Senin, 16 November 2015

Kajian Stulistika Cerpen "Kariwaya" Jamal T Suryanata



I.    Pendahuluan
1.      Latar Belakang
Stilistika dan Hakikat Stilistika
Stilistika menunjuk pada pengertian studi tentang stile (Leech & Short, 2007:11), kajian terhadap wujud performasi kebahasaan, khususnya yang terdapat di dalam teks-teks kesastraan. Kajian stilistika itu sendiri sebenarnya dap[at  ditujukkan terhadap berbagai ragam penggunaan bahasa dan tidak terbatas pada ragam sastra saja (Chapman, 1973:13). Namun, Stilistika lebih sering dikaitkan dengan bahasa sastra. Analisis stilistika biasanya dimaksudkan untuk menerangkan sesuatu yang pada umumnya dalam dunia kesastraan untuk menerangkan hubungan bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya (Leech & Short, 2007:11). Di samping itu, ia dapat juga bertujuan untuk menentukan seberapa jauh dalam hal apa serta bagaimana pengarang mempergunakan tanda-tanda linguistik untuk memperoleh efek khusus (Champman, 1973:15).
Tujuan kajian stilistika kesastraan, misalnya dapat dilakukan dengan mengajukan dan menjawab pertanyaan, pertanyaan itu haruslah pasti dan tepat dalam kaitannya dengan tujuan analisis stile terhadap sebuah teks tertentu. Dengan pertanyaan itu maka kita akan mengetahui tujuan dilakukannya kajian stilistika.
Dengan demikian, stilistika kesastraan merupakan sebuah metode analisis karya sastra (Abrams, 1999:305). Ia dimaksudkan untuk menggantikan kritik yang bersifat subjektif dan imprisif dengan analisis stile teks kesastraan yang lebih bersifat objektif dan ilmiah. Analisis dilakukan dengan mengkaji berbagai bentuk dan tanda-tanda linguistik yang dipergunakan seperti yang terlihat dalam struktur lahir. Dengan cara ini akan dfiperoleh bukti-bukti konkret tentang stile sebuah karya. Metode analisis ini akan menjadi penting  karena dapat memberikan informasi tentang karakteristik khusus sebuah teks sastra. Tanda-tanda stilistika itu sendiri dapat berupa fonologi, misalnya pola ucapan dan irama, stilistika, misalnya jenis struktur kalimat, leksikal, misalnya penggunaan kata abstrak atau konkret, frekuensi penggunaan kata benda, kerja, sifat, dan penggunaan bahasa figuratif, misalnya bentuk-bentuk pemajasan, penyiasatan struktur, citraan, dan sebagainya.
2.      Ruang Lingkup Kajian stilistika
A.    Unsur Leksikal
Unsur leksikal yang dimaksud sama pengertiannya dengan diksi, yaitu yang mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang segaja dipilih oleh pengarang untuk mencapai tujuan tertentu. Mengingat bahwa karya fiksi adalah dunia dalam kata, komunikasi dilakukan dan ditafsirkan lewat kata-kata, pemilihan kata-kata tersebut mesti melewati pertimbanga tertentu untuk memperoleh efek tertentu, efek ketepatan(estetis). Misalnya ketepatan itu sendiri secara sederhana dapat pertimbangan dari segi bentuk dan makna, yaitu apakah diksi mampu mendukung tujuan estetis karya yang bersangkutan, mampu mengomunikasikan makna, dan mampu mengungkapkan gagasan seperti yang dimaksudkan oleh pengarang
B.     Unsur Gramatikal
Unsur gramatikal yang dimaksud menunjuk kepada pengertian struktur kalimat. Dalam kegiatan komunikasi berbahasa, juga jika dilihat dari kepentingan stile, kalimat lebih penting dan bermakna daripada sekedar kata walau pendayaan kalimat dalam banyak hal juga dipengaruhi oleh pilihan katanya. Sebuah gagasan, pesan(baca: stuktur batin) dapat diungkapkan kedalam berbagai bentuk kalimat( baca: struktur lahir) yang berbeda-beda struktur dan kosa katanya. Dalam kalimat, kata-kata berhubungan dan berurutan secara linier yang dapat dilihat dalam bentuk realisasi grafologis kalimat dalam bentuk baris-baris seperti pada halaman buku.
Untuk membentuk sebuah kalimat yang bermakna, hubungan sintagmatik kata-kata tersebut harus gramatikal, sesuai dengan sistem kaidah yang berlaku dalam bahasa yang bersangkutan. Secara teoritis jumlah kata yang berhubungan secara sintagmatik dal;am sebuah kalimat tidak terbatas, dapat berapa saja sehingga mungkin panjang sekali. Secara formal, memang tidak ada batas berapa jumlah kata yang seharusnya dalam sebuah kalimat (Chapman, 1973:45). Akan tetapi, sebuah kalimat yang terdiri atas banyak sekali kata sehingga panjang, biasanya menjadi lebih sulit dipahami karena sering mengandung sejumlah gagasan sekaligus. Oleh karena itu, dalam sastra pengarang mempunyai kebebasan dalam hal mengkreasikan bahasa, adanya berbagai bentuk penyimpangan kebahasaan, termasuk penyimpangan struktur kalimat, merupakan hal yang wajar dan sering terjadi.
C.     Retorika
Retorika merupakan salah satu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis. Ia dapat diperoleh melalui kreativitas pengungkapan bahasa, yaitu bagaimana pengarang menyiasati bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasannya. Pengungkapan bahasa dalam sastra, seperti telah dibicarakan sebelumnya, mencerminkan sikap dan perasaan pengarang, namun sekaligus dimaksudkan untuk mempengaruhi sikap dan perasaan pembaca yang tercermin dalam nada. Untuk itu bentuk pengungkapan bahasa haruslah efektif, mampu mendukung gagasan secara tepat sekaligus mengandung sifat estetis sebagai sebuah karya seni. Retorika, pada dasarnya, berkaitan dengan pembicaraan tentang dasar-dasar penyusunan sebuah wacana yang efektif.    
Retorika sebenarnya berkaitan dengan pendayagunaan semua unsur bahasa, baik yang menyangkut masalah pemilihan kata dan ungkapan, stuktur kalimat, segmwntasi, penyusuran dan penggunaan bahasa kias, pemanfaatan bentuk citraan, dan lain-lain yang semuanya disesuaikan dengan situasi dan tujuan penuturan.
Unsur stile yang berwujud sarana retotika itu, sebagaimana dikemukakan Abrams (1999) diatas, meliputi penggunaan bahasa figuratif dan citraan. Bahasa figuratif itu sendiri oleh Abrams (1999:96-97) dibedakan ke dalam  figures of thought atau tropes, dan figures of speech, rhetorical figures, atau schemes.
Dalam teorinya, sarana retorika terdiri dari berbagai macam unsur.
1)      Pemajasan
Pemajasan merupakan teknik pengungukapan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak merujuk padat. makna harfiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan atau makna yang tersirat. Jadi, pemajasan merupakan gaya yang dimaksud secara tidak langsung.
Bentuk-bentuk pemajasan yang sering digunakan pengarang adalah:
a)      Personifikasi
Personifikasi merupakan bentuk pemajasan yang memberi sifat-sifat benda mati dengan sifat-sifat kemanusiaan. Artinya, sifat yang diberikan itu sebenarnya hanya dimiliki oleh manusia.Maka, majas ini juga disebut sebagai majas perorangan, sesuatu yang diorangkan, seperti halnya orang.
b)      Majas hiperbola
Majas ini dipakai jika seseorang bermaksud melebihkan sesuatu yang dimaksudkan dibandingkan makna yang sebenarnya dengan maksud untuk menekankan penuturnya. Makna yang ditekankan atau dilebih-lebihkan itu sering menjadi tidak masuk akal untuk ukuran nalar yang biasa.

D.    Penyiasatan struktur
Sama halnya dengan pemajasan yang dipandang orang sebagai salah satu wujud stile, pendayaan struktur kalimat pun menghasilkan satu bentuk stile ynag lain. Jika, pemajasan menekankan pegungkapan melalui penyiasatan makna, penyiasatan struktur menekankan pendayaan struktur. Jadi, makna boleh sama dan sama-sama menunjuk makna harfiah, tetapi penyusunan struktur kalimatnya sengaja dibuat beda, dikreasikan, dibuat lain sehingga mampu membangkitkan efek tertentu yang secara umum disebut efek keindahan.
Ada banyak macam stile penyiasatan struktur, namun sebenarnya yang secara konkret sering dijumpai dalam teks-teks kesastraan tidak banyak. Beberapa di antaranya adalah:
1.      Repetisi
Repitisi merupakan bentuk penyiasatan struktur dengan pengulangan kata-kata atau frase tertentu dengan maksud untuk menekankan sesuatu yang dituturkan. Bentuk ini banyak ditemukn dalam berbagai teks fiksi dan mudah dikenali.Kata yang diulang dalam bentuk repitisi bisa terdapat dalam satu kalimat atau lebih, berada pada posisi awal, tengah, atau di tempat yang lain.
2.      Anafora
Anafora terjadi paling tidak dalam dua buah kalimat, pengulangan anaforis dapat memberikan tekanan dan menunjang kesimetrisan struktur kalimat yang ditampilkan.



3.      Antitesis
Antitesis adalah gaya bahasa dengan membuat suatu perbandingan (komparasi) antara dua antonim (kata-kata yang menyatakan makna bertentangan satu sama lain).
4.      Antiklimaks
Antiklimaks merupakan gaya  berupa acuan yang berisi gagasan-gagasan yang disususn secara berurutan dan imulai dari gagasan terpenting  menuju  ke gagasan yang kurang penting..
E.     Citraan
Citraan merupakan sebuah gambaran berbagai pengalaman sensoris yang dibangkitkan oleh kata-kata. Citra merupakan suatu bentukpenggunaan bahasa yang mampu membangkitkan kesan yang konkret terhadap suatu objek, pemandangan, aksi, tindakan, atau pernyataan yang dapat membedakannya dengan pernyataan atau ekspositoris yang abstrak dan biasanya ada kaitanya dengan simbolisme (Baldic, 2001:121-122).
Ada beberapa macam jenis citraan antara lain:
a.       Citraan penglihatan (visual) memberikan rangsangan kepada indera penglihatan sehingga sering kal-hal yang tak terlihat seolah-olah terlihat.
b.      Citraan pendengaran (auditoris) dihasilkan dengan menyebutkan bunyi suara.
c.       Citraan gerakan (kinestetik) menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, ataupun gambaran pada umumnya.
F.      Kohesi
Antara bagian kalimat yang satu dengan bagian yang lain, atau kalimat yang satu dengan yang lain terdapat hubungan yang bersifat mengaitkan antarbagian kalimat atau antarkalimat itu. Bagian-bagian dalam kalimat, atau antarkalimat dalam sebuah alinea, yang masing-masing mengandung gagasan, tidak mungkin disusun secara acak. Antara unsur tersebut secara alami dihubungkan oleh makna semantik. Hubungan semantik merupakan bentuk hubungan yang esensial dalm kohesi yang mengaitkan makna-makna dalam sebuah teks. Hubungan tersebut mungkin bersifat eksplisit yang ditandaioleh adanya kata penghubung atau hanya berupa hubungan kelogisan yang disampaikan oleh pembaca, hbungan implisit. Hubungan demikian disebut kohesi/keutuhan.
II. Pembahasan
 Bahasa Kisdap “Kariwaya”
Kisdap “Kariwaya” karya Jamal T. Suryanata yang terdapat dalam buku kumpulan cerpen Tarman Effendi Tarsyad,  yang berjudul Warna Lokal Banjar dalam Cerpen. Kisdap ini terdiri dari 25 paragraf. Termasuk masing-masing hanya satu atau dua kalimat dalam sebuah paragraf yang memuat dialog antar tokoh. Seperti pada paragraf 14
Kisdap ini juga didominasi dengan paragraf narasi, kalaupun ada dialog seperti pada paragraf  3 yang dimasukkan kedalam satu paragraf.  Seperti pada cuplikan berikut,
“Cah, cakada lain pang rasaku. Musti pang pungkalanya rapun kariwaya nang sudah tuuh di palingkungan kartak nangitu,” ujar Pakacil Jipak manggarunum saurangan. Bunyinya pina sarik pang. Tagal nang ngaran manyaurangan ti, biar takunjilak kupiah sidin kasasarikan tatapai urang kadada nang tahunya. Kadada luang talinga nang mandangarnya.

Kisdap kariwaya di tulis dengan bahasa yang hemat , kehematan penulisan terlihat pada beberapa cuplikan, yaitu
   Sadang lawasnya sidin duduk maungut disitu, basandar ditawing halat sambil tipus-tipus baruku manyaurangan. Ari sudah parak tangah malam. Diluar angin dibur-dibur batiup marumpaki rarapunan nang ada dihiga mahiga rumah sidin. Napa lagi mun dibalakang rumah, rapun paring bunyi kariut-kariut mambari takutan.  Limbah itu, kutang ha pulang bunyi caluuk-caluuk basasalakan. Ujar urang tuha bahari, satua nang kaya kutang atawa hadupan tuhawas matanya lawan bu buhan iblis, hantu, atawa urang halus.
            Dalam kutipan itu terlihat kehematan yaitu tanpa ada kata penghubung untuk mendiskripsikan posisi tokoh, kata penghubung hanya diganti dengan tanda koma untuk melanjutkan pada kalimat atau frase selanjutnya.
Dasar pang tumatan di Parincahan lacit ka Pangambau, siapa jua urangnya nang kada tahu lawan sidin. Ujar urang Jipak Tungkih, pambakal tuha di sungai Batung, iya tu sidin. Cakada sahibar hayam barumahan haja jua sidin tutiam, ujar, nang bahari dihabarakan mati ditimpas japang balalu hidup pulang. Laluai sidin pada dipadahakan urang mauntal minyak bintang ha lagi.
            Kehematan kata juga terlihat pada cuplikan di atas, yaitu penggunaan kata ganti sidin untuk menggantikan penggunaan nama tokoh Pakacil Jipak, yang pada kalimat selanjutnya digantikan dengan kata ganti sidin.
Kisdap ini selain menggunakan bahasa yang hemat juga menggunakan bahasa yang cermat, kecermatan pilihan kata terlihat pada beberapa kata yang digunakan.
….Cakada sahibar hayam barumahan haja jua sidin tutiam, ujar, nang bahari dihabarakan mati ditimpas japang balalu hidup pulang…
            Pada cuplikan tersebut terdapat kata ditimpas japang tampak kecermatan penulis dalam memilih penggunaan kata, ditimpas japang  artinya di tebas oleh penjajah jepang. memang benar pada saat masa penjajahan, masyarakat banjar melawan penjajah jepang dengan menggunakan parang dan saling tebas.
Nang  sabujurnya bubuhan urang sipit mata tuti nang batalu tapangai di padang tagah.
Kecermatan dalam pemilihan kata juga tampak pada penggunaan kata Sipit Mata yang ditujukan pada orang jepang, penulis  menggambarkan bahwa orang jepang memiliki mata yang sipit dan kenyataan itu memang benar adanya.
 Dalas hangit, mahati sidin, aku kada bakalan baampih mun balum maliat makhluk nangini rabah tahumbalik di hadapanku.
Pada kutipan diatas juga terdapat kecermatan pemilihan kata yaitu dalas hangit  yang merupakan pribahasa orang banjar yang memiliki arti pantang menyerah, memang cermat digunakan untuk penggunaan yang sesuai konteks bahwa tokoh tidak menyerah saat menebang pohon Kariwaya.
Ketepatan penulisan juga terdapat dalam kisdap “Kariwaya” karya Jamal T.Suryaata, yang terdapat dalam Penggunaan Partikel –lah yang berfungsi mengeraskan kata keterangan
Nang kasakitan parutlah, awak asa katur sabukuanlah, handak saruan kakampung sabalahlah, atawa bapadah lagi manggah
Penggunaan tanda koma untuk ungkapan spontan, yang tepat digunakan penulis setelah ungkapan kata spontan,
…Bah, biar didalam rumah gin, pagun asa mambari takutanai mun bacungkung saurangan batangah malaman…
“Cah, cakada lain pang rasaku…
Masih mengenai ketepatan penulisan kata di- pada beberapa kalimat berikut :
Dipilihi dahulu nang bujur-bujurnya, ditabung dahulu nang pina talurus, kaputingannya hanyar takana giliran nang kada karuan tampuh buku-ruasnya. Nang kaya itu jua tuhan mamilih manusia. Disuruh sidin dahulu malaikat Ijrail mangiau urang nang alim-alim,…
Penggunaan kata depan di-   ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya apabila kata yang mengikuti kata   di   tersebut tergolong kata kerja
                Sadang lawasnya sidin duduk maungut di situ, basandar di tawing halat sambil tipus-tipus baruku manyaurangan. Ari sudah parak tangah malam. Di luar angin dibur-dibur batiup marumpaki rarapunan nang ada  di higa mahiga  rumah sidin. Napa lagi mun di balakang rumah, rapun paring bunyi kariut-kariut mambari takutan. 
di-  harus terpisah dengan kata yang mengikutinya jika  di  berfungsi sebagai kata depan yang diikuti kata benda dan arah tempat

Gaya  Kisdap “Kariwaya”
             Berkenaan dengan unsur leksikal yaitu pemilihan kata atau diksi kisdap “Kariwaya” lebih banyak menggunakan kata atau kelompok kata (frasa) yang memiliki makna konotatif yaitu bukan makna sebenarnya, makna konotatif yang terkandung diantaranya seperti berikut:
1.      Kata pangirak, merujuk pada pembantu kepala desa atau istilah orang banjar pambantu pambakal.
Suah sakali, hanyar ja bangsa satangah bulan, pangirak nang tabantai di rumpak mutur tangki.
2.      Frasa minyak bintang, merujuk kepada minyak yang di pakai oleh orang-orang yang menggunakan ilmu kesaktian.
Laluai sidin pada dipadahakan urang mauntal minyak bintang ha lagi.
3.      Kata kutang, merujuk pada hewan yaitu anjing.
Limbah itu kutang ha pulang bunyi caluuk-caluuk basasalakan.
4.      Balak anam adalah orang yang tidak mempunyai sopan santun dalam kehidupannya.
Limbah itu hanyar bubuhan balak anam nang kada tapi tahu dibasa.
5.      Urang jaba adalah orang yang biasa-biasa saja tidak mempunyai ilmu yang bisa melihat hal-hal yang diluar kemampuan manusia biasa.
Sakada-kadanya jadi palidangan urang halus nang kada kawa diliat lawan mata-kupala urang jaba.
6.      Urang halus adalah istilah yang dipakai untuk makhluk yang tidak bisa di lihat oleh manusia. Urang halus di sini bukan dimaksudkan untuk orang yang masih kecil atau anak-anak.
Sakada-kadanya jadi palidangan urang halus nang kada kawa diliat lawan mata-kupala urang jaba
7.      Bilangan bajau, merujuk pada bilangan yang digunakan untuk mencari keberuntungan, biasanya di pakai oleh orang-orang yang tertentu saja.
Sabujurannya, manurut rikinan bilangan bajau malam arba pang nang tamasuk ari nang baik gasan bagawian nangitu.
8.      Kata bariaban yang sama artinya dengan marabiaban yaitu mahluk supranatural yang satu ini memang sangat terkenal di kalimantan. mahkluk ini di gambarkan besar seperti raksasa, dan mempunyai bulu lebat. Mahkluk ini dikatakan ada di belantara hutan-hutan kalimantan dan juga mampu menjelma menjadi  manusia yg mencapai tingkat tinggi ilmu kesaktian hantu marabiaban ini. Bahkan hingga saat ini masyarakat Kalimantan ada yang memakai bulu makhluk ini untuk ilmu kekebalan, dan orang yang memakainya apabila marah akan mengeluarkan taring di giginya.
Kita ni sama-sama umat Nabi Muhammad jua. Kada iblis kada, kada hamtu bariaban kada.
                Masih berkenaan mengenai unsur leksikal, kisdap ini memiliki banyak pengulangan kata maupun kelompok kata (frasa). Pengulangan ada yang secara berurutan dari awal kalimat, ada juga pengulangan kata atau kelompok kata yang terdapat dalam satu kalimat,  misalnya
-          Pangrasaku ti, samunyaan ari musti baik. Jadi tasarah nang di atas haja lagi maatur. Ampun-Nya nang baik, ampun-Nya jua nang buruk.
-          Nang kaya ujar paribahasa, kada wani ditambah kada wani riinanya jadi wani.
-          Cakada tarikin lagi sudah barapa putting ruku dihadapan sidin. Nang dipikarakan sidin sabuting haja ,
Dari beberapa kalimat tersebut, tampak terlihat bahwa penulis kadang-kadang tidak melakukan pengulangan kata yang sama, tetapi kadang-kadang juga melakukan pengulangan kata yang berbeda dalam sebuah kalimat.
Dilihat dari segi gramatikal, tampaknya kisdap ini ditulis dengan kalimat yang agak panjang. Meskipun demikian, kalimat-kalimat tersebut bukan termasuk penyimpangan, karena diiringi kata penghubung atau tanda koma untuk membuat kalimat itu menjadi baik. Justru dalam rangka penekanan dan memperjelas makna yang ingin disampaikan oleh penulis.
-          Limbah itu, kutang ha pulang bunyi caluuk-caluuk basasalakan. Ujar urang tuha bahari, satua nang kaya kutang atawa hadupan tuhawas matanya lawan bu buhan iblis, hantu, atawa urang halus.
-          Disuruh sidin dahulu malaikat Ijrail mangiau urang nang alim-alim, bubuhan balak anam nang kada tapi tahu di basa. Jangan pang manggawi sumbahyang-mangaji, mambaca sahadat haja gin pagun bajuju kadapati ruus.
Mengenai gaya pemajasan yang termasuk dalam retorika, penulis menggunakan beberapa majas, yang umunya lebih banyak terdapat majas hiperbola, terutama pada kutipan berikut ;
-          Lilitan surbannya sing ganalan nang kaya isaian.
-          Tabarubut dapatnya ilaian parang bungkul sidin.
-          Daunnya ha pulang liwar jambar bapapuluh dapa ka kiwa ka kanan.
-          Bacugutan di pinggir jalan nang kaya raksasa picak.
-          Alahan pada bunyi masin kapal, paribahasanya.
-          Kukusnya makaam nang kaya kanaput kalotok ha lagi(lamunnya asa kadatapi gancang, ya kakaya carubung pabrik banih ampun Haji Idak-lah).
Masih mengenai pemajasan, majas lain yang ditemukan dalam kisdap “Kariwaya” yaitu majas Personifikasi, seperti yang terdapat dalam beberapa kutipan, misalnya;
-          Diluar angin dibur-dibur batiup marumpaki rarapunan nang ada di higa-mahiga rumah sidin.
-          Rapun paring bunyi kariut-kariut mambari takutan.
-          Bahanu karasaan jua libasannya batiup ka dalam rumah masuk bagamat jalan sasala tiwa-tiwa nang dasar balangapan.
Kemudian, majas lainnya yang juga terdapat dalam kisdap ini yaitu majas  antitesis dan majas antiklimaks yaitu ;
-          Mata sidin palingau-palingau ka kiwa ka kanan, ka hadapan  ka balakang.
-          satua nang kaya kutang atawa hadupan tuhawas matanya lawan bu buhan iblis, hantu, atawa urang halus….
Mengenai penyiasatan struktur penulis menggunakan bentuk repitisi yaitu pendayaan struktur yang berkaitan dengan pengulangan partikel, kata maupun kelompok kata (frase)
-          Nang kasakitan parutlah, awak asa katur sabukuanlah, handak saruan ka kampong subalahlah, atawa bapadah lagi manggah bakas tamakan pamantang.
-          Kada buhbuhan iblis kada. Kada hantu bariaban kada.
Berkenaan dengan pencitraan, pada kisdap “Kariwaya” penulis melengkapi kisdap ini dengan beberapa pencitraan, antara lain citra penglihatan, citra pendengaran dan citra gerakan.
            Pencitraan yang berkenaan dengan citra penglihatan, antara lain:
·         Kukusnya makaam nang kaya kanaput kalotok ha lagi
·         Sudah batangnya nang sing ganalan, daunnya ha pulang liwar jambar bapupuluh dapa ka kiwa ka kanan.
·         Bacugutan di pinggir kartak, nang kaya raksasa picak.
·         Mun urang tajanaki puhun kariwaya nangitu, napalagi wayah malam salau-salau, dasar asa mambari takutan tih, habisai kisahnya.
·         Limbah sudah tajanaki ada urang tatilungkup badarah-darah di hadapan, takuciak juaai kaputingannya.
Berkenaan dengan citra pendengaran, antara lain:
·         Napalagi mun di balakang rumah, rapun paring bunyi caluuk-caluuk basasalakan.
·         Limbah sudah tajanaki ada urang tatilungkup badarah-darah di hadapan, takuciak juaai kaputingannya.
Berikut ini beberapa kalimat yang berkenaan dengan citra gerakan, misalnya ;
·         Di luar angin dibur-dibur batiup marumpaki rarapunan nang ada di higa-mahiga rumah sidin.
·         Angin pagun dibur-dibur di luar, bahanu karasaan jua libasannya batiup ka dalam rumah.
Berkaitan dengan kohesi, secara keseluruhan pada cerpen ini hubungan yang bersifat mengaitkan. Pada cerpen ini banyak ditemukan hubungan rujuk-silang, yang merupakan penyebutan kembali sesuatu yang telah dikemukakan sebelumnya, merupakan alat pengulangan makna dan referensi. Bentuk pengulangan formal yang paling nyata, yang dikenal dengan pengulangan formal. Pengulangan ini berupa kata atau frasa yang sama. Pengulangan tersebut selain mendukung sebuah gagasan yang utuh, juga dapat dikatakan sebagai sarana untuk memperoleh efek estetis. Pengulangan itu sendiri merupakan suatu bentuk penekanan makna dan kesan emotif, ekspresif, di samping itu jga untuk memperkuat sifat paralistis kalimat. Gaya repetisi dan anafora seperti dikemukakan sebelumnya dapat pula dijadikan contoh. misalnya Nang, kada. Dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
-          Nang kasakitan parutlah, awak asa katur sabukuanlah, handak saruan ka kampong subalahlah, atawa bapadah lagi manggah bakas tamakan pamantang.
-          Kada bubuhan iblis kada. Kada hantu bariaban kada.
Dengan demikian jelas terlihat bahwa secara keseluruhan pada cerpen tersebut, baik antara bagian kalimat yang satu dengan bagian kalimat yang lain, antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain, atau antara paragraf yang satu dengan paragraf yang lain, terdapat hubungan yang bersifat mengaitkan. Bagian-bagian tersebut, yang dihubungkan baik secara ekspisit, implicit,maupun kaduanya secara bersamaan, atau bergantian, mendukung sebuah gagasan yang utuh.
Pembahasan cerpen “Kariwaya”
Sesuai dengan judulnya “Kariwaya” yang berasal dari bahasa Banjar yang sebenarnya adalah Pohon Kariwaya, yang merupakan sejenis pohon beringin tumbuh di pohon lain Sesuai dengan judulnya maka yang menjadi topik permasalahan dalam kisdap ini adalah mengenai pohon kariwaya. .  pohon ini dianggap menjadi penyebab seringnya terjadi kecelakaan di daerah sekitar pohon tersebut.
Antah kanapakah, sidin sudah liwar lawas bangat handak mangganyang kariwaya nang sudah tuha dangka dipalingkungan parak masigit tuti. Sidin muar bangat saban kalian tajanaki rapun kariwaya nangitu. Nang musti, diparak situ ti sudah bapupuluh kali mutur atawa sapida mutur tarabah atawa tabalik kungkang.kada badua-batalu sudah urang nang mati mudar napalagi nang sahibarkacilakaann badarah-darah haja. Saban kalian kajadian, musti ha andaknya di Palingkungan parak rapun kariwaya tuti. Suah sakali, hanyar ja bangsa satangah bulan pangirak nang tabantai di rumpak mutur tangki. Mumui darah di kupala sidin. Mati saitu-saini. Awak sidin gin kikira patah ampat saku.

Namun, penduduk setempat tidak mempunyai keberanian untuk menebang pohon tersebut, sudah beberapa orang yang ingin mencoba menebang pohon tersebut, namun setiap orang yang ingin menebang pohon itu selalu mengalami hambatan dan hal-hal yang dianggap misterius dan bersifat mistis. Oleh sebab itu, penduduk sekitar yakin bahwa di pohon tersebut merupakan tempat bersarangnya hantu atau makhluk ghaib.
Mun urang tajanaki rapun kariwaya nangitu, napalagi wayah malam salau-salau, dasar asa mambari takutan tih, habisai kisah. Sudah batangnya sing ganalan, daunnya ha pulang liwar jambar bapupuh dapa ka kiwa ka kanan. Bacugutan di pinggir kartak , nang kaya raksasa picak. Limbah itu, akar-akar sulurnya pulang manjarumbun jaruntayan. Sapalih ada jua nang lacit katanah. Lamunnya wayah angin batiup pina tagancang, rahatan angin rebut, ubuy… nang kaya sandah atawa hantu bariaban ha lagi. Nangapa habar lamunnya sudah kayangitu ciut tu pang hampidal urang nang manjanaki. Napa lagi urang sakampungan di sungai Batung nangini sudah talanjur parcaya, matan datu- nini bahari, musti rapun kariwaya tuuh nangitu sudah lawas jadi sarang hantu. Sakada kadanya jadi palidangan bubuhan urang halus nangkada kawa diliat lawan mata-kupala urang jaba. Makanyaam, jangan bagarak mailai kapak, baniat handak manabang haja gin urang asa kada wani. Musti tapikir mati budas lawan maharikan nasip anak-bini di rumah.
            Tokoh utama yaitu Pakacil Jipak tidak bisa membiarkan kejadian naas itu terus terjadi, apalagi kecelakaan itu pernah menimpa juga pada besannya. Dia tidak ingin kejadian seperti itu juga menimpa orang lain. Hingga memutuskan untuk menebang pohon itu sendirian dengan nyali yang cukup besar
    Kaputingannya, malam sanayan nitu, Pakacil Jipak kada lawas lagi maarit asa kamumuaran sidin. Bangsa pukul sawalas sidin turun pada rumah. Turun lawan kapak sabilah, balayung, lawan parang lais nang hanyar baasah rarapan bulu. Sabujurnya, manurut rikinan bilangan bajau, malam arba pang nang tamasuk ari baik gasan bagawian nangitu. Tagal, biar sidin tahu jua lawan bilangan bajau, Pakacil Jipak ni kada tapi parcaya jua lawan namg kakaya nitu. Aku bapingkut lawan nang satu haja, jar sidin mayayakinakan hati. Pangrasaku ti, samunyaan ari musti baik. Jadi tasarahnang di atas haja lagi maatur. Ampun-Nya nang baik, ampun-Nya jua nang buruk.
            Namun, ketika setengah pohon sudah berhasil ditebang Pakacil Jipak sudah kelelahan tetapi dengan semangat pantang menyerah beliau tetap bertekad untuk dapat menebang pohon tersebut saat itu juga. Beberapa waktu kemudian terdengar suara rebut dari atas pohon. Suara itu semakin nyaring dan terdengar jelas menolak penebangan pohon ini.
Tagal, babaya kulihan tungkihan sidin parak manyubalah pada tatangah batang, balalu parasa Pakacil Jipak asa baubah. Talinga sidin asa bakiwit mandangar bunyi mangguruh matan di atas. Bunyi liwar galu nang kaya di pasar wadai. Bunyi kuncahungan nang kaya cina kahilangan dacing. Manggasut asa mangadap panjanak sidin. Manggasut lamah lintuhut sidin
    “Masigit kami, masigit kami…!!”
    “Baingat, andika! Baingat, Pakacil-ai…!”
    “Hancur jua masigit kami!”
    “Kasian…jangan diudak!”
            Setelah mendengar suara-suara tersebut tanpa disadari, ternyata tokoh Pakacil Jipak tergeletak  bersimbah darah tanpa ada yang tahu apa penyebabnya. Untunglah keesokan harinya tokoh tambahan seperti Darsani, Gulu Hamran dan beberapa orang lainnya melewati pohon kariwaya setelah pulang dari Masjid sehabis shalat shubuh. Mereka mulai curiga ketika mendapati pohon kariwaya yang sudah setengah ditebang. Ternyata saat didekati ada seoarang yang tergeletak dengan bersimbah darah di bawah pohon kariwaya dan orang itu adaah Pakacil Jipak. Setelah mengetahui bahwa pakacil Jipak bersimbah darah, mereka semua membawa pakacil Jipak ke rumah sakit terdekat.
“Siapalah urangnya nang wani manggatuk batang kariwaya nangitu?” ujar sasaikung batakun lawan nang lain.
“Hi…, baik lamunnya kada sarik urang nagng di atas,” ujar nang lain manyahuti sambil bagidik pina takutanan.
“Sakuai gawian Angah Isan-lah,” jar nang lain pulang manangguhi.
“Bisaai saku. Cuba pang kita paraki.”
                Sambil batutunjulan, pina bamara-bamundur, kaputingan-nya Darsani nang bawani saurangan badahulu balingkang ampah ka bawah rapun kariwaya nang batangnya sudah bakiwang nang parak saparu nangitu. Babaya lacit ka bawahnya, balalu inya takuciak papar sambil bukah babulik manukui nang lain. Muhanya pina wirai, kalas ka tahi-tahi. Nang kaya urang kada badarah lagi.
“Ah..aa…ada urang, Gulu-ai!” ujarnya bunyi aga
“Siapa?” jar Gulu Hambran manakuni.
                                “Ulun kada tahu. Kada sawat maminandui, Gulu-ai!”
“mun  damintu, ayu kita paraki barataan.”
Gulu Hambran ancap balingkah. Maliat nang tuha sudah hakun bacabur, balaluai nang lain maumpati di balakang. Nang kaya ujar paribahasa, kada wani ditambah kada wani riinanya jadi wani. Nang kaya itu jua parigal bubuhannya, ada nang mambungah pina pawawaninya balalu ha manyalip Gulu Hambran. Tagal, limbah sudah tajanaki ada urang tatilungkup badarah-darah dihadapan, takuciak juaai kaputingannya.
inna lillahi…, Pakacil Jipak!” ujar Gulu Hambran bunyi babisik limbah mambalik awak urang nang luka tadi. Limbah itu, dipicik ni musti lakas-lakas kita tulungi. Ancapi kita bawa sidin karumah sakit. Padahi pambakal supaya mancariakan mutur damini jua. Ujarku tu lah.”
            Setelah berada di rumah sakit, keadaan Pakacil Jipak bukannya malah membaik melainkan membuat orang yang berada di sana khawatir dengan keadaan beliau yang hampi mirip dengan seseorang yang kesurupan. Ternyata tanpa ada yang mendengar dan melihat, beliau ditemui oleh seorang kakek yang berpakaian serba putih mengatakan sesuatu kepada beliau, kakek itu mengatakan bahwa tindakan pakacil jipak sudah membuat kaum kakek tersebut terusik. Kakek itu juga mengatakan bahwa di pohon itu merupakan tempat kiblat shalat mereka, sebagai makhluk tuhan walaupun berbeda alam mereka juga ingin menyebah tuhan juga sama seperti manusia normal biasa. Setelah mendengarkan penjelasan kakek tersebut, dengan perjanjian yang sudah disepakati maka pohon itu bleh ditebang dengan beberapa persyaratan. Dan akhirnya pakacil jipak kembali sadar dan sehat seperti sedia kala.
Di rumah sakit, Pakacil Jipak pina balingsang kapanasan. Sidin murau, bapandir kada babuku-baruas lagi. Mata sidin cagat kaatas kada bakikilipan. Wayah itu, pangrasa sidin ada urang tuha bajubah putih nang mahadapi. Lilitan surbannya sing ganalan nang kaya isaian. Janggut putihnya liwar panjang lacit ka dada. Sambil tarus mangatik tasbih, urang tuha nangitu takurinyum haja baduduk di higa sidin.
    “Niat andika tu bujur haja pang.” Ujar urang tuha tu bagamat mamandiri. ”tagal. Niat baik mustinya di pandirakan baik-baik jua dahulu. Astilahnya, andika tu bagawi saurangan. Kada baparamisi dahulu lawan nang ada. Di situ tu ada kampung kadiaman bubuhan anak-cucu kami. Bujur haja disitu tu ada jua kakanakan nang pina ugal-ugal, nang katuju maudaki urang. Tagal, nang maulah sarik lawan bubuhan jiran di situ, kabalujuran nang andika gawi tu takana paimaman masigit. Iya kaya ini jadinya. Kada sarana bapiragah harat gin kalu kita ni. Nangitu takabur ngarannya. Napsu, dangsanak-ai. Kita ni sama-sama umat Nabi Muhammad jua. Kada bubuhan iblis kada. Kada hantu bariaban kada. Nah, nangitu haja pang nang handak ku padahaka. Lawan sapasal pulang pasan bubuhannya, kaina andika mahalarat dahulu. Tanda kita ni sudah baakuran. Sama-sama mahluk Tuhan, sama-sama mahurmati. Lamunnya sudah baakuran, sahibar parkara kami maalih kaandakan masigit tu gampang haja. Nang sabuting tu urusanku kaina. Tagal, jangan kada ingat lah, cuali lakatan hirang, sasadiakan jua bubur habang lawan bubur putih. Nangini kada parkara sirik kada. Jadi, jangan dikakaitakan lawan urang nang katuju maandak ancak. Tagal, sabakas pulang ha kusambatakan, sahibar tanda kita sudah baakuran. Kita ni bakulawarga. Badangsanak saiman saagama. Wajip kita padah-bapapadah, maingatakan urang nang kalumpanan. Nah, kikira damintu hajalah pasanku.”
    Limbah bapapadah nang kaya itu, balalu urang tuha tuti maandak talapak tangan kanan sidin di bumbunan Pakacil Jipak. Tadangar bunyi salawat dibacaakan. Kada saapa, alam nang asal kadap manggasut jadi manarang. Bubuhan pambakal takajut, Pakacil Jipak bapuat bagagasutan pada karabahan sidin. Wagas awak sidin sikungan. Mata sidin palingau-palingau ka kiwa ka kanan, ka hadapan ka balakang.
    “Tuan Guru, Patuan!” jar sidin bakiau sing nyaringan.
    “Siapang nang andika kiau ti, Pakacil!” Pambakal Hadi kapulingaan.
    “Astagfirullah….”  
    Pakacil Jipak waras saitu-saini. Nang kaya urang mambuangi kalimpanan. Limbah dibawa bulik, sidin mangisahakan samunyaan nangapa haja nang hanyar ditamui sidin salawas tabantai di rumah sakit. Isuk arinya, urang mahalarat, basalamatan sakampungan. Bubur habang, bubur putih, lawan lakatan hirang disadiakan jua. Limbah itu, rapun kariwaya nang batangnya sudah kiwang nangitu diupahakan manuntungakan manabang ka tukang sinsu. Kariak…,dabau!!
Simpulan Kisdap “Kariwaya”
Cerpen “Kariwaya” Karya Jamal T. Suryanata dilihat dari segi bahasa umumnya ditulis dengan bahasa yang hemat, yaitu penggunaan kata ganti sidin untuk menggantikan penggunaan nama tokoh Pakacil Jipak, yang pada kalimat selanjutnya digantikan dengan kata ganti sidin. Cermat , terdapat dalam  pemilihan kata yaitu dalas hangit  yang merupakan pribahasa orang banjar yang memiliki arti pantang menyerah, memang cermat digunakan untuk penggunaan yang sesuai konteks bahwa tokoh tidak menyerah saat menebang pohon Kariwaya. Tepat, ketepatan penulisan dalam kisdap “Kariwaya” karya Jamal T.Suryaata, yang terdapat dalam Penggunaan Partikel –lah yang berfungsi mengeraskan kata keterangan.
Berkenaan dengan gaya bahasa yaitu pemilihan kata atau diksi kisdap “Kariwaya” lebih banyak menggunakan kata atau kelompok kata (frasa) yang memiliki makna konotatif. Dilihat dari segi gramatikal, tampaknya kisdap ini ditulis dengan kalimat yang agak panjang. Meskipun demikian, kalimat-kalimat tersebut bukan termasuk penyimpangan, karena diiringi kata penghubung atau tanda koma untuk membuat kalimat itu menjadi baik. Justru dalam rangka penekanan dan memperjelas makna yang ingin disampaikan oleh penulis.
Mengenai gaya pemajasan yang termasuk dalam retorika, penulis menggunakan beberapa majas, seperti: hiperbola, personifikasi, antithesis dan antiklimaks.
 Dalam penyiasatan struktur penulis menggunakan bentuk repitisi. Dan di dalam pencitraan penulis melengkapi kisdap ini dengan beberapa pencitraan, antara lain citra penglihatan, citra pendengaran dan citra gerakan.













Lampiran :

KARIWAYA
CERPEN JAMAL T. SURYANATA

Sadang lawasnya sidin duduk maungut di situ, basandar di tawing halat sambil tipus-tipus baruku manyaurangan. Ari sudah parak tangah malam. Di luar angin dibur-dibur batiup marumpaki rarapunan nang ada  di higa mahiga  rumah sidin. Napa lagi mun di balakang rumah, rapun paring bunyi kariut-kariut mambari takutan.  Limbah itu, kutang ha pulang bunyi caluuk-caluuk basasalakan. Ujar urang tuha bahari, satua nang kaya kutang atawa hadupan tuhawas matanya lawan bu buhan iblis, hantu, atawa urang halus. Bah, biar di dalam rumah gin, pagun asa mambari takutanai mun bacungkung saurangan batangah malaman. Tagal, sidin tu kada tapi mahatiakan nang kaya nangitu pang. Kada lamunnya jagau, tapi nang bangaran Pa kacil jipak ni tamasuk urang nang kada mamak sajarangan jua. Lamunnya sahibar digarumuti urang bapitu haja, saku sidin tu kada bakala mancicing bukah maninggalakan.
Dasar pang tumatan di Parincahan lacit ka Pangambau, siapa jua urangnya nang kada tahu lawan sidin. Ujar urang Jipak Tungkih, pambakal tuha di sungai Batung, iya tu sidin. Cakada sahibar hayam barumahan haja jua sidin tutiam, ujar, nang bahari dihabarakan mati ditimpas japang balalu hidup pulang. Laluai sidin pada dipadahakan urang mauntal minyak bintang ha lagi. Padahal wayahitu ti kikira habarnya nang tabalik. Nang sabujurnya bubuhan urang sipit mata tuti nang batalu tapangai di padang tagah. Tabarubut paparutan dapat ilaian parang bungkul sidin. Han, kalu akal japang dasar harat bapulitik. Alahnya urang japang tuti dapat bubuhan pawadaian kita banarai. Ujar ti, bubuhannya tu kada kawa mamikirakan kaya apa urang mamasukakan banyu gula kadalam dulinat atawa kalalapun. Tikas tutiam saku hinggannya kamanangan buhan kita urang banua ni jua. Lamun parkara tali haduk ulahan barikin, cah dapatnya sudah manuruti. Iya tali atum bapulas atawa rumut japang nang ada wayah ini.
“Cah, cakada lain pang rasaku. Musti pang pungkalanya rapun kariwaya nang sudah tuuh di palingkungan kartak nangitu,” ujar Pakacil Jipak manggarunum saurangan. Bunyinya pina sarik pang. Tagal nang ngaran manyaurangan ti, biar takunjilak kupiah sidin kasasarikan tatapai urang kadada nang tahunya. Kadada luang talinga nang mandangarnya.
Muntung sidin pagun haja cipus-cipus. Sambung putting kada sing rantian maisap ruku. Kukusnya maka am nang kaya kanaput kalutuk ha lagi (lamunnya asa kadatapi gancang ya kakaya carubung pabrik banih ampun Haji Idak lah, angkuhnya). Batuyak sudah habunya didalam asbak. Cakada tarikin lagi sudah barapa putting ruku dihadapan sidin. Nang dipikarakan sidin sabuting haj , nang kaya apa manabang rapun kariwaya nang batangnya sing ganalan labih sapang ragap nangitu. Antah kanapakah, sidin sudah liwar lawas bangat handak mangganyang kariwaya nang sudah tuha dangka dipalingkungan parak masigit tuti. Sidin muar bangat saban kalian tajanaki rapun kariwaya nangitu. Nang musti, diparak situ ti sudah bapupuluh kali mutur atawa sapida mutur tarabah atawa tabalik kungkang.kada badua-batalu sudah urang nang mati mudar napalagi nang sahibarkacilakaann badarah-darah haja. Saban kalian kajadian, musti ha andaknya di Palingkungan parak rapun kariwaya tuti. Suah sakali, hanyar ja bangsa satangah bulan pangirak nang tabantai di rumpak mutur tangki. Mumui darah di kupala sidin. Mati saitu-saini. Awak sidin gin kikira patah ampat saku.
Mun sidin taganang nang kaya itu, maginnya Pakacil Jipak asa sasain garigitan. Napalagi pangirak tuti tamasuk  pawarangan sidin. Kajadiannya pas ari Junahat, bulikan dimasigit ha pulang. Dasar bujur ujar urang bahari, parkara Tuhan mamilih siapa-siapa nang cagar diambili badahulu tu angkuhnya nang kaya urang manabang paring. Dipilihi dahulu nang bujur-bujurnya, ditabung dahulu nang pina talurus, kaputingannya hanyar takana giliran nang kada karuan tampuh buku-ruasnya. Nang kaya itu jua tuhan mamilih manusia. Disuruh sidin dahulu malaikat Ijrail mangiau urang nang alim-alim, bubuhan balak anam nang kada tapi tahu di basa. Jangan pang manggawi sumbahyang-mangaji, mambaca sahadat haja gin pagun bajuju kadapati ruus. Lamun bubuhan galumuk nangini, ngalihai sudah disambat.
“Kariwaya sarang hantu, dapatku haja tua kaina ikam tu. Ada wayahnya, sidinai, ikam saurang kaina nang tarabah dapat kapak-balayungku. Igatakan ja, tai-lah, lain ngarannya Jipak Tunggih mun kada wani mailai kapak  ka awak ikam!” Jar sidin pulang gagarunum bamamai surangan batangahmalaman.
Arian sasin badingin. Angin pagun dibur-dibur di luar. Bahanu karasaan jua libasannya batiup kadalam rumah masuk bagamat jalan sasala tiwa-tiwa nang dasar balangapan. Pakacil Jipak bagamat manyintak batis, balalu mambujurakan tapih mamisiti bungkunan. Ruku sudah habis sabungkus. Handak batulak manukar pulang kawawarung Haji Ijuh, katia malam asa sudah kalandungan.Musti pang urangnya sudah guringan. Cagar mangalihi diurang banarai, Jar disin batagur dalam hati. Kaputingannya, tang sidin barabah disisitu jua. Sidin kulir jua pang manggantung tali ambutut, padahal nyamuk sin banyakan.Kada lawas, tadangar bunyi mangakar karuh sidin. Alahan pada bunyi masin kapal, paribasanya. Mun di-indaakan, asa bagantar tu pang lantai, rumah nang kaya di unggut takau atawa tanggiling karasukan.
***
Mun urang tajanaki rapun kariwaya nangitu, napalagi wayah malam salau-salau, dasar asa mambari takutan tih, habisai kisah. Sudah batangnya sing ganalan, daunnya ha pulang liwar jambar bapupuh dapa ka kiwa ka kanan. Bacugutan di pinggir kartak , nang kaya raksasa picak. Limbah itu, akar-akar sulurnya pulang manjarumbun jaruntayan. Sapalih ada jua nang lacit katanah. Lamunnya wayah angin batiup pina tagancang, rahatan angin rebut, ubuy… nang kaya sandah atawa hantu bariaban ha lagi. Nangapa habar lamunnya sudah kayangitu ciut tu pang hampidal urang nang manjanaki. Napa lagi urang sakampungan di sungai Batung nangini sudah talanjur parcaya, matan datu- nini bahari, musti rapun kariwaya tuuh nangitu sudah lawas jadi sarang hantu. Sakada kadanya jadi palidangan bubuhan urang halus nangkada kawa diliat lawan mata-kupala urang jaba. Makanyaam, jangan bagarak mailai kapak, baniat handak manabang haja gin urang asa kada wani. Musti tapikir mati budas lawan maharikan nasip anak-bini di rumah.
Nang kaya nituam nang rahat maulah Pakacil Jipak asa garigitan haja. Dasar hungang saku, jar sidin rancak manggarunum dalam hati, hantu di takutani. Lamun sudah tadangar urang bakalahi maka am piring dihadapan hakun haja di tinggalakan. Suah sakali sidin bacacubaan mambawai angah Ican handak manabang rapun kariwaya tuti. Cah, kaiyannya angah Ican nang habar taguh karung-karung tuti gin sakalinya sajampal dua saku jua. Pamburisit jua. Halus jua hampidal. Ada–ada haja tu alasan sidin mangalimbuai. Nang kasakitan parutlah, awak asa katur sabukuanlah, handak saruan kakampung sabalahlah, atawa bapadah lagi manggah bakas tamakan pamantang. Lamun cagar bapadah bujur-harus, sidin kada hakun. Musti pang supan urang nang sudah tahabar jagau bapadah kada wani. Pakacil Jipak nang taanum ha pulang nang mambawai, nyataai sidin indah supan, cagar basupanan ganal, mahati sidin. Nang kaya nitu jua wayah Pambakal Hadi dibawai barunding. Macam-macam jua alasan. Turui pulang kahandak Pakacil Jipak nang iyanya, sama haja burisitnya. Kada wani jua mun cagar bapaulah silang-silangan. Baluluas luang burit, jar urang tu.Malapahi muntung banarai huhujungnya.
Kaputingannya, malam sanayan nitu, Pakacil Jipak kada lawas lagi maarit asa kamumuaran sidin. Bangsa pukul sawalas sidin turun pada rumah. Turun lawan kapak sabilah, balayung, lawan parang lais nang hanyar baasah rarapan bulu. Sabujurnya, manurut rikinan bilangan bajau, malam arba pang nang tamasuk ari baik gasan bagawian nangitu. Tagal, biar sidin tahu jua lawan bilangan bajau, Pakacil Jipak ni kada tapi parcaya jua lawan namg kakaya nitu. Aku bapingkut lawan nang satu haja, jar sidin mayayakinakan hati. Pangrasaku ti, samunyaan ari musti baik. Jadi tasarahnang di atas haja lagi maatur. Ampun-Nya nang baik, ampun-Nya jua nang buruk.
Kada barapa dapa pada rapun kariwaya nang dituju sidin, bagasut asa ditampar muha Pakacil Jipak. Tacandak lingkahan sidin. Angin asa mandasau batiup ampah ka awak sidin. Bulan nang asal pina salau-salau, bagasut jadi mangadap. Situ-saini asa cagatan burit-tundun sidin. Limbah hati sudah asa batagurdamintu, dijanaki sidin bujur-bujur ampah ka rapun kariwaya raksasanang bangsa talung puluh dapa lagi pada hadapan sidin badiri bacugutan nang kaya patung. Umai, jar hati Pakacil Jipak sambil bauling, dasar asa mambari takutan diparaki. Tagal , matan turun di watun tadi sidin sudah kada sing pagatan mambaca ayat kursi lawan patihah ampat. Aku bapingkut lawan nang satu haja, jar sidin pulang mayayakinakan hati. Nang asa,nang tunggal, ampun-Nya alam baharu sakalinya. Limbah sakali mamusut dada sambil karimut-karimut mambaca ayat kursi, balalu sidin balingkang pulang. Tagal, sasain diparaki sakalinya sasain asa bacagatan burit-tundun sidin.
Malam sasar pina mangadap wayah Pakacil Jipak sudah lacit ndi bawah halimunan rapun kariwaya nangitu. Bulan sudah tinggalam. Langit pina muru. Hinip ranai, kadada taliat jua mutur bis nang lalu dating di samarinda. Asa mandisap pulang balukuk sidin. Tagal, pantang sidin baundur burit mun sudah talanjur bamara. Limbah mambaca salawat tali kali, tunggal bakasan sidin mailaiakan kapak ka rapun kariwaya. Sajam, dua jam, lituk-lituk bunyi  urang manungkih kayu batangah malaman. Limbui sudah paluh di awak sidin. Tagal tangan sidin pina kada kipa-kipanya maayun hulu kapak. Dalas hangit, mahati sidin, aku kada bakalan baampih mun balum maliat makhluk nangini rabah tahumbalik di hadapanku.
Bujur jua, Pakacil Jipak dasar urang nang bapahimatan. Tugul lawan liat-liatnya mun sudah bagawi. Lacit parak ka subuh pagun haja tangan sidin kada sing rantian mailai kapak. Siudah wangwak bakulilingan batang kariwaya nang labih sapangragap nitu dapat tungkihan kapak sidin. Tagal, babaya kulihan tungkihan sidin parak manyubalah pada tatangah batang, balalu parasa Pakacil Jipak asa baubah. Talinga sidin asa bakiwit mandangar bunyi mangguruh matan di atas. Bunyi liwar galu nang kaya di pasar wadai. Bunyi kuncahungan nang kaya cina kahilangan dacing. Manggasut asa mangadap panjanak sidin. Manggasut lamah lintuhut sidin
“Masigit kami, masigit kami…!!”
“Baingat, andika! Baingat, Pakacil-ai…!”
“Hancur jua masigit kami!”
“Kasian…jangan diudak!”
Pakacil Jipak tarabah manggaliwayang.
***
Baisukan arinya, imbah bulikan basubuhan di masigit, urang kampong tanganga babaya tatingau ampah ka batang kariwaya di palingkungan kartak nitu. Bangsa sadapa pada tanah, taliat batangnya sudah wangwak bakulilingan. Asing-asingnya urang bacacangangan. Saikung baangkat bahu, nang lain bauling-uling.
“Siapalah urangnya nang wani manggatuk batang kariwaya nangitu?” ujar sasaikung batakun lawan nang lain.
“Hi…, baik lamunnya kada sarik urang nagng di atas,” ujar nang lain manyahuti sambil bagidik pina takutanan.
“Sakuai gawian Angah Isan-lah,” jar nang lain pulang manangguhi.
“Bisaai saku. Cuba pang kita paraki.”
Sambil batutunjulan, pina bamara-bamundur, kaputingan-nya Darsani nang bawani saurangan badahulu balingkang ampah ka bawah rapun kariwaya nang batangnya sudah bakiwang nang parak saparu nangitu. Babaya lacit ka bawahnya, balalu inya takuciak papar sambil bukah babulik manukui nang lain. Muhanya pina wirai, kalas ka tahi-tahi. Nang kaya urang kada badarah lagi.
“Ah..aa…ada urang, Gulu-ai!” ujarnya bunyi aga
“Siapa?” jar Gulu Hambran manakuni.
“Ulun kada tahu. Kada sawat maminandui, Gulu-ai!”
“mun  damintu, ayu kita paraki barataan.”
Gulu Hambran ancap balingkah. Maliat nang tuha sudah hakun bacabur, balaluai nang lain maumpati di balakang. Nang kaya ujar paribahasa, kada wani ditambah kada wani riinanya jadi wani. Nang kaya itu jua parigal bubuhannya, ada nang mambungah pina pawawaninya balalu ha manyalip Gulu Hambran. Tagal, limbah sudah tajanaki ada urang tatilungkup badarah-darah dihadapan, takuciak juaai kaputingannya.
inna lillahi…, Pakacil Jipak!” ujar Gulu Hambran bunyi babisik limbah mambalik awak urang nang luka tadi. Limbah itu, dipicik ni musti lakas-lakas kita tulungi. Ancapi kita bawa sidin karumah sakit. Padahi pambakal supaya mancariakan mutur damini jua. Ujarku tu lah.”
“Inggih,” jar Sani sambil bauntuk.
Kada mahadang papadahan lagi, Darsani langsung mancapil baluncat. Bukah mancicing sambil kubut-kubut lawan tapih sapanjangan jalan handak karumah Pambakal Hadi. Bangsa saparapat jam, Darsani sudah cangul pulang lawan pambakal mambawa mutur  pick-up ampun Haji Idak.Kapak, balayung lawan parang lais ancap disimpunakan buhannya. Pakacil jipak di aangkat kadalam bak mutur nang kada bakubung nangitu. Kada saapa, bunyi manggaung masin mutur maninggalakan bubuhanGulu Hambran. Laju batulak ampah kakandangan.
***
Di rumah sakit, Pakacil Jipak pina balingsang kapanasan. Sidin murau, bapandir kada babuku-baruas lagi. Mata sidin cagat kaatas kada bakikilipan. Wayah itu, pangrasa sidin ada urang tuha bajubah putih nang mahadapi. Lilitan surbannya sing ganalan nang kaya isaian. Janggut putihnya liwar panjang lacit ka dada. Sambil tarus mangatik tasbih, urang tuha nangitu takurinyum haja baduduk di higa sidin.
“Niat andika tu bujur haja pang.” Ujar urang tuha tu bagamat mamandiri. ”tagal. Niat baik mustinya di pandirakan baik-baik jua dahulu. Astilahnya, andika tu bagawi saurangan. Kada baparamisi dahulu lawan nang ada. Di situ tu ada kampung kadiaman bubuhan anak-cucu kami. Bujur haja disitu tu ada jua kakanakan nang pina ugal-ugal, nang katuju maudaki urang. Tagal, nang maulah sarik lawan bubuhan jiran di situ, kabalujuran nang andika gawi tu takana paimaman masigit. Iya kaya ini jadinya. Kada sarana bapiragah harat gin kalu kita ni. Nangitu takabur ngarannya. Napsu, dangsanak-ai. Kita ni sama-sama umat Nabi Muhammad jua. Kada bubuhan iblis kada. Kada hantu bariaban kada. Nah, nangitu haja pang nang handak ku padahaka. Lawan sapasal pulang pasan bubuhannya, kaina andika mahalarat dahulu. Tanda kita ni sudah baakuran. Sama-sama mahluk Tuhan, sama-sama mahurmati. Lamunnya sudah baakuran, sahibar parkara kami maalih kaandakan masigit tu gampang haja. Nang sabuting tu urusanku kaina. Tagal, jangan kada ingat lah, cuali lakatan hirang, sasadiakan jua bubur habang lawan bubur putih. Nangini kada parkara sirik kada. Jadi, jangan dikakaitakan lawan urang nang katuju maandak ancak. Tagal, sabakas pulang ha kusambatakan, sahibar tanda kita sudah baakuran. Kita ni bakulawarga. Badangsanak saiman saagama. Wajip kita padah-bapapadah, maingatakan urang nang kalumpanan. Nah, kikira damintu hajalah pasanku.”
Limbah bapapadah nang kaya itu, balalu urang tuha tuti maandak talapak tangan kanan sidin di bumbunan Pakacil Jipak. Tadangar bunyi salawat dibacaakan. Kada saapa, alam nang asal kadap manggasut jadi manarang. Bubuhan pambakal takajut, Pakacil Jipak bapuat bagagasutan pada karabahan sidin. Wagas awak sidin sikungan. Mata sidin palingau-palingau ka kiwa ka kanan, ka hadapan ka balakang.
“Tuan Guru, Patuan!” jar sidin bakiau sing nyaringan.
“Siapang nang andika kiau ti, Pakacil!” Pambakal Hadi kapulingaan.
“Astagfirullah….”
Pakacil Jipak waras saitu-saini. Nang kaya urang mambuangi kalimpanan. Limbah dibawa bulik, sidin mangisahakan samunyaan nangapa haja nang hanyar ditamui sidin salawas tabantai di rumah sakit. Isuk arinya, urang mahalarat, basalamatan sakampungan. Bubur habang, bubur putih, lawan lakatan hirang disadiakan jua. Limbah itu, rapun kariwaya nang batangnya sudah kiwang nangitu diupahakan manuntungakan manabang ka tukang sinsu. Kariak…,dabau!!
Kandangan, September 2003
(Galuh: Sakindit Kisdap Banjar, 2005:13-25)
DAFTAR RUJUKAN
Sulistyowati, Endang dan Tarman Effendi Tarsyad. 2014. Aneka Kajian Prosa Fiksi. Cetakan Keempat. Banjarmasin: Tahura Media.
Tarsyad, Tarman Effendi.       .Warna Lokal Banjar Dalam Cerpen
Tarsyad, Tarman Effendi.2011. Kajian Stilistika Puisi Sapardi Djoko Damono. Cetakan Pertama. Banjarmasin: Tahura Media.
Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Cetakan kesepuluh.  Yogyakarta: Gadjah Mada Universitiy Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Cetakan kedelapan. Yogyakarta: Gadjah Mada Universitiy Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar