar manusia, antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah “kebenaran” penggambaran atau yang hendak digambarkan. Namun Wellek dan Warren mengingatkan, bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya. Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut kadang tidak disengaja dituliskan oleh pengarang, atau karena hakikat karya sastra itu sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu.
B.     Ruang Lingkup Kajian Sosiologi
Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan.
Sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang dibicarakan. Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial.
Sosiologi sastra memiliki perkembangan yang cukup pesat sejak penelitian-penelitian yang menggunakan teori strukturalisme dianggap mengalami stagnasi. Didorong oleh adanya kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan sama dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka karya sastra harus dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem komunikasi secara keseluruhan.
Sosiologi sastra mempunyai tiga sasaran yang dibahas. Sasaran pertama adalah bahwa ia mengkaji fungsi sosial dari sebuah karya sastra: apakah penulis karya sastra  menganggap karya sastranya hanya sebagai penghibur saja? Sasaran kedua adalah konteks sosial dari  sastrawan itu sendiri yang meliputi; apa dan bagaimana pencaharian pengarang, profesionalisme kepengarangannya dan masyarakat yang dituju pengarang. Dan sasaran yang ketiga adalah bahwa sejauh mana karya itu mencerminkan sebuah masyarakat.
II.      PEMBAHASAN
Aspek Kebahasaan Puisi “Pasar Terapung”
PASAR TERAPUNG

Perempuan-perempuan yang mangayuh jukung di pagi buta, dari manakah mereka
Ke Lok Baintan mereka tanjak jukung dari pinggir-pinggir kota
Sebelum beduk subuh terjaga
Sebelum hari bermula dalam geliat kerja

Perempuan-perempuan yang mengayuh jukung di pagi buta, kemanakah mereka
Di atas riak sungai mereka berkendara
Berlomba dengan surya menuju dermaga
Mengais hidup di arus niaga

Perempuan-perempuan yang mengayuh jukung di pagi buta, siapakah mereka
Ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
Akar-akar yang melata dari hulu mengalir ke muara
Mereka: cinta kasih yang bertaut menghidupi kota dan desa
                                         Karya: Aliman Syahrani, 2010

Puisi “Pasar Terapung” karya Aliman Syahrani di tulis dalam bahasa Indonesia. Puisi ini terdiri dari tiga buah bait, setiap bait terdiri dari empat larik. Bait pertama terdiri dari empat buah larik (dimulai dengan perempuan-perempuan diakhiri dengan geliat kerja), bait kedua juga terdiri dari empat buah larik (dimulai dengan perempuan-perempuan diakhiri dengan arus niaga) dan bait terakhir juga terdiri dari empat larik (dimulai dengan perempuan-perempuan diakhiri dengan kota dan desa).
Pada puisi ini terdapat persamaan bunyi vokal di setiap akhir larik, yaitu vokal a . Pada bait pertama, “mereka, kota, terjaga dan kerja”. Pada bait kedua, “mereka, berkendara, dermaga dan niaga”, pada bait ketiga “mereka, perkasa, muara dan desa”. Berdasarkan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa setiap akhir larik pada puisi “Pasar Terapung” memiliki bunyi akhiran vokal yang sama, yaitu persamaan bunyi vokal a.
Dilihat dari segi diksi (pilihan kata) puisi tersebut dominan menggunakan kata perempuan. Sebenarnya dalam puisi “Pasar Terapung” jumlah pemakaian kata  perempuan sama dengan jumlah kata ganti mereka, yaitu sama-sama dilang  sebanyak enam kali. Walaupun sebenarnya kata mereka yang dimaksudkan oleh penyair adalah orang yang sama dengan perempuan yang disebutkan terlebih dahulu. Hal ini mungkin digunakan penyair sebagai penekanan tentang apa yang ingin disampaikan dalam puisi, yaitu perempuan sebagai subjek utama dalam puisi ini. pengulangan seperti itu juga termasuk ke dalam majas, yaitu majas repetisi.
Masih mengenai pemajasan, puisi tersebut terutama ditulis dengan majas paralelisme. Pemakaian majas paralelisme pada puisi tersebut nampkanya untuk mencapai kesejajaran dalam pemkaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Juga sebagai penekanan. Misalnya pada bait pertama larik pertama, “Perempuan-perempuan yang mangayuh jukung di pagi buta, dari manakah mereka”. Larik tersebut diulang kembali pada bait kedua larik kelima,  ”Perempuan-perempuan yang mengayuh jukung di pagi buta, kemanakah mereka”, meskipun dengan mengubah frasa pada pertanyaan “dari manakah mereka” menjadi “ke manakah mereka”. Kemudian, dari dua larik tersebut diulang kembali pada bait ketiga larik kesembilan “Perempuan-perempuan yang mengayuh jukung di pagi buta, siapakah mereka”, meskipun dengan mengubah frasa pada pertanyaan “dari manakah mereka” menjadi “siapakah mereka”. Pemakaian majas paralelisme pada puisi tersebut memang tepat digunakan, lebih-lebih karena jawaban atau penjelasan dari masing-masing pertanyaan pada setiap bait, bait pertama “dari manakah mereka”, bait kedua “ke manakah mereka”, dan bait ketiga “siapakah mereka”, memang dikemukakan pada larik-larik berikutnya pada masing-masing bait.
Majas lain yang juga terdapat dalam puisi “Pasar Terapung” yaitu majas personifikasi. Personifikasi adalah majas yang memberikan sifat-sifat manusia pada benda mati.  Majas personifikasi, terutama terdapat pada bait pertama, larik ketiga “Sebelum bedug subuh terjaga” larik ini seperti mengatakan bahwa bedug itu bisa terjaga layaknya, manusia. Padahal yang sebenarnya adalah bedug tersebut dibunyikan oleh manusia. Majas personifikasi juga terdapat pada bait kedua, larik keenam dan tujuh “Berlomba dengan surya menuju dermaga” pada larik ini, penyair seperti mengatakan bahwa surya atau matahari dapat berlomba layaknya manusia, padahal yang dimaksudkan sebenarnya bahwa, penyair ingin menyampaikan bawha perempuan-perempuan itu tidak ingin ketika matahari sudah meninggi tetapi, mereka belum sampai ke tempat tujuan mereka.
Selain itu, majas lain juga terdapat pada puisi ini, yaitu majas hiperbola. Majas hiperbola adalah majas yang menggunakan ungkapan dengan melebih-lebihkan apa yang sebenarnya diungkapkan. Majas hiperbola terutama terlihat pada puisi “Pasar Terapung” bait ketiga larik kesepuluh “ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa”
Dilihat dari segi pencitraan, pada puisi tersebut sepertinya dominan dengan citraan penglihatan, seperti “Perempuan-perempuan yang mengayuh jukung di pagi buta, siapakah mereka/Di atas riak sungai mereka berkendara/Ke Lok Baintan mereka tanjak jukung dari pinggir-pinggir kota/Berlomba dengan surya menuju dermaga/Akar-akar yang melata dari hulu mengalir ke muara”. Dengan dominannya citraan penglihatan pada puisi “Pasar Terapung”, sepertinya penyair, menginginkan pembaca benar-benar dapat melihat serta menghayati apa yang ingin disampaikan penyair melalui puisi tersebut
Aspek Sosiologis Puisi “Pasar Terapung”
Puisi “Pasar Terapung” karya Aliman Syahrani menampilkan hubungan penyair dengan lingkungan yang ada di sekitarnya dan masyarakat yang disaksikannya. Puisi tersebut merupakan suatu cerminan sosial budaya pada sebagian masyarakat Banjar. Cerminan sosial budaya yang ditampilkan terutama mengenai mata pencaharian tradisional masyarakat Banjar. Mata pencaharian ini dominan dilakukan olah masyarakat Banjat yang tinggal di sepanjang pinggiran sungai martapura.
Pokok permasalahan yang ditampilkan penyair melalui puisi tersebut terutama mengenai mata pencaharia yang sebagian besar dilakukan oleh para perempuan-perempuan yang bekerja sebagai pedagang di pasar terapung.  pada bait pertama penyair mengemukakan sebuah pertanyaan tentang perempuan-perempuan tersebut, “Perempuan-perempuan yang mangayuh jukung di pagi buta, dari manakah mereka” dari larik tersebut, perempuan-perempuan tersebut sangatlah penting untuk dikemukakan dalam puisi ini, terbukti dengan pertanyaan “dari manakah mereka” penyair sepertinya penasaran dari mana asal mereka, “Ke Lok Baintan mereka tanjak jukung dari pinggir-pinggir kota” penyair kemudian mengungkapkan bahwa mereka bersalah dari pinggiran kota, walaupun tidak disebutkan mereka tinggal pinggiran sungai yang agak jauh dari kota. Penyair juga menyebutkan bahwa mereka berangkat “Sebelum bedug subuh terjaga” dan “Sebelum hari bermula dalam geliat kerja”, para perempuan ini harus berangkat saat hari masih gelap.
Pada bait kedua, penyair kembali menekankan pada perempuan-perempuan tersebut, penyair kembali mengemukakan sebuah pertanyaan tentang perempuan-perempuan tersebut, “Perempuan-perempuan yang mangayuh jukung di pagi buta, ke manakah mereka” dari larik tersebut, perempuan-perempuan tersebut sangatlah penting untuk dikemukakan dalam puisi ini, terbukti dengan pertanyaan “ke manakah mereka” larik selanjutnya penyair kembali memberika jawaban atas pertanyaan tersebut, bahwa perempuan-perempuan itu “Di atas riak sungai mereka berkendara” menuju tempat tujuan mereka dengan “Berlomba dengan surya menuju dermaga” jadi, pada larik tersebut jelas bahwa perempuan-perempuan itu pergi menuju dermaga, dimana aktivitas jual-beli banyak dilakukan di sini, walaupun harus menempuh jarak yang jauh dengan mengayuh jukung, tetapi penyai menekankan bahwa itulah mata pencaharian mereka dengan “Mengais hidup di arus niaga”
Pada bait ketiga, lagi-lagi  penyair kembali menekankan pada perempuan-perempuan tersebut, penyair kembali mengemukakan sebuah pertanyaan tentang perempuan-perempuan tersebut, “Perempuan-perempuan yang mangayuh jukung di pagi buta, siapakah mereka” dari larik tersebut, perempuan-perempuan tersebut sangatlah penting untuk dikemukakan dalam puisi ini, terbukti dengan pertanyaan “siapakah mereka” pada bait inilah sepertinya pesan puisi yang sebenarnya yang ingin disampaikan oleh penyair, yaitu tentang siapa sebenarnya perempuan-perempuan ini. Penyair ingin menyampaikan bahwa mereka bukanlah sekedar perempuan-perempuan yang berjualan di pasar terapung, tetapi penyair ingin menyampaikan bahwa mereka adalah ibu bagi anak-anaknya, istri bagi suaminya seperti perempuan-perempuan yang lain dan yang membuat mereka istimewa adalah mereka dapat bekerja dengan giat, karena pekerjaan ini sudah jarang digeluti oleh ibu-ibu pada umumnya saat ini, oleh sebab itu penyair menyebutkan bahwa mereka ‘Ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa” penyair juga menyampaikan bahwa pekerjaan ini bukanlah sekedar mencari rezeki dan menghidupi keluarga, tetapi melebihi itu pekerjaan ini adalah warisan dan kebudayaan yang terus mereka pelihara sampai saat ini walaupun di arus globalisai dan perkembangan zaman yang sudah modern ini, mereka seperti “Akar-akar yang melata dari hulu mengalir ke muara” artinya mereka aka terus merambat layaknya akar-akar pohon yang terus berkembang melestarikan budaya ini. Lalu, dengan adanya mereka penyair juga ingin berpesan bahwa pekerjaan yang mereka lakukan bukanlah semat-mata karena mencintai keluarga mereka tetapi juga karena mereka benar-benar mencintai pekerjaan mereka yang secara tidak langsung sudah membuat kota dan desa mereka menjadi hidup serta terkenal hampir ke seluruh Indonesia “Mereka: cinta kasih yang bertaut menghidupi kota dan desa”.
Secara implisit puisi tersebut juga memberikan gambaran bahwa pedagang di pasar terapung yang sangat ulet dan  giat dalam bekerja tidak hanya sekedar untuk mencari rezeki dan menghidupi keluarga, tetapi melebihi itu mereka memiliki kecintaan tersendiri terhadap budaya dari pekerjaan yang mereka hidupi. Karena pada saat ini, hanya orang-orang tertentu saja yang masih menggeluti pekerjaan ini. sebagian besar oerang akan lebih memilih pekerjaan lain yang lebih ringan dan menghasilkan uang lebih banyak. Kebanyakan dari pedagang di pasar terapung  sepertinya sudah memiliki kecintaan pada pasar terapung dalam jiwa mereka yang diturunkan dari orang tua mereka. Karena sebenarnya pasar terapung tidak hanya sebagai tempat aktivitas jual beli layaknya pasar, tetapi pasar terapung lebih menonjolkan budaya masyarakat Banjar itu sendiri.

Daftar Rujukan
Sulistyowati, Endang dan Tarman Effendi. T. 2014. Kajian Puisi Struktural, Semiotik, Stilistika, Bandingan dan Sosiologi. Cetakan Ketiga. Banjarmasin: Tahura Media.
-----. 2014. Aneka Kajian: Prosa Fiksi. Cetakan Keempat. Banjarmasin; Tahura Media.
Tarsyad, Tarman Effendi. 2014. Tentang Puisi Penyair Kalimantan. Cetakan Pertama. Banjarmasin: Scripta Cendekia.  
-----. 2011. Kajian stilistika puisi Sapardi Djoko Damono. Banjarmasin: Tahura Media.
Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2001. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Bandung: YRAMA WIDYA