I. Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Stilistika dan
Hakikat Stilistika
Stilistika menunjuk pada pengertian
studi tentang stile (Leech & Short, 2007:11), kajian terhadap wujud
performasi kebahasaan, khususnya yang terdapat di dalam teks-teks kesastraan.
Kajian stilistika itu sendiri sebenarnya dap[at
ditujukkan terhadap berbagai ragam penggunaan bahasa dan tidak terbatas
pada ragam sastra saja (Chapman, 1973:13). Namun, Stilistika lebih sering
dikaitkan dengan bahasa sastra. Analisis stilistika biasanya dimaksudkan untuk
menerangkan sesuatu yang pada umumnya dalam dunia kesastraan untuk menerangkan
hubungan bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya (Leech & Short,
2007:11). Di samping itu, ia dapat juga bertujuan untuk menentukan seberapa
jauh dalam hal apa serta bagaimana pengarang mempergunakan tanda-tanda
linguistik untuk memperoleh efek khusus (Champman, 1973:15).
Tujuan kajian stilistika
kesastraan, misalnya dapat dilakukan
dengan mengajukan dan menjawab pertanyaan, pertanyaan itu haruslah pasti dan
tepat dalam kaitannya dengan tujuan analisis stile terhadap sebuah teks
tertentu. Dengan pertanyaan itu maka kita akan mengetahui tujuan dilakukannya
kajian stilistika.
Dengan
demikian, stilistika kesastraan merupakan sebuah metode analisis karya sastra
(Abrams, 1999:305). Ia dimaksudkan untuk menggantikan kritik yang bersifat
subjektif dan imprisif dengan analisis stile teks kesastraan yang lebih
bersifat objektif dan ilmiah. Analisis dilakukan dengan mengkaji berbagai
bentuk dan tanda-tanda linguistik yang dipergunakan seperti yang terlihat dalam
struktur lahir. Dengan cara ini akan dfiperoleh bukti-bukti konkret tentang
stile sebuah karya. Metode analisis ini akan menjadi penting karena dapat memberikan informasi tentang karakteristik
khusus sebuah teks sastra. Tanda-tanda stilistika itu sendiri dapat berupa
fonologi, misalnya pola ucapan dan irama, stilistika, misalnya jenis struktur
kalimat, leksikal, misalnya penggunaan kata abstrak atau konkret, frekuensi
penggunaan kata benda, kerja, sifat, dan penggunaan bahasa figuratif, misalnya
bentuk-bentuk pemajasan, penyiasatan struktur, citraan, dan sebagainya.
2.
Ruang Lingkup
Kajian stilistika
A.
Unsur Leksikal
Unsur leksikal yang dimaksud sama
pengertiannya dengan diksi, yaitu yang mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata
tertentu yang segaja dipilih oleh pengarang untuk mencapai tujuan tertentu.
Mengingat bahwa karya fiksi adalah dunia dalam kata, komunikasi dilakukan dan
ditafsirkan lewat kata-kata, pemilihan kata-kata tersebut mesti melewati
pertimbanga tertentu untuk memperoleh efek tertentu, efek ketepatan(estetis).
Misalnya ketepatan itu sendiri secara sederhana dapat pertimbangan dari segi
bentuk dan makna, yaitu apakah diksi mampu mendukung tujuan estetis karya yang
bersangkutan, mampu mengomunikasikan makna, dan mampu mengungkapkan gagasan
seperti yang dimaksudkan oleh pengarang
B. Unsur
Gramatikal
Unsur
gramatikal yang dimaksud menunjuk kepada pengertian struktur kalimat. Dalam
kegiatan komunikasi berbahasa, juga jika dilihat dari kepentingan stile,
kalimat lebih penting dan bermakna daripada sekedar kata walau pendayaan
kalimat dalam banyak hal juga dipengaruhi oleh pilihan katanya. Sebuah gagasan,
pesan(baca: stuktur batin) dapat diungkapkan kedalam berbagai bentuk kalimat(
baca: struktur lahir) yang berbeda-beda struktur dan kosa katanya. Dalam
kalimat, kata-kata berhubungan dan berurutan secara linier yang dapat dilihat
dalam bentuk realisasi grafologis kalimat dalam bentuk baris-baris seperti pada
halaman buku.
Untuk
membentuk sebuah kalimat yang bermakna, hubungan sintagmatik kata-kata tersebut
harus gramatikal, sesuai dengan sistem kaidah yang berlaku dalam bahasa yang
bersangkutan. Secara teoritis jumlah kata yang berhubungan secara sintagmatik
dal;am sebuah kalimat tidak terbatas, dapat berapa saja sehingga mungkin
panjang sekali. Secara formal, memang tidak ada batas berapa jumlah kata yang
seharusnya dalam sebuah kalimat (Chapman, 1973:45). Akan tetapi, sebuah kalimat
yang terdiri atas banyak sekali kata sehingga panjang, biasanya menjadi lebih
sulit dipahami karena sering mengandung sejumlah gagasan sekaligus. Oleh karena
itu, dalam sastra pengarang mempunyai kebebasan dalam hal mengkreasikan bahasa,
adanya berbagai bentuk penyimpangan kebahasaan, termasuk penyimpangan struktur
kalimat, merupakan hal yang wajar dan sering terjadi.
C. Retorika
Retorika
merupakan salah satu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis. Ia
dapat diperoleh melalui kreativitas pengungkapan bahasa, yaitu bagaimana
pengarang menyiasati bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasannya.
Pengungkapan bahasa dalam sastra, seperti telah dibicarakan sebelumnya,
mencerminkan sikap dan perasaan pengarang, namun sekaligus dimaksudkan untuk
mempengaruhi sikap dan perasaan pembaca yang tercermin dalam nada. Untuk itu
bentuk pengungkapan bahasa haruslah efektif, mampu mendukung gagasan secara
tepat sekaligus mengandung sifat estetis sebagai sebuah karya seni. Retorika,
pada dasarnya, berkaitan dengan pembicaraan tentang dasar-dasar penyusunan
sebuah wacana yang efektif.
Retorika
sebenarnya berkaitan dengan pendayagunaan semua unsur bahasa, baik yang
menyangkut masalah pemilihan kata dan ungkapan, stuktur kalimat, segmwntasi,
penyusuran dan penggunaan bahasa kias, pemanfaatan bentuk citraan, dan
lain-lain yang semuanya disesuaikan dengan situasi dan tujuan penuturan.
Unsur
stile yang berwujud sarana retotika itu, sebagaimana dikemukakan Abrams (1999)
diatas, meliputi penggunaan bahasa figuratif dan citraan. Bahasa figuratif itu
sendiri oleh Abrams (1999:96-97) dibedakan ke dalam figures of thought atau tropes, dan figures
of speech, rhetorical figures, atau schemes.
Dalam teorinya, sarana
retorika terdiri dari berbagai macam unsur.
1) Pemajasan
Pemajasan
merupakan teknik pengungukapan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak
merujuk padat. makna harfiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna
yang ditambahkan atau makna yang tersirat. Jadi, pemajasan merupakan gaya yang
dimaksud secara tidak langsung.
Bentuk-bentuk pemajasan
yang sering digunakan pengarang adalah:
a) Personifikasi
Personifikasi
merupakan bentuk pemajasan yang memberi sifat-sifat benda mati dengan
sifat-sifat kemanusiaan. Artinya, sifat yang diberikan itu sebenarnya hanya
dimiliki oleh manusia.Maka, majas ini juga disebut sebagai majas perorangan,
sesuatu yang diorangkan, seperti halnya orang.
b)
Majas hiperbola
Majas ini dipakai jika
seseorang bermaksud melebihkan sesuatu yang dimaksudkan dibandingkan makna yang
sebenarnya dengan maksud untuk menekankan penuturnya. Makna yang ditekankan
atau dilebih-lebihkan itu sering menjadi tidak masuk akal untuk ukuran nalar
yang biasa.
D.
Penyiasatan struktur
Sama
halnya dengan pemajasan yang dipandang orang sebagai salah satu wujud stile,
pendayaan struktur kalimat pun menghasilkan satu bentuk stile ynag lain. Jika,
pemajasan menekankan pegungkapan melalui penyiasatan makna, penyiasatan
struktur menekankan pendayaan struktur. Jadi, makna boleh sama dan sama-sama
menunjuk makna harfiah, tetapi penyusunan struktur kalimatnya sengaja dibuat
beda, dikreasikan, dibuat lain sehingga mampu membangkitkan efek tertentu yang
secara umum disebut efek keindahan.
Ada
banyak macam stile penyiasatan struktur, namun sebenarnya yang secara konkret
sering dijumpai dalam teks-teks kesastraan tidak banyak. Beberapa di antaranya
adalah:
1.
Repetisi
Repitisi
merupakan bentuk penyiasatan struktur dengan pengulangan kata-kata atau frase
tertentu dengan maksud untuk menekankan sesuatu yang dituturkan. Bentuk ini
banyak ditemukn dalam berbagai teks fiksi dan mudah dikenali.Kata yang diulang
dalam bentuk repitisi bisa terdapat dalam satu kalimat atau lebih, berada pada
posisi awal, tengah, atau di tempat yang lain.
2.
Anafora
Anafora
terjadi paling tidak dalam dua buah kalimat, pengulangan anaforis dapat
memberikan tekanan dan menunjang kesimetrisan struktur kalimat yang ditampilkan.
3.
Antitesis
Antitesis adalah gaya bahasa dengan
membuat suatu perbandingan (komparasi) antara dua antonim (kata-kata yang
menyatakan makna bertentangan satu sama lain).
4.
Antiklimaks
Antiklimaks merupakan gaya berupa acuan yang berisi gagasan-gagasan yang
disususn secara berurutan dan imulai dari gagasan terpenting menuju
ke gagasan yang kurang penting..
E.
Citraan
Citraan
merupakan sebuah gambaran berbagai pengalaman sensoris yang dibangkitkan oleh
kata-kata. Citra merupakan suatu bentukpenggunaan bahasa yang mampu
membangkitkan kesan yang konkret terhadap suatu objek, pemandangan, aksi,
tindakan, atau pernyataan yang dapat membedakannya dengan pernyataan atau
ekspositoris yang abstrak dan biasanya ada kaitanya dengan simbolisme (Baldic,
2001:121-122).
Ada beberapa macam
jenis citraan antara lain:
a.
Citraan penglihatan
(visual) memberikan rangsangan kepada indera penglihatan sehingga sering
kal-hal yang tak terlihat seolah-olah terlihat.
b.
Citraan pendengaran
(auditoris) dihasilkan dengan menyebutkan bunyi suara.
c.
Citraan gerakan (kinestetik)
menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, ataupun gambaran pada
umumnya.
F. Kohesi
Antara
bagian kalimat yang satu dengan bagian yang lain, atau kalimat yang satu dengan
yang lain terdapat hubungan yang bersifat mengaitkan antarbagian kalimat atau
antarkalimat itu. Bagian-bagian dalam kalimat, atau antarkalimat dalam sebuah
alinea, yang masing-masing mengandung gagasan, tidak mungkin disusun secara
acak. Antara unsur tersebut secara alami dihubungkan oleh makna semantik.
Hubungan semantik merupakan bentuk hubungan yang esensial dalm kohesi yang
mengaitkan makna-makna dalam sebuah teks. Hubungan tersebut mungkin bersifat
eksplisit yang ditandaioleh adanya kata penghubung atau hanya berupa hubungan
kelogisan yang disampaikan oleh pembaca, hbungan implisit. Hubungan demikian
disebut kohesi/keutuhan.
II. Pembahasan
Bahasa
Kisdap “Kariwaya”
Kisdap
“Kariwaya” karya Jamal T. Suryanata yang terdapat dalam buku kumpulan cerpen
Tarman Effendi Tarsyad, yang berjudul Warna Lokal Banjar dalam Cerpen. Kisdap
ini terdiri dari 25 paragraf. Termasuk masing-masing hanya satu atau dua
kalimat dalam sebuah paragraf yang memuat dialog antar tokoh. Seperti pada
paragraf 14
Kisdap
ini juga didominasi dengan paragraf narasi, kalaupun ada dialog seperti pada paragraf 3
yang dimasukkan kedalam satu paragraf. Seperti pada
cuplikan berikut,
“Cah, cakada lain pang rasaku. Musti pang
pungkalanya rapun kariwaya nang sudah tuuh di palingkungan kartak nangitu,”
ujar Pakacil Jipak manggarunum saurangan. Bunyinya pina sarik pang. Tagal nang
ngaran manyaurangan ti, biar takunjilak kupiah sidin kasasarikan tatapai urang kadada
nang tahunya. Kadada luang talinga nang mandangarnya.
Kisdap
kariwaya di tulis dengan bahasa yang hemat , kehematan penulisan terlihat pada
beberapa cuplikan, yaitu
Sadang lawasnya sidin
duduk maungut disitu, basandar ditawing halat sambil tipus-tipus baruku
manyaurangan. Ari sudah parak tangah malam. Diluar angin dibur-dibur batiup
marumpaki rarapunan nang ada dihiga mahiga rumah sidin. Napa lagi mun
dibalakang rumah, rapun paring bunyi kariut-kariut mambari takutan. Limbah itu, kutang ha pulang bunyi
caluuk-caluuk basasalakan. Ujar urang tuha bahari, satua nang kaya kutang atawa
hadupan tuhawas matanya lawan bu buhan iblis, hantu, atawa urang halus.
Dalam kutipan itu terlihat kehematan
yaitu tanpa ada kata penghubung untuk mendiskripsikan posisi tokoh, kata
penghubung hanya diganti dengan tanda koma untuk melanjutkan pada kalimat atau
frase selanjutnya.
Dasar pang tumatan di Parincahan lacit ka Pangambau,
siapa jua urangnya nang kada tahu lawan sidin. Ujar urang Jipak Tungkih,
pambakal tuha di sungai Batung, iya tu sidin. Cakada sahibar hayam barumahan
haja jua sidin tutiam, ujar, nang bahari dihabarakan mati ditimpas japang
balalu hidup pulang. Laluai sidin pada dipadahakan urang mauntal minyak bintang
ha lagi.
Kehematan kata juga terlihat pada cuplikan
di atas, yaitu penggunaan kata ganti sidin
untuk menggantikan penggunaan nama tokoh
Pakacil Jipak, yang pada kalimat selanjutnya
digantikan dengan kata ganti sidin.
Kisdap
ini selain menggunakan bahasa yang hemat juga menggunakan bahasa yang cermat,
kecermatan pilihan kata terlihat pada beberapa kata yang digunakan.
….Cakada
sahibar hayam barumahan haja jua sidin tutiam, ujar, nang bahari dihabarakan
mati ditimpas japang balalu hidup pulang…
Pada cuplikan tersebut terdapat kata
ditimpas japang tampak kecermatan
penulis dalam memilih penggunaan kata, ditimpas
japang artinya di tebas oleh
penjajah jepang. memang benar pada saat masa penjajahan, masyarakat banjar
melawan penjajah jepang dengan menggunakan parang dan saling tebas.
Nang sabujurnya bubuhan urang sipit mata tuti nang
batalu tapangai di padang tagah.
Kecermatan
dalam pemilihan kata juga tampak pada penggunaan kata Sipit Mata yang ditujukan pada orang jepang, penulis menggambarkan bahwa orang jepang memiliki
mata yang sipit dan kenyataan itu memang benar adanya.
Dalas hangit, mahati sidin, aku kada bakalan
baampih mun balum maliat makhluk nangini rabah tahumbalik di hadapanku.
Pada
kutipan diatas juga terdapat kecermatan pemilihan kata yaitu dalas hangit yang merupakan pribahasa orang banjar yang
memiliki arti pantang menyerah, memang cermat digunakan untuk penggunaan yang
sesuai konteks bahwa tokoh tidak menyerah saat menebang pohon Kariwaya.
Ketepatan
penulisan juga terdapat dalam kisdap “Kariwaya” karya Jamal T.Suryaata, yang
terdapat dalam Penggunaan Partikel –lah yang berfungsi mengeraskan kata
keterangan
Nang kasakitan
parutlah, awak asa katur sabukuanlah, handak saruan kakampung sabalahlah, atawa
bapadah lagi manggah
Penggunaan
tanda koma untuk ungkapan spontan, yang tepat digunakan penulis setelah
ungkapan kata spontan,
…Bah, biar didalam rumah gin, pagun asa
mambari takutanai mun bacungkung saurangan batangah malaman…
“Cah, cakada lain pang rasaku…
Masih
mengenai ketepatan penulisan kata di- pada
beberapa kalimat berikut :
Dipilihi dahulu nang bujur-bujurnya, ditabung dahulu
nang pina talurus, kaputingannya hanyar takana giliran nang kada karuan tampuh
buku-ruasnya. Nang kaya itu jua tuhan mamilih manusia. Disuruh sidin dahulu
malaikat Ijrail mangiau urang nang alim-alim,…
Penggunaan
kata depan di- ditulis
serangkai dengan kata yang mengikutinya apabila kata yang mengikuti kata
di tersebut tergolong kata kerja
Sadang lawasnya sidin duduk
maungut di situ, basandar di tawing halat sambil tipus-tipus baruku
manyaurangan. Ari sudah parak tangah malam. Di luar angin dibur-dibur batiup
marumpaki rarapunan nang ada di higa
mahiga rumah sidin. Napa lagi mun di
balakang rumah, rapun paring bunyi kariut-kariut mambari takutan.
di-
harus terpisah dengan kata yang mengikutinya jika di
berfungsi sebagai kata depan yang diikuti kata benda dan arah tempat
Gaya Kisdap “Kariwaya”
Berkenaan dengan unsur leksikal yaitu
pemilihan kata atau diksi kisdap “Kariwaya” lebih banyak menggunakan kata atau
kelompok kata (frasa) yang memiliki makna konotatif yaitu bukan makna
sebenarnya, makna konotatif yang terkandung diantaranya seperti berikut:
1.
Kata pangirak, merujuk pada pembantu kepala
desa atau istilah orang banjar pambantu pambakal.
Suah sakali, hanyar ja bangsa satangah bulan, pangirak
nang tabantai di rumpak mutur tangki.
2. Frasa minyak
bintang, merujuk kepada minyak yang di pakai oleh orang-orang yang menggunakan
ilmu kesaktian.
Laluai sidin pada dipadahakan urang mauntal minyak
bintang ha lagi.
3. Kata kutang,
merujuk pada hewan yaitu anjing.
Limbah itu kutang ha pulang bunyi caluuk-caluuk
basasalakan.
4. Balak anam adalah orang yang tidak mempunyai sopan santun dalam
kehidupannya.
Limbah itu
hanyar bubuhan balak anam nang kada tapi tahu dibasa.
5.
Urang jaba
adalah orang yang biasa-biasa saja tidak mempunyai ilmu yang bisa melihat
hal-hal yang diluar kemampuan manusia biasa.
Sakada-kadanya jadi palidangan urang halus nang kada
kawa diliat lawan mata-kupala urang jaba.
6.
Urang halus
adalah istilah yang dipakai untuk makhluk yang tidak bisa di lihat oleh
manusia. Urang halus di sini bukan dimaksudkan untuk orang yang masih kecil
atau anak-anak.
Sakada-kadanya jadi palidangan urang halus nang kada
kawa diliat lawan mata-kupala urang jaba
7.
Bilangan bajau,
merujuk pada bilangan yang digunakan untuk mencari keberuntungan, biasanya di
pakai oleh orang-orang yang tertentu saja.
Sabujurannya, manurut rikinan bilangan bajau malam
arba pang nang tamasuk ari nang baik gasan bagawian nangitu.
8.
Kata bariaban yang sama artinya dengan marabiaban yaitu mahluk supranatural
yang satu ini memang sangat terkenal di kalimantan. mahkluk ini di gambarkan
besar seperti raksasa, dan mempunyai bulu lebat. Mahkluk ini dikatakan ada di
belantara hutan-hutan kalimantan dan juga mampu menjelma menjadi manusia yg mencapai tingkat tinggi ilmu
kesaktian hantu marabiaban ini. Bahkan hingga saat ini masyarakat Kalimantan
ada yang memakai bulu makhluk ini untuk ilmu kekebalan, dan orang yang
memakainya apabila marah akan mengeluarkan taring di giginya.
Kita ni sama-sama umat Nabi Muhammad jua. Kada iblis kada, kada hamtu
bariaban kada.
Masih berkenaan mengenai unsur leksikal, kisdap ini
memiliki banyak pengulangan kata maupun kelompok kata (frasa). Pengulangan ada
yang secara berurutan dari awal kalimat, ada juga pengulangan kata atau
kelompok kata yang terdapat dalam satu kalimat,
misalnya
-
Pangrasaku ti,
samunyaan ari musti baik. Jadi tasarah nang
di atas haja lagi maatur. Ampun-Nya nang
baik, ampun-Nya jua nang buruk.
-
Nang kaya ujar
paribahasa, kada wani ditambah kada wani riinanya jadi wani.
-
Cakada tarikin lagi
sudah barapa putting ruku dihadapan sidin.
Nang dipikarakan sidin sabuting haja ,…
Dari beberapa kalimat tersebut, tampak terlihat bahwa
penulis kadang-kadang tidak melakukan pengulangan kata yang sama, tetapi
kadang-kadang juga melakukan pengulangan kata yang berbeda dalam sebuah
kalimat.
Dilihat dari segi gramatikal, tampaknya kisdap ini
ditulis dengan kalimat yang agak panjang. Meskipun demikian, kalimat-kalimat
tersebut bukan termasuk penyimpangan, karena diiringi kata penghubung atau
tanda koma untuk membuat kalimat itu menjadi baik. Justru dalam rangka
penekanan dan memperjelas makna yang ingin disampaikan oleh penulis.
-
Limbah itu, kutang ha
pulang bunyi caluuk-caluuk basasalakan. Ujar urang tuha bahari, satua nang kaya
kutang atawa hadupan tuhawas matanya lawan bu buhan iblis, hantu, atawa urang
halus.
-
Disuruh sidin dahulu
malaikat Ijrail mangiau urang nang alim-alim, bubuhan balak anam nang kada tapi
tahu di basa. Jangan pang manggawi sumbahyang-mangaji, mambaca sahadat haja gin
pagun bajuju kadapati ruus.
Mengenai gaya pemajasan yang termasuk dalam retorika,
penulis menggunakan beberapa majas, yang umunya lebih banyak terdapat majas
hiperbola, terutama pada kutipan berikut ;
-
Lilitan
surbannya sing ganalan nang kaya isaian.
-
Tabarubut
dapatnya ilaian parang bungkul sidin.
-
Daunnya ha
pulang liwar jambar bapapuluh dapa ka kiwa ka kanan.
-
Bacugutan di
pinggir jalan nang kaya raksasa picak.
-
Alahan pada
bunyi masin kapal, paribahasanya.
-
Kukusnya makaam
nang kaya kanaput kalotok ha lagi(lamunnya asa kadatapi gancang, ya kakaya
carubung pabrik banih ampun Haji Idak-lah).
Masih mengenai pemajasan, majas lain yang ditemukan
dalam kisdap “Kariwaya” yaitu majas Personifikasi, seperti yang terdapat dalam
beberapa kutipan, misalnya;
-
Diluar angin
dibur-dibur batiup marumpaki rarapunan nang ada di higa-mahiga rumah sidin.
-
Rapun paring
bunyi kariut-kariut mambari takutan.
-
Bahanu karasaan
jua libasannya batiup ka dalam rumah masuk bagamat jalan sasala tiwa-tiwa nang
dasar balangapan.
Kemudian, majas lainnya yang juga terdapat dalam
kisdap ini yaitu majas antitesis dan
majas antiklimaks yaitu ;
-
Mata sidin
palingau-palingau ka kiwa ka kanan, ka hadapan
ka balakang.
-
…satua
nang kaya kutang atawa hadupan tuhawas matanya lawan bu buhan iblis, hantu,
atawa urang halus….
Mengenai penyiasatan struktur penulis menggunakan
bentuk repitisi yaitu pendayaan struktur yang berkaitan dengan pengulangan
partikel, kata maupun kelompok kata (frase)
-
Nang kasakitan
parutlah, awak asa katur sabukuanlah, handak saruan ka kampong subalahlah,
atawa bapadah lagi manggah bakas tamakan pamantang.
-
Kada buhbuhan
iblis kada. Kada hantu bariaban kada.
Berkenaan dengan pencitraan, pada kisdap “Kariwaya”
penulis melengkapi kisdap ini dengan beberapa pencitraan, antara lain citra
penglihatan, citra pendengaran dan citra gerakan.
Pencitraan
yang berkenaan dengan citra penglihatan, antara lain:
·
Kukusnya makaam
nang kaya kanaput kalotok ha lagi
·
Sudah batangnya
nang sing ganalan, daunnya ha pulang liwar jambar bapupuluh dapa ka kiwa ka
kanan.
·
Bacugutan di
pinggir kartak, nang kaya raksasa picak.
·
Mun urang
tajanaki puhun kariwaya nangitu, napalagi wayah malam salau-salau, dasar asa
mambari takutan tih, habisai kisahnya.
·
Limbah sudah
tajanaki ada urang tatilungkup badarah-darah di hadapan, takuciak juaai
kaputingannya.
Berkenaan dengan citra pendengaran, antara lain:
·
Napalagi mun di
balakang rumah, rapun paring bunyi caluuk-caluuk basasalakan.
·
Limbah sudah
tajanaki ada urang tatilungkup badarah-darah di hadapan, takuciak juaai
kaputingannya.
Berikut
ini beberapa kalimat yang berkenaan dengan citra gerakan, misalnya ;
·
Di luar angin
dibur-dibur batiup marumpaki rarapunan nang ada di higa-mahiga rumah sidin.
·
Angin pagun
dibur-dibur di luar, bahanu karasaan jua libasannya batiup ka dalam rumah.
Berkaitan dengan kohesi, secara keseluruhan pada cerpen
ini hubungan yang bersifat mengaitkan. Pada cerpen ini banyak ditemukan
hubungan rujuk-silang, yang merupakan penyebutan kembali sesuatu yang telah
dikemukakan sebelumnya, merupakan alat pengulangan makna dan referensi. Bentuk
pengulangan formal yang paling nyata, yang dikenal dengan pengulangan formal.
Pengulangan ini berupa kata atau frasa yang sama. Pengulangan tersebut selain
mendukung sebuah gagasan yang utuh, juga dapat dikatakan sebagai sarana untuk
memperoleh efek estetis. Pengulangan itu sendiri merupakan suatu bentuk
penekanan makna dan kesan emotif, ekspresif, di samping itu jga untuk
memperkuat sifat paralistis kalimat. Gaya repetisi dan anafora seperti
dikemukakan sebelumnya dapat pula dijadikan contoh. misalnya Nang, kada. Dapat
dilihat pada kutipan berikut ini.
-
Nang kasakitan
parutlah, awak asa katur sabukuanlah, handak saruan ka kampong subalahlah,
atawa bapadah lagi manggah bakas tamakan pamantang.
-
Kada bubuhan
iblis kada. Kada hantu bariaban kada.
Dengan
demikian jelas terlihat bahwa secara keseluruhan pada cerpen tersebut, baik
antara bagian kalimat yang satu dengan bagian kalimat yang lain, antara kalimat
yang satu dengan kalimat yang lain, atau antara paragraf yang satu dengan
paragraf yang lain, terdapat hubungan yang bersifat mengaitkan. Bagian-bagian
tersebut, yang dihubungkan baik secara ekspisit, implicit,maupun kaduanya
secara bersamaan, atau bergantian, mendukung sebuah gagasan yang utuh.
Pembahasan cerpen “Kariwaya”
Sesuai dengan judulnya “Kariwaya” yang berasal dari bahasa Banjar yang sebenarnya
adalah Pohon Kariwaya, yang merupakan sejenis pohon beringin
tumbuh di pohon lain Sesuai dengan judulnya maka yang menjadi topik
permasalahan dalam kisdap ini adalah mengenai pohon kariwaya. . pohon ini dianggap menjadi penyebab seringnya
terjadi kecelakaan di daerah sekitar pohon tersebut.
Antah kanapakah, sidin sudah liwar lawas bangat
handak mangganyang kariwaya nang sudah tuha dangka dipalingkungan parak masigit
tuti. Sidin muar bangat saban kalian tajanaki rapun kariwaya nangitu. Nang
musti, diparak situ ti sudah bapupuluh kali mutur atawa sapida mutur tarabah
atawa tabalik kungkang.kada badua-batalu sudah urang nang mati mudar napalagi
nang sahibarkacilakaann badarah-darah haja. Saban kalian kajadian, musti ha
andaknya di Palingkungan parak rapun kariwaya tuti. Suah sakali, hanyar ja
bangsa satangah bulan pangirak nang tabantai di rumpak mutur tangki. Mumui
darah di kupala sidin. Mati saitu-saini. Awak sidin gin kikira patah ampat
saku.
Namun, penduduk setempat tidak mempunyai keberanian untuk menebang pohon
tersebut, sudah beberapa orang yang ingin mencoba menebang pohon tersebut,
namun setiap orang yang ingin menebang pohon itu selalu mengalami hambatan dan
hal-hal yang dianggap misterius dan bersifat mistis. Oleh sebab itu, penduduk
sekitar yakin bahwa di pohon tersebut merupakan tempat bersarangnya hantu atau
makhluk ghaib.
Mun urang tajanaki rapun kariwaya
nangitu, napalagi wayah malam salau-salau, dasar asa mambari takutan tih, habisai
kisah. Sudah batangnya sing ganalan, daunnya ha pulang liwar jambar bapupuh
dapa ka kiwa ka kanan. Bacugutan di pinggir kartak , nang kaya raksasa picak.
Limbah itu, akar-akar sulurnya pulang manjarumbun jaruntayan. Sapalih ada jua
nang lacit katanah. Lamunnya wayah angin batiup pina tagancang, rahatan angin
rebut, ubuy… nang kaya sandah atawa hantu bariaban ha lagi. Nangapa habar
lamunnya sudah kayangitu ciut tu pang hampidal urang nang manjanaki. Napa lagi
urang sakampungan di sungai Batung nangini sudah talanjur parcaya, matan datu-
nini bahari, musti rapun kariwaya tuuh nangitu sudah lawas jadi sarang hantu.
Sakada kadanya jadi palidangan bubuhan urang halus nangkada kawa diliat lawan
mata-kupala urang jaba. Makanyaam, jangan bagarak mailai kapak, baniat handak
manabang haja gin urang asa kada wani. Musti tapikir mati budas lawan maharikan
nasip anak-bini di rumah.
Tokoh
utama yaitu Pakacil Jipak tidak bisa membiarkan kejadian naas itu terus
terjadi, apalagi kecelakaan itu pernah menimpa juga pada besannya. Dia tidak
ingin kejadian seperti itu juga menimpa orang lain. Hingga memutuskan untuk
menebang pohon itu sendirian dengan nyali yang cukup besar
Kaputingannya,
malam sanayan nitu, Pakacil Jipak kada lawas lagi maarit asa kamumuaran sidin.
Bangsa pukul sawalas sidin turun pada rumah. Turun lawan kapak sabilah,
balayung, lawan parang lais nang hanyar baasah rarapan bulu. Sabujurnya,
manurut rikinan bilangan bajau, malam arba pang nang tamasuk ari baik gasan
bagawian nangitu. Tagal, biar sidin tahu jua lawan bilangan bajau, Pakacil
Jipak ni kada tapi parcaya jua lawan namg kakaya nitu. Aku bapingkut lawan nang
satu haja, jar sidin mayayakinakan hati. Pangrasaku ti, samunyaan ari musti
baik. Jadi tasarahnang di atas haja lagi maatur. Ampun-Nya nang baik, ampun-Nya
jua nang buruk.
Namun,
ketika setengah pohon sudah berhasil ditebang Pakacil Jipak sudah kelelahan
tetapi dengan semangat pantang menyerah beliau tetap bertekad untuk dapat
menebang pohon tersebut saat itu juga. Beberapa waktu kemudian terdengar suara
rebut dari atas pohon. Suara itu semakin nyaring dan terdengar jelas menolak
penebangan pohon ini.
Tagal, babaya kulihan
tungkihan sidin parak manyubalah pada tatangah batang, balalu parasa Pakacil
Jipak asa baubah. Talinga sidin asa bakiwit mandangar bunyi mangguruh matan di
atas. Bunyi liwar galu nang kaya di pasar wadai. Bunyi kuncahungan nang kaya
cina kahilangan dacing. Manggasut asa mangadap panjanak sidin. Manggasut lamah
lintuhut sidin
“Masigit
kami, masigit kami…!!”
“Baingat,
andika! Baingat, Pakacil-ai…!”
“Hancur
jua masigit kami!”
“Kasian…jangan
diudak!”
Setelah
mendengar suara-suara tersebut tanpa disadari, ternyata tokoh Pakacil Jipak
tergeletak bersimbah darah tanpa ada
yang tahu apa penyebabnya. Untunglah keesokan harinya tokoh tambahan seperti
Darsani, Gulu Hamran dan beberapa orang lainnya melewati pohon kariwaya setelah
pulang dari Masjid sehabis shalat shubuh. Mereka mulai curiga ketika mendapati
pohon kariwaya yang sudah setengah ditebang. Ternyata saat didekati ada
seoarang yang tergeletak dengan bersimbah darah di bawah pohon kariwaya dan
orang itu adaah Pakacil Jipak. Setelah mengetahui bahwa pakacil Jipak bersimbah
darah, mereka semua membawa pakacil Jipak ke rumah sakit terdekat.
“Siapalah urangnya nang
wani manggatuk batang kariwaya nangitu?” ujar sasaikung batakun lawan nang
lain.
“Hi…, baik lamunnya
kada sarik urang nagng di atas,” ujar nang lain manyahuti sambil bagidik pina
takutanan.
“Sakuai gawian Angah
Isan-lah,” jar nang lain pulang manangguhi.
“Bisaai saku. Cuba pang
kita paraki.”
Sambil
batutunjulan, pina bamara-bamundur, kaputingan-nya Darsani nang bawani
saurangan badahulu balingkang ampah ka bawah rapun kariwaya nang batangnya
sudah bakiwang nang parak saparu nangitu. Babaya lacit ka bawahnya, balalu inya
takuciak papar sambil bukah babulik manukui nang lain. Muhanya pina wirai,
kalas ka tahi-tahi. Nang kaya urang kada badarah lagi.
“Ah..aa…ada urang,
Gulu-ai!” ujarnya bunyi aga
“Siapa?” jar Gulu
Hambran manakuni.
“Ulun
kada tahu. Kada sawat maminandui, Gulu-ai!”
“mun damintu, ayu kita paraki barataan.”
Gulu Hambran ancap
balingkah. Maliat nang tuha sudah hakun bacabur, balaluai nang lain maumpati di
balakang. Nang kaya ujar paribahasa, kada wani ditambah kada wani riinanya jadi
wani. Nang kaya itu jua parigal bubuhannya, ada nang mambungah pina pawawaninya
balalu ha manyalip Gulu Hambran. Tagal, limbah sudah tajanaki ada urang
tatilungkup badarah-darah dihadapan, takuciak juaai kaputingannya.
“inna lillahi…, Pakacil Jipak!” ujar Gulu Hambran bunyi babisik
limbah mambalik awak urang nang luka tadi. Limbah itu, dipicik ni musti
lakas-lakas kita tulungi. Ancapi kita bawa sidin karumah sakit. Padahi pambakal
supaya mancariakan mutur damini jua. Ujarku tu lah.”
Setelah
berada di rumah sakit, keadaan Pakacil Jipak bukannya malah membaik melainkan
membuat orang yang berada di sana khawatir dengan keadaan beliau yang hampi
mirip dengan seseorang yang kesurupan. Ternyata tanpa ada yang mendengar dan
melihat, beliau ditemui oleh seorang kakek yang berpakaian serba putih
mengatakan sesuatu kepada beliau, kakek itu mengatakan bahwa tindakan pakacil
jipak sudah membuat kaum kakek tersebut terusik. Kakek itu juga mengatakan
bahwa di pohon itu merupakan tempat kiblat shalat mereka, sebagai makhluk tuhan
walaupun berbeda alam mereka juga ingin menyebah tuhan juga sama seperti
manusia normal biasa. Setelah mendengarkan penjelasan kakek tersebut, dengan
perjanjian yang sudah disepakati maka pohon itu bleh ditebang dengan beberapa
persyaratan. Dan akhirnya pakacil jipak kembali sadar dan sehat seperti sedia
kala.
Di rumah sakit, Pakacil
Jipak pina balingsang kapanasan. Sidin murau, bapandir kada babuku-baruas lagi.
Mata sidin cagat kaatas kada bakikilipan. Wayah itu, pangrasa sidin ada urang
tuha bajubah putih nang mahadapi. Lilitan surbannya sing ganalan nang kaya
isaian. Janggut putihnya liwar panjang lacit ka dada. Sambil tarus mangatik
tasbih, urang tuha nangitu takurinyum haja baduduk di higa sidin.
“Niat andika tu bujur haja pang.” Ujar urang tuha tu bagamat
mamandiri. ”tagal. Niat baik mustinya di pandirakan baik-baik jua dahulu.
Astilahnya, andika tu bagawi saurangan. Kada baparamisi dahulu lawan nang ada.
Di situ tu ada kampung kadiaman bubuhan anak-cucu kami. Bujur haja disitu tu
ada jua kakanakan nang pina ugal-ugal, nang katuju maudaki urang. Tagal, nang
maulah sarik lawan bubuhan jiran di situ, kabalujuran nang andika gawi tu
takana paimaman masigit. Iya kaya ini jadinya. Kada sarana bapiragah harat gin
kalu kita ni. Nangitu takabur ngarannya. Napsu, dangsanak-ai. Kita ni sama-sama
umat Nabi Muhammad jua. Kada bubuhan iblis kada. Kada hantu bariaban kada. Nah,
nangitu haja pang nang handak ku padahaka. Lawan sapasal pulang pasan
bubuhannya, kaina andika mahalarat dahulu. Tanda kita ni sudah baakuran.
Sama-sama mahluk Tuhan, sama-sama mahurmati. Lamunnya sudah baakuran, sahibar
parkara kami maalih kaandakan masigit tu gampang haja. Nang sabuting tu
urusanku kaina. Tagal, jangan kada ingat lah, cuali lakatan hirang, sasadiakan
jua bubur habang lawan bubur putih. Nangini kada parkara sirik kada. Jadi,
jangan dikakaitakan lawan urang nang katuju maandak ancak. Tagal, sabakas
pulang ha kusambatakan, sahibar tanda kita sudah baakuran. Kita ni bakulawarga.
Badangsanak saiman saagama. Wajip kita padah-bapapadah, maingatakan urang nang
kalumpanan. Nah, kikira damintu hajalah pasanku.”
Limbah bapapadah nang kaya itu, balalu urang tuha tuti maandak
talapak tangan kanan sidin di bumbunan Pakacil Jipak. Tadangar bunyi salawat
dibacaakan. Kada saapa, alam nang asal kadap manggasut jadi manarang. Bubuhan
pambakal takajut, Pakacil Jipak bapuat bagagasutan pada karabahan sidin. Wagas
awak sidin sikungan. Mata sidin palingau-palingau ka kiwa ka kanan, ka hadapan
ka balakang.
“Tuan Guru, Patuan!” jar sidin bakiau sing nyaringan.
“Siapang nang andika kiau ti, Pakacil!” Pambakal Hadi
kapulingaan.
“Astagfirullah….”
Pakacil Jipak waras saitu-saini. Nang kaya urang mambuangi
kalimpanan. Limbah dibawa bulik, sidin mangisahakan samunyaan nangapa haja nang
hanyar ditamui sidin salawas tabantai di rumah sakit. Isuk arinya, urang
mahalarat, basalamatan sakampungan. Bubur habang, bubur putih, lawan lakatan
hirang disadiakan jua. Limbah itu, rapun kariwaya nang batangnya sudah kiwang
nangitu diupahakan manuntungakan manabang ka tukang sinsu. Kariak…,dabau!!
Simpulan Kisdap “Kariwaya”
Cerpen “Kariwaya” Karya Jamal T. Suryanata dilihat
dari segi bahasa umumnya ditulis dengan bahasa yang hemat,
yaitu penggunaan kata ganti sidin untuk
menggantikan penggunaan nama tokoh Pakacil
Jipak,
yang pada kalimat selanjutnya digantikan dengan kata ganti sidin. Cermat , terdapat dalam pemilihan kata yaitu dalas hangit yang merupakan
pribahasa orang banjar yang memiliki arti pantang menyerah, memang cermat
digunakan untuk penggunaan yang sesuai konteks bahwa tokoh tidak menyerah saat
menebang pohon Kariwaya. Tepat, ketepatan
penulisan dalam kisdap “Kariwaya” karya Jamal T.Suryaata, yang terdapat dalam Penggunaan
Partikel –lah yang berfungsi mengeraskan kata keterangan.
Berkenaan
dengan gaya bahasa yaitu
pemilihan kata atau diksi kisdap “Kariwaya” lebih banyak menggunakan kata atau
kelompok kata (frasa) yang memiliki makna konotatif. Dilihat dari segi gramatikal, tampaknya kisdap ini
ditulis dengan kalimat yang agak panjang. Meskipun demikian, kalimat-kalimat
tersebut bukan termasuk penyimpangan, karena diiringi kata penghubung atau
tanda koma untuk membuat kalimat itu menjadi baik. Justru dalam rangka
penekanan dan memperjelas makna yang ingin disampaikan oleh penulis.
Mengenai gaya pemajasan yang termasuk dalam retorika,
penulis menggunakan beberapa majas, seperti: hiperbola, personifikasi,
antithesis dan antiklimaks.
Dalam penyiasatan
struktur penulis menggunakan bentuk repitisi. Dan di dalam pencitraan penulis
melengkapi kisdap ini dengan beberapa pencitraan, antara lain citra
penglihatan, citra pendengaran dan citra gerakan.
Lampiran :
KARIWAYA
CERPEN
JAMAL T. SURYANATA
Sadang lawasnya sidin duduk maungut di situ,
basandar di tawing halat sambil tipus-tipus baruku manyaurangan. Ari sudah
parak tangah malam. Di luar angin dibur-dibur batiup marumpaki rarapunan nang
ada di higa mahiga rumah sidin. Napa lagi mun di balakang rumah,
rapun paring bunyi kariut-kariut mambari takutan. Limbah itu, kutang ha pulang bunyi
caluuk-caluuk basasalakan. Ujar urang tuha bahari, satua nang kaya kutang atawa
hadupan tuhawas matanya lawan bu buhan iblis, hantu, atawa urang halus. Bah,
biar di dalam rumah gin, pagun asa mambari takutanai mun bacungkung saurangan
batangah malaman. Tagal, sidin tu kada tapi mahatiakan nang kaya nangitu pang.
Kada lamunnya jagau, tapi nang bangaran Pa kacil jipak ni tamasuk urang nang
kada mamak sajarangan jua. Lamunnya sahibar digarumuti urang bapitu haja, saku
sidin tu kada bakala mancicing bukah maninggalakan.
Dasar pang tumatan di Parincahan lacit
ka Pangambau, siapa jua urangnya nang kada tahu lawan sidin. Ujar urang Jipak
Tungkih, pambakal tuha di sungai Batung, iya tu sidin. Cakada sahibar hayam
barumahan haja jua sidin tutiam, ujar, nang bahari dihabarakan mati ditimpas
japang balalu hidup pulang. Laluai sidin pada dipadahakan urang mauntal minyak
bintang ha lagi. Padahal wayahitu ti kikira habarnya nang tabalik. Nang
sabujurnya bubuhan urang sipit mata tuti nang batalu tapangai di padang tagah.
Tabarubut paparutan dapat ilaian parang bungkul sidin. Han, kalu akal japang
dasar harat bapulitik. Alahnya urang japang tuti dapat bubuhan pawadaian kita
banarai. Ujar ti, bubuhannya tu kada kawa mamikirakan kaya apa urang
mamasukakan banyu gula kadalam dulinat atawa kalalapun. Tikas tutiam saku
hinggannya kamanangan buhan kita urang banua ni jua. Lamun parkara tali haduk
ulahan barikin, cah dapatnya sudah manuruti. Iya tali atum bapulas atawa rumut
japang nang ada wayah ini.
“Cah, cakada lain pang rasaku. Musti
pang pungkalanya rapun kariwaya nang sudah tuuh di palingkungan kartak
nangitu,” ujar Pakacil Jipak manggarunum saurangan. Bunyinya pina sarik pang.
Tagal nang ngaran manyaurangan ti, biar takunjilak kupiah sidin kasasarikan
tatapai urang kadada nang tahunya. Kadada luang talinga nang mandangarnya.
Muntung sidin pagun haja cipus-cipus.
Sambung putting kada sing rantian maisap ruku. Kukusnya maka am nang kaya
kanaput kalutuk ha lagi (lamunnya asa kadatapi gancang ya kakaya carubung
pabrik banih ampun Haji Idak lah, angkuhnya). Batuyak sudah habunya didalam
asbak. Cakada tarikin lagi sudah barapa putting ruku dihadapan sidin. Nang
dipikarakan sidin sabuting haj , nang kaya apa manabang rapun kariwaya nang
batangnya sing ganalan labih sapang ragap nangitu. Antah kanapakah, sidin sudah
liwar lawas bangat handak mangganyang kariwaya nang sudah tuha dangka
dipalingkungan parak masigit tuti. Sidin muar bangat saban kalian tajanaki
rapun kariwaya nangitu. Nang musti, diparak situ ti sudah bapupuluh kali mutur
atawa sapida mutur tarabah atawa tabalik kungkang.kada badua-batalu sudah urang
nang mati mudar napalagi nang sahibarkacilakaann badarah-darah haja. Saban
kalian kajadian, musti ha andaknya di Palingkungan parak rapun kariwaya tuti.
Suah sakali, hanyar ja bangsa satangah bulan pangirak nang tabantai di rumpak
mutur tangki. Mumui darah di kupala sidin. Mati saitu-saini. Awak sidin gin
kikira patah ampat saku.
Mun sidin taganang nang kaya itu,
maginnya Pakacil Jipak asa sasain garigitan. Napalagi pangirak tuti
tamasuk pawarangan sidin. Kajadiannya
pas ari Junahat, bulikan dimasigit ha pulang. Dasar bujur ujar urang bahari,
parkara Tuhan mamilih siapa-siapa nang cagar diambili badahulu tu angkuhnya
nang kaya urang manabang paring. Dipilihi dahulu nang bujur-bujurnya, ditabung
dahulu nang pina talurus, kaputingannya hanyar takana giliran nang kada karuan
tampuh buku-ruasnya. Nang kaya itu jua tuhan mamilih manusia. Disuruh sidin
dahulu malaikat Ijrail mangiau urang nang alim-alim, bubuhan balak anam nang
kada tapi tahu di basa. Jangan pang manggawi sumbahyang-mangaji, mambaca
sahadat haja gin pagun bajuju kadapati ruus. Lamun bubuhan galumuk nangini,
ngalihai sudah disambat.
“Kariwaya sarang hantu, dapatku haja tua
kaina ikam tu. Ada wayahnya, sidinai, ikam saurang kaina nang tarabah dapat
kapak-balayungku. Igatakan ja, tai-lah, lain ngarannya Jipak Tunggih mun kada
wani mailai kapak ka awak ikam!” Jar
sidin pulang gagarunum bamamai surangan batangahmalaman.
Arian sasin badingin. Angin pagun
dibur-dibur di luar. Bahanu karasaan jua libasannya batiup kadalam rumah masuk
bagamat jalan sasala tiwa-tiwa nang dasar balangapan. Pakacil Jipak bagamat
manyintak batis, balalu mambujurakan tapih mamisiti bungkunan. Ruku sudah habis
sabungkus. Handak batulak manukar pulang kawawarung Haji Ijuh, katia malam asa
sudah kalandungan.Musti pang urangnya sudah guringan. Cagar mangalihi diurang
banarai, Jar disin batagur dalam hati. Kaputingannya, tang sidin barabah
disisitu jua. Sidin kulir jua pang manggantung tali ambutut, padahal nyamuk sin
banyakan.Kada lawas, tadangar bunyi mangakar karuh sidin. Alahan pada bunyi
masin kapal, paribasanya. Mun di-indaakan, asa bagantar tu pang lantai, rumah
nang kaya di unggut takau atawa tanggiling karasukan.
***
Mun urang tajanaki rapun kariwaya
nangitu, napalagi wayah malam salau-salau, dasar asa mambari takutan tih,
habisai kisah. Sudah batangnya sing ganalan, daunnya ha pulang liwar jambar
bapupuh dapa ka kiwa ka kanan. Bacugutan di pinggir kartak , nang kaya raksasa
picak. Limbah itu, akar-akar sulurnya pulang manjarumbun jaruntayan. Sapalih
ada jua nang lacit katanah. Lamunnya wayah angin batiup pina tagancang, rahatan
angin rebut, ubuy… nang kaya sandah atawa hantu bariaban ha lagi. Nangapa habar
lamunnya sudah kayangitu ciut tu pang hampidal urang nang manjanaki. Napa lagi
urang sakampungan di sungai Batung nangini sudah talanjur parcaya, matan datu-
nini bahari, musti rapun kariwaya tuuh nangitu sudah lawas jadi sarang hantu.
Sakada kadanya jadi palidangan bubuhan urang halus nangkada kawa diliat lawan
mata-kupala urang jaba. Makanyaam, jangan bagarak mailai kapak, baniat handak
manabang haja gin urang asa kada wani. Musti tapikir mati budas lawan maharikan
nasip anak-bini di rumah.
Nang kaya nituam nang rahat maulah
Pakacil Jipak asa garigitan haja. Dasar hungang saku, jar sidin rancak
manggarunum dalam hati, hantu di takutani. Lamun sudah tadangar urang bakalahi
maka am piring dihadapan hakun haja di tinggalakan. Suah sakali sidin
bacacubaan mambawai angah Ican handak manabang rapun kariwaya tuti. Cah, kaiyannya
angah Ican nang habar taguh karung-karung tuti gin sakalinya sajampal dua saku
jua. Pamburisit jua. Halus jua hampidal. Ada–ada haja tu alasan sidin
mangalimbuai. Nang kasakitan parutlah, awak asa katur sabukuanlah, handak
saruan kakampung sabalahlah, atawa bapadah lagi manggah bakas tamakan
pamantang. Lamun cagar bapadah bujur-harus, sidin kada hakun. Musti pang supan
urang nang sudah tahabar jagau bapadah kada wani. Pakacil Jipak nang taanum ha
pulang nang mambawai, nyataai sidin indah supan, cagar basupanan ganal, mahati
sidin. Nang kaya nitu jua wayah Pambakal Hadi dibawai barunding. Macam-macam
jua alasan. Turui pulang kahandak Pakacil Jipak nang iyanya, sama haja
burisitnya. Kada wani jua mun cagar bapaulah silang-silangan. Baluluas luang
burit, jar urang tu.Malapahi muntung banarai huhujungnya.
Kaputingannya, malam sanayan nitu,
Pakacil Jipak kada lawas lagi maarit asa kamumuaran sidin. Bangsa pukul sawalas
sidin turun pada rumah. Turun lawan kapak sabilah, balayung, lawan parang lais
nang hanyar baasah rarapan bulu. Sabujurnya, manurut rikinan bilangan bajau,
malam arba pang nang tamasuk ari baik gasan bagawian nangitu. Tagal, biar sidin
tahu jua lawan bilangan bajau, Pakacil Jipak ni kada tapi parcaya jua lawan
namg kakaya nitu. Aku bapingkut lawan nang satu haja, jar sidin mayayakinakan
hati. Pangrasaku ti, samunyaan ari musti baik. Jadi tasarahnang di atas haja
lagi maatur. Ampun-Nya nang baik, ampun-Nya jua nang buruk.
Kada barapa dapa pada rapun kariwaya
nang dituju sidin, bagasut asa ditampar muha Pakacil Jipak. Tacandak lingkahan
sidin. Angin asa mandasau batiup ampah ka awak sidin. Bulan nang asal pina
salau-salau, bagasut jadi mangadap. Situ-saini asa cagatan burit-tundun sidin.
Limbah hati sudah asa batagurdamintu, dijanaki sidin bujur-bujur ampah ka rapun
kariwaya raksasanang bangsa talung puluh dapa lagi pada hadapan sidin badiri
bacugutan nang kaya patung. Umai, jar hati Pakacil Jipak sambil bauling, dasar
asa mambari takutan diparaki. Tagal , matan turun di watun tadi sidin sudah kada
sing pagatan mambaca ayat kursi lawan patihah ampat. Aku bapingkut lawan nang
satu haja, jar sidin pulang mayayakinakan hati. Nang asa,nang tunggal,
ampun-Nya alam baharu sakalinya. Limbah sakali mamusut dada sambil
karimut-karimut mambaca ayat kursi, balalu sidin balingkang pulang. Tagal,
sasain diparaki sakalinya sasain asa bacagatan burit-tundun sidin.
Malam sasar pina mangadap wayah Pakacil
Jipak sudah lacit ndi bawah halimunan rapun kariwaya nangitu. Bulan sudah
tinggalam. Langit pina muru. Hinip ranai, kadada taliat jua mutur bis nang lalu
dating di samarinda. Asa mandisap pulang balukuk sidin. Tagal, pantang sidin
baundur burit mun sudah talanjur bamara. Limbah mambaca salawat tali kali,
tunggal bakasan sidin mailaiakan kapak ka rapun kariwaya. Sajam, dua jam,
lituk-lituk bunyi urang manungkih kayu
batangah malaman. Limbui sudah paluh di awak sidin. Tagal tangan sidin pina
kada kipa-kipanya maayun hulu kapak. Dalas hangit, mahati sidin, aku kada
bakalan baampih mun balum maliat makhluk nangini rabah tahumbalik di hadapanku.
Bujur jua, Pakacil Jipak dasar urang
nang bapahimatan. Tugul lawan liat-liatnya mun sudah bagawi. Lacit parak ka
subuh pagun haja tangan sidin kada sing rantian mailai kapak. Siudah wangwak
bakulilingan batang kariwaya nang labih sapangragap nitu dapat tungkihan kapak
sidin. Tagal, babaya kulihan tungkihan sidin parak manyubalah pada tatangah
batang, balalu parasa Pakacil Jipak asa baubah. Talinga sidin asa bakiwit
mandangar bunyi mangguruh matan di atas. Bunyi liwar galu nang kaya di pasar
wadai. Bunyi kuncahungan nang kaya cina kahilangan dacing. Manggasut asa
mangadap panjanak sidin. Manggasut lamah lintuhut sidin
“Masigit kami, masigit kami…!!”
“Baingat, andika! Baingat, Pakacil-ai…!”
“Hancur jua masigit kami!”
“Kasian…jangan diudak!”
Pakacil Jipak tarabah manggaliwayang.
***
Baisukan arinya, imbah bulikan basubuhan
di masigit, urang kampong tanganga babaya tatingau ampah ka batang kariwaya di
palingkungan kartak nitu. Bangsa sadapa pada tanah, taliat batangnya sudah
wangwak bakulilingan. Asing-asingnya urang bacacangangan. Saikung baangkat
bahu, nang lain bauling-uling.
“Siapalah urangnya nang wani manggatuk
batang kariwaya nangitu?” ujar sasaikung batakun lawan nang lain.
“Hi…, baik lamunnya kada sarik urang
nagng di atas,” ujar nang lain manyahuti sambil bagidik pina takutanan.
“Sakuai gawian Angah Isan-lah,” jar nang
lain pulang manangguhi.
“Bisaai saku. Cuba pang kita paraki.”
Sambil batutunjulan, pina
bamara-bamundur, kaputingan-nya Darsani nang bawani saurangan badahulu balingkang
ampah ka bawah rapun kariwaya nang batangnya sudah bakiwang nang parak saparu
nangitu. Babaya lacit ka bawahnya, balalu inya takuciak papar sambil bukah
babulik manukui nang lain. Muhanya pina wirai, kalas ka tahi-tahi. Nang kaya
urang kada badarah lagi.
“Ah..aa…ada urang, Gulu-ai!” ujarnya
bunyi aga
“Siapa?” jar Gulu Hambran manakuni.
“Ulun kada tahu. Kada sawat maminandui,
Gulu-ai!”
“mun
damintu, ayu kita paraki barataan.”
Gulu Hambran ancap balingkah. Maliat
nang tuha sudah hakun bacabur, balaluai nang lain maumpati di balakang. Nang
kaya ujar paribahasa, kada wani ditambah kada wani riinanya jadi wani. Nang
kaya itu jua parigal bubuhannya, ada nang mambungah pina pawawaninya balalu ha
manyalip Gulu Hambran. Tagal, limbah sudah tajanaki ada urang tatilungkup
badarah-darah dihadapan, takuciak juaai kaputingannya.
“inna
lillahi…, Pakacil Jipak!” ujar Gulu Hambran bunyi babisik limbah mambalik
awak urang nang luka tadi. Limbah itu, dipicik ni musti lakas-lakas kita
tulungi. Ancapi kita bawa sidin karumah sakit. Padahi pambakal supaya
mancariakan mutur damini jua. Ujarku tu lah.”
“Inggih,” jar Sani sambil bauntuk.
Kada mahadang papadahan lagi, Darsani
langsung mancapil baluncat. Bukah mancicing sambil kubut-kubut lawan tapih
sapanjangan jalan handak karumah Pambakal Hadi. Bangsa saparapat jam, Darsani
sudah cangul pulang lawan pambakal mambawa mutur pick-up
ampun Haji Idak.Kapak, balayung lawan parang lais ancap disimpunakan buhannya.
Pakacil jipak di aangkat kadalam bak mutur nang kada bakubung nangitu. Kada
saapa, bunyi manggaung masin mutur maninggalakan bubuhanGulu Hambran. Laju
batulak ampah kakandangan.
***
Di rumah sakit, Pakacil Jipak pina
balingsang kapanasan. Sidin murau, bapandir kada babuku-baruas lagi. Mata sidin
cagat kaatas kada bakikilipan. Wayah itu, pangrasa sidin ada urang tuha bajubah
putih nang mahadapi. Lilitan surbannya sing ganalan nang kaya isaian. Janggut
putihnya liwar panjang lacit ka dada. Sambil tarus mangatik tasbih, urang tuha
nangitu takurinyum haja baduduk di higa sidin.
“Niat andika tu bujur haja pang.” Ujar
urang tuha tu bagamat mamandiri. ”tagal. Niat baik mustinya di pandirakan
baik-baik jua dahulu. Astilahnya, andika tu bagawi saurangan. Kada baparamisi dahulu
lawan nang ada. Di situ tu ada kampung kadiaman bubuhan anak-cucu kami. Bujur
haja disitu tu ada jua kakanakan nang pina ugal-ugal, nang katuju maudaki
urang. Tagal, nang maulah sarik lawan bubuhan jiran di situ, kabalujuran nang
andika gawi tu takana paimaman masigit. Iya kaya ini jadinya. Kada sarana bapiragah
harat gin kalu kita ni. Nangitu takabur ngarannya. Napsu, dangsanak-ai. Kita ni
sama-sama umat Nabi Muhammad jua. Kada bubuhan iblis kada. Kada hantu bariaban
kada. Nah, nangitu haja pang nang handak ku padahaka. Lawan sapasal pulang
pasan bubuhannya, kaina andika mahalarat dahulu. Tanda kita ni sudah baakuran.
Sama-sama mahluk Tuhan, sama-sama mahurmati. Lamunnya sudah baakuran, sahibar
parkara kami maalih kaandakan masigit tu gampang haja. Nang sabuting tu
urusanku kaina. Tagal, jangan kada ingat lah, cuali lakatan hirang, sasadiakan
jua bubur habang lawan bubur putih. Nangini kada parkara sirik kada. Jadi,
jangan dikakaitakan lawan urang nang katuju maandak ancak. Tagal, sabakas
pulang ha kusambatakan, sahibar tanda kita sudah baakuran. Kita ni bakulawarga.
Badangsanak saiman saagama. Wajip kita padah-bapapadah, maingatakan urang nang
kalumpanan. Nah, kikira damintu hajalah pasanku.”
Limbah bapapadah nang kaya itu, balalu
urang tuha tuti maandak talapak tangan kanan sidin di bumbunan Pakacil Jipak.
Tadangar bunyi salawat dibacaakan. Kada saapa, alam nang asal kadap manggasut
jadi manarang. Bubuhan pambakal takajut, Pakacil Jipak bapuat bagagasutan pada
karabahan sidin. Wagas awak sidin sikungan. Mata sidin palingau-palingau ka
kiwa ka kanan, ka hadapan ka balakang.
“Tuan Guru, Patuan!” jar sidin bakiau
sing nyaringan.
“Siapang nang andika kiau ti, Pakacil!”
Pambakal Hadi kapulingaan.
“Astagfirullah….”
Pakacil Jipak waras saitu-saini. Nang
kaya urang mambuangi kalimpanan. Limbah dibawa bulik, sidin mangisahakan
samunyaan nangapa haja nang hanyar ditamui sidin salawas tabantai di rumah
sakit. Isuk arinya, urang mahalarat, basalamatan sakampungan. Bubur habang,
bubur putih, lawan lakatan hirang disadiakan jua. Limbah itu, rapun kariwaya
nang batangnya sudah kiwang nangitu diupahakan manuntungakan manabang ka tukang
sinsu. Kariak…,dabau!!
Kandangan, September 2003
(Galuh:
Sakindit Kisdap Banjar, 2005:13-25)
DAFTAR RUJUKAN
Sulistyowati, Endang dan Tarman Effendi Tarsyad. 2014.
Aneka Kajian Prosa Fiksi. Cetakan Keempat.
Banjarmasin: Tahura Media.
Tarsyad,
Tarman Effendi. .Warna Lokal Banjar Dalam Cerpen
Tarsyad, Tarman Effendi.2011. Kajian Stilistika Puisi Sapardi Djoko Damono. Cetakan Pertama.
Banjarmasin: Tahura Media.
Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Cetakan kesepuluh. Yogyakarta: Gadjah Mada Universitiy Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Cetakan kedelapan. Yogyakarta: Gadjah Mada
Universitiy Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar